Parang ULM Dukung Pembatasan Waktu Eks Koruptor Maju di Pilkada

0

KETUA Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance  Universitas Lambung Mangkurat (Parang Unlam), Ahmad Fikri Hadin menyambut hadirnya putusan MK terhadap uji materi Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, sebagai sebuah kepastian hukum.

DOSEN muda hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) ini mengungkapkan dalam amar putusan MK yang dibacakan Ketua MK Anwar Usman menegaskan jika pasal ini bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikatecara bersyarat sepanjang tidak dimaknai telah melewati jangka waktu lima tahun, usai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

“Dalam putusan MK itu memutuskan melakukan pengubahan bunyi untuk pasal 7 ayat 2 huruf g UU Pilkada. Pengubahan yang dimaksud adalah pencalonan dapat dilakukan bagi mantan terpidana yang telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah selesai menjalani pidana,” papar Ahmad Fikri Hadin kepada jejakrekam.com, Minggu (15/12/2019).

BACA : Wajib Umumkan ke Publik, Eks Koruptor Boleh Mencalon Kepala Daerah

Ia menjelaskan sesuai putusan PM yang berisi perubahan pasal itu jelas menyatakan tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

“Kecuali terhadap pidana yang melakukan tindak pidana kealfaan dan tindak pidana politik. Dalam suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif, hanya karena pelakunya memiliki pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa,” papar Fikri.

BACA JUGA: Terganjal PKPU 20, Golkar Kalsel Tarik Satu Bacaleg Eks Koruptor

Magister hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini menambahkan berdasar putusan MK itu ditegaskan bagi mantan terpidana yang telah melewati jangka waktu lima tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. “Jadi, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang,” katanya.

BACA LAGI : Menyoal Wacana Larangan Mantan Koruptor Ketika Nyaleg

Fikri pun menganalisis jika mengacu pada putusan nomor 4/PUU-VII/2009, MK sudah pernah memutuskan terkait masa tunggu selama lima tahun yang bersifat kumulatif dihitung sejak mantan koruptor selesai menjalani masa hukuman.

“Namun di tahun 2015 melalui putusan nomor 42/PUU-XIII/2015, putusan tersebut “dianulir” dan bergeser dari rumusan yang bersifat kumulatif menjadi alternative. Di mana mantan koruptor boleh maju dalam pilkada bermodal hanya dengan mengumumkan secara terbuka status mantan narapidana,” beber Fikri.

Sebenarnya, Fikri menilai MK sendiri sedang berusaha melakukan evaluasi terhadap “kekeliruan” dalam putusannya terdahulu. Yang pasti, putusan MK soal masa tunggu lima tahun ini bukan lagi hanya dirasa tepat untuk memberikan waktu koreksi diri bagi mantan koruptor.

“Tapi putusan ini juga sekaligus telah menyelamatkan proses demokrasi melalui politik elektoral pilkada lima tahunan ini,” ucapnya.

BACA LAGI : Pemberantasan Korupsi yang Masih Setengah Hati

Fikri menjelaskan masa tunggu selama lima tahun itu harus dimaknai sebagai masa koreksi bagi mantan koruptor, agar bisa melakukan evaluasi terhadap kejahatan korupsi yang pernah dilakukannya.

“Ini juga sekaligus sebagai waktu baginya untuk bersosialisasi dengan masyarakat dan membuktikan dirinya tidak akan mengulangi lagi perbuatannya,” kata Fikri.

Dalam beberapa kasus, sebut Fikri, ada mantan koruptor yang terpilih kembali pasca menjalani hukuman. Sebut saja Bupati Kudus, Muhammad Tamzil. Sebelumnya pernah dipenjara karena kasus korupsi. Begitu bebas, maju pilkada dan terpilih kembali.

BACA LAGI : Bagaimana Nasib Pemberantasan Korupsi Pasca Revisi UU KPK?

“Namun belum genap setahun, Tamzil justru kembali terkena operasi tangkap tangan (OTT) KPK. Ini membuktikan jika mantan koruptor yang maju pilkada tanpa masa tunggu, sangat berpotensi mengulangi perbuatannya,” cetusnya.

Dengan begitu, Fikri berpendapat adanya putusan MK ini memberi masa tunggu selama lima tahun bagi mantan koruptor untuk mencalonkan diri dalam pilkada.

“Jadi, bisa dibilang sesuai dengan ekspektasi publik, terutama gerakan masyarakat sipil (civil society organization) yang selama ini menganggap mantan koruptor yang maju di pilkada tanpa masa tunggu adalah tragedi dalam berdemokrasi,” tuturnya.

Fikri menyarankan sebagai tindak lanjut dari putusan MK mengenai masa tunggu lima tahun bagi mantan koruptor ini, KPU harus segera melakukan perubahan terhadap syarat pencalonan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau walikota dan wakil walikota.

“Ini agar memberikan kepastian hukum bagi peserta Pilkada 2020 nanti. Sejatinya, KPU sendiri telah menerbitkan PKPU 18/2019 tentang perubahan kedua PKPU 3/2017 awal Desember ini. Namun sebagai tindak lanjut putusan MK, PKPU harus kembali diubah,” ucap Fikri.

Menurut dia, perubahan ini tidak memakan waktu yang lama, mengingat tinggal menambahkan frase lima tahun  saja sebagai penegasan tentang masa tunggu bagi mantan koruptor.(jejakrekam)

Penulis Siti Nurdianti
Editor DidI GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.