Fenomena Nabi Palsu dari Batu Benawa, Tokoh NU Sebut Akibat Banyak Faktor

0

MASYARAKAT Kalimantan Selatan dibuat geger. Pasalnya, kemunculan NS (59 tahun) pria asal Batu Benawa, Kabupaten Hulu Sungai Tengah yang mengaku sebagai nabi terakhir. Tercatat NS sudah menggelar pengajian semenjak tahun 2003 silam, tak ayal kepolisian turun tangan dan mengamankannya di Mapolres HST.

KAPOLRES HST AKBP Sabana Atmojo menegaskan pihaknya telah menangkap NS dengan delik tersangka penistaan agama.

“NS ditetapkan sebagai tersangka penyebaran ajaran agama Islam yang menyimpang. Penetapan tersangka dilakukan setelah dilakukan penyelidikan,” kata Kapolres HST kepada awak media di Barabai, Selasa (3/12/2019).

Sementara itu, Katib Syuriah PWNU Kalsel KH M Syarbani Haira menilai kemunculan  nabi palsu belakangan ini, tak lepas dari beragam motif dan latar belakang yang mengitarinya.

“Nabi palsu muncul pasca wafatnya Rasulullah SAW. Misalnya ada Musailamah al-Kadzab, dari kelompok Bani Hanifah di kawasan Yamamah. Kasus Musailamah ini sangat fenomenal, dan monumental dalam sejarah nabi palsu,” kata Syarbani kepada jejakrekam.com, Rabu (4/12/2019).

BACA : Polres HST Tahan “Nabi” Asal Batu Benawa

Selain itu, ada pula sejumlah kasus lainnya. Misalnya al-Aswad al-Unsi dari kawasan Yaman. Dari Oman, ada pula nabi palsu bernama Luqaith. Dari kelompok Bani Asad, ada lagi nabi palsu bernama Thulaihah. Tidak hanya itu, seorang perempuan pun pernah mengklaim dirinya sebagai nabi. Namanya Sijah at-Tamimiyah dari kalangan Bani Tamim.

“Pada zaman pasca kenabian tersebut, kawasan Yaman termasuk paling bergejolak dalam hal kemunculan nabi palsu,” ucap dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Kalsel ini.

Ia menyebut kemunculan nabi palsu juga pernah membuat heboh Indonesia dengan kemunculan sosok yang mengaku nabi terakhir datang silih berganti.

“Hal ini terjadi oleh banyak faktor. Misalnya soal ekonomi, politik, sosial, kekuasaan, kebudayaan, dan lain sebagainya,” ucap sosiolog jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.

Dalam sejarahnya, menurut Ketua Badan Pengelola Universitas NU Kalsel ini, kemunculan nabi palsu itu dapat dipetakan oleh beragam sebab salah satunya, dukungan kawasan.

“Di kawasan penduduk yang padat, maka sangat memudahkan munculnya nabi palsu tersebut. Interaksi kawasan juga sangat memengaruhinya. Kasus nabi palsu pasca wafatnya rasul bisa dijadikan model. Madinah sebagai home basenya rasul berdekatan dengan dua kerajaan besar, yakni Persia dan Romawi,” terang Syarbani.

Alasan lain, beber dia, karena ambisi kekuasaan. Orang-orang ambisius yang ingin berkuasa, dengan segala cara melakukan apa saja. Termasuk dengan mengaku menjadi nabi, seolah mereka sudah menerima wahyu seperti Alquran.

Syarbani menyebut faktor lainnya bisa karena iri dengki, ego dengan kelompoknya. Seperti pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada sejumlah faksi atau kabilah di masyarakat, seperti bani Hasyim, Asad, Tamim dan lainnya. Mereka terus bersaingi dan terobsesi agar faksinya saja yang hebat dan kuat.

“Untuk itu mereka tak segan-segam mengaku menjadi nabi. Fanatisme suku-suku tersebut, membuat persaingan tak terkendali. Buntutnya kadang muncul konflik. Langkah mengaku menjadi nabi pun menjadi pilihan. Agar faksi atau sukunya diakui sebagai yang terhebat,” urai Syarbani.

BACA JUGA : Nabi Palsu Ditetapkan Sebagai Tersangka Penistaan Agama

Ia mengatakan persoalan yang khas di era Rasululllah SAW dulu adalah keinginan untuk melakukan persaingan dengan Kota Makkah. Musailamah kemudian membuat kota suci di Yamamah, dia menguber dusta kemana-mana, oleh karena itu tokoh satu ini dikenal sebagai “sang pendusta” di tengah masyarakat era itu.

“Kasus di Indonesia juga memanfaatkan psikologi sosial yang berkembang. Ahmad Mussadeq di Bogor berhasil memanfaatkan emosi pendukungnya. Atau Lia Eden (Lia Aminuddin), juga di Bogor, punya strategi yang sama. Sensen Komara di Jabar pun setali tiga uang. Begitu juga nabi-nabi palsu di Sulawesi, Sumatera dan di Banua. Dugaan saya, nabi palsu di Barabai itu pun memiliki latar belakang yang sama,” papar Syarbani.

Ia menyebut psikologi sosial yang mudah ditipu, yang terombang-ambing oleh berita hoaks, yang resah karena faktor ekonomi, yang ‘kosong’ karena tak ada lagi panutan, atau konflik sosial politik lainnya, memungkinkan nabi palsu mudah mendapatkan pengikut.

“Apalagi hari ini, antara masyarakat terdidik dengan masyarakat tidak terdidik, mirip-mirip saja dalam menyikapi perkembangan. Sama-sama mudah ditipu. Langkah ke depan adalah membangun sumber daya manusia (SDM),” imbuh Syarbani

Bagi dia, untuk menjadi SDM bermutu, yang tak mudah ditipu, mau tidak mau harus melanjutkan pendidikan hingga perguruan tingg. Tak cukup cuma sampai SLTA.

“Harus kuliah. Itu sebabnya, NU hari ini berijtihad, semua pesantren jangan hanya melakukan pendidikan hingga ke tingkat menengah. Tetapi harus ke perguruan tinggi. Universitas NU Kalsel dibangun agar masyarakat kita semakin dewasa, bisa membedakan mana yang hak dan mana yang batil,” tandas Syarbani.(jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.