Kaya

0

Oleh : Almin Hatta

KETIKA untuk kesekian kalinya menyaksikan acara kuis berhadiah maksimal Rp 1 miliar yang dipandu presenter kondang Tantowi Yahya (kini Dubes RI di Selandia Baru) beberapa tahun silam, aku tiba-tiba teringat kisah KH Mustofa Bisri tentang dua orang kakak beradik yang nasib keduanya jauh berbeda.

DIKISAHKAN, peruntungan dua bersaudara ini berbeda teramat jomplang. Bagaikan matahari dengan rembulan. Seperti siang dengan malam, tak ada sama sekali persamaan. Yang kakak kaya raya, tapi yang adik miskin tak terkira.

BACA : Beratnya Amanah Kehidupan

Anehnya, si adik yang miskin papa justru selalu memberikan apa saja yang dimilikinya jika kebetulan ada orang lain yang lebih membutuhkannya. Sedangkan si kakak yang kaya tak pernah memberikan apa-apa kepada orang lain dan bahkan selalu merasa dirinya belum cukup kaya.

Suatu hari si adik yang sudah tak tahan lagi melihat kekikiran kakaknya datang dengan hati teramat geram. “Abang ini benar-benar keterlaluan. Aku, adikmu yang melarat ini, tak pernah kau perhatikan. Jangankan diberi bantuan cuma-cuma berupa sandang dan pangan, dipinjami uang untuk modal berdagang pun tak pernah abang lakukan. Terus terang, belum pernah aku melihat orang sekikir abang,” ujarnya dengan nada berang.

Tapi si abang malah menjawab dengan tenang. “Kau yang keterlaluan, menuduh aku yang bukan-bukan. Aku tidak kaya seperti yang kau kira, juga tidak pelit sebagaimana yang kau duga,” ujarnya.

Setelah itu, sambil tersenyum penuh kemenangan, si kakak ini menyatakan, jika ia punya kekayaan sampai Rp 1 miliar nilainya maka yang separonya akan diberikannya dengan sukarela kepada adiknya.

BACA JUGA : Waswas

“Percayalah, kamu pasti aku beri sebanyak setengah miliar. Coba, bagaimana mungkin kau bisa menuduh orang yang memberimu uang sebanyak setengah miliar rupiah sebagai orang yang kikir,” katanya sambil tertawa.

Si adik tentu saja tak mampu lagi berkata. Ia lantas pamit pulang sambil menggerutu di dalam hatinya yang paling dalam. “Dasar pelit tak ketulungan, mau memberi saja menunggu sampai kaya raya tak terkira,” batinnya.     

***

Kisah di atas mengingatkanku kepada seorang janda yang sehari-hari hidup menderita. Hampir tiap hari ia meminjam uang kepada para tetangganya, sekadar untuk membeli ikan dan beras satu dua kilogram. Padahal, kakak sulungnya seorang doktor ternama dan pejabat tinggi negara. Memang si kakak ini belum bisa disebut kaya raya, tapi sekadar menghidupi seorang adik yang kebetulan menjanda apalah susahnya?

BACA LAGI : Pedang Waktu

Tapi, itu cuma satu contoh kasus saja. Sebab, di sekeliling kita tak sedikit orang yang bersikap demikian. Jangankan menolong lain orang, membantu keluarga sendiri saja selalu penuh perhitungan. Bahkan sering menyalahkan bahwa keluarga yang kesusahan itu memang salahnya seorang, tak gigih menimba pengetahuan dan tak rajin mencari pekerjaan. Kalau pun bekerja, dinilai kurang keras upayanya untuk mendapatkan keuntungan atau kelebihan. Padahal, soal hasil kerja yang disebut rejeki kan ranahnya Tuhan Yang Kaya.

Soalnya adalah, kebanyakan orang baru merasa berkewajiban membantu sesama jika merasa dirinya sudah benar-benar kaya. Celakannya, kebanyakan orang baru merasa dirinya benar-benar kaya jika sudah punya rumah mewah seperti istana, punya mobil tiga hingga empat buah, dan punya tabungan miliaran atau triliunan rupiah. Padahal, sejatinya, orang yang benar-benar kaya adalah orang yang mampu membantu apa saja kepada orang yang benar-benar memerlukan pertolongannya.(jejakrekam)

Editor Almin Hatta

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.