Ekonomi Belum Baik, Pakar Sebut Kesejahteraan Rakyat Kalsel Masih Bermasalah

0

PAKAR ekonomi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Dr Ahmad Yunani mengupas sisi ekonomi Kalimantan, apakah baik-baik saja atau malah buruk dalam kondisi kekinian. Banyak fakta yang diungkap Ahmad Yunani dalam diskusi refleksi akhir tahun bertajuk Politik Hukum dan Ekonomi di Kalimantan Selatan, Warung Upnormal, Banjarmasin, Senin (30/12/2019).

“APAKAH ekonomi Kalsel baik-baik saja untuk sekarang? Ternyata, pertumbuhan ekonomi Kalsel masih di bawah nasional, hanya kisaran 5,17 persen. Dalam dua tiga tahun terakhir ini, industri, pertanian dan pertambangan menurun drastis,” beber Ahmad Yunani, pemateri kedua mendampingi pakar hukum tata negara, Denny Indrayana dalam diskusi yang dihadiri para akademisi, aktivis, dan elemen masyarakat lainnya itu.

Menurut Yunani, sektor industri di Kalsel mengalami penurunan 14 persen, pertanian dari angka 14,61 persen turun hingga 14,39 persen bahkan diprediksi akan terus menurun pada tahun-tahun mendatang. Doktor jebolan Universitas Airlangga Surabaya ini mengungkapkan sektor pertambangan pada tahun 2016 dan 2017 bernilai 20,61 persen di masa sekarang menjadi andalan penggenjot pertumbuhan perekonomian Kalsel.

 “Nah, kalau Kalsel masih mengandalkan sektor pertambangan, maka akan terus mengalami penurunan ke depan. Paradoksnya, justru 50 hingga 60 persen, masyarakat Kalsel masih bergantung pada sektor pertanian,” kata Yunani.

BACA : Denny Indrayana Akui Politik Kalsel Masih Dikuasai Oligarki Lokal

Ironisnya lagi, menurut dia, Kalimantan Selatan termasuk kedua tertinggi untuk tingkat inflasi dibandingkan Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Hal ini, dinilai Yunani justru menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat Kalsel masih bermasalah.

“Pertumbuhan ekonomi kita tidak cukup untuk mendongkrak perekonomian menjadi lebih baik. Adapun yang perlu digarisbawahi adalah masalah kemiskinan. Masalah kemiskinan yang luar biasa di Kalimantan Selatan justru nomor tiga paling baik di Indonesia yakni 4,54 persen. Begitupula, Kalimantan Selatan juga dinilai bagus dari sisi pemerataan masyarakat,” papar Yunani.

Dari sektor agrobisnis, Yunani menyebut justru jauh lebih tertekan. Menurut dia, industri Kalsel bisa berkembang, namun justru industri pengolahan bijih besi malah gagal dibangun di daerah Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu.

BACA JUGA : Didominasi Perusahaan Tambang, Pajak Kalselteng Sudah Terhimpun Rp 11,6 Triliun

“Ini harus perhatian dan harus ditingkatkan ke depan. Apalagi, tingkat pengangguran di Kalimantan Selatan masih di bawah nasional yaitu 4,5 persen. Sebab, tingkat pengangguran nasional masih  5,34 persen, ini berarti masih di atas kita,” kata Yunani.

Di sisi lain, Yunani menyebut justru permasalahan lingkungan masih morat-marit, karena kesejahteraan lingkungan Kalsel turun 4,11 persen dari nasional. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi Kalsel sebagai paru-parunya dunia. “Ya, harus kita akui oligarki menjadi persoalan. Para pemilik modal ini sudah masuk ke politik ekonomi, karena daerah ini memiliki potensi sumber daya alam (SDA) dan pariwisata yang bagus,” ucapnya.

Yunani mengungkapkan semua potensi justru dikuasai beberapa pemodal. Untuk itu, ia mendesak agar pemerintah daerah (pemda) di Kalsel segera membentuk badan usaha milik daerah yang mengelola sektor pertambangan.

“Karena, 200 juta ton batubara yang dihasilkan Kalsel, sebenarnya bisa membantu kesejahteraan rakyat. Namun, ironisnya, royalti yang didapat tidak sesuai. Soal ekonomi kreatif, sebenarnya warga Kalsel itu sangat kreatif. Ini dibuktikan di Banjarmasin saja memiliki 20 hingga 30 ribu usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Apalagi, Kalsel memiliki posisi strategis, setara Jakarta dan Surabaya,” beber Yunani.

BACA LAGI : Gawat, 335,88 Kilometer Sungai Kalsel Telah Menjelma Jadi Lubang Tambang

Solusi yang ditawarkan Yunani dalam mengatasi berbagai problema di Kalsel adalah menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang kuat, serta pemimpin yang memilik visi-misi yang jelas. Kondisi konflik yang terjadi akibat tambang dan sawit juga diungkap Rafifurahman dari Asosiasi Antropologi Indonesia Kalimantan Selatan.

Menurut dia, jika otak rakyat disamaratakan, maka orang berpikiran bahwa tambang dan sawit merupakan sumber daya yang luar biasa. “Tapi, kalau tidak, maka rakyat jelata berpikir, padi saja sudah cukup. Sebenarnya adalah susahnya ada di masalah pola pikir. Bagaimana menyatukan pola pikir yang produksinya besar dengan produksi yang kecil seperti tambang sawit dan padi? Padahal, padi tidak memiliki potensi konflik,” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis Ipik Gandamana
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.