“Tambahi Lagi” (Catatan Hari Guru)

0

Oleh : Nasrullah

KATA-kata “tambahi lagi” dalam judul tersebut, bukan seruan untuk menambah jumlah guru di sekolah, atau menambah beban mengajar guru, apalag seruan menambah gaji guru pada tahun 2020 mendatang. Melainkan melihat kembali relasi antara institusi sekolah melalui aparatus pendidikan bernama guru dan institusi masyarakat terkecil yakni keluarga atau orang tua yang saat ini seolah berbinari oposisi berlawanan.

AWALNYA saya agak terkejut dengan ucapan atau frasa “tambahi lagi” yang sering disebut akhir-akhir ini, terutama di kalangan anak muda. Begitu “tambahi lagi” diucapkan, mereka seolah tersenyum sumringah, mungkin ada sesuatu lucu dibalik kata-kata itu. Kemudian dengan rasa penasaran mendalam dan saran teman, saya melacak asal usul kata-kata populer itu, dan ternyata datang dari Pantai Kuta, Bali, melalui tayangan bintang media sosial atau Youtuber atau influencer dan apapun namanya.

Tersebutlah nama pemuda Banjar bernama Antonio Banua, ia menyambung hidup di Pantai Kuta dan kata-kata itu muncul dari mulutnya dengan logat atau dialek Hulu Sungai yang sangat kental. Terutama ketika mantan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan, Rosehan NB, meminta Antonio Banua mengucapkan dua kata saja, “Tambahi lagi”.

Namun apa hubungan “tambahi lagi” yang harus diucapkan dengan logat Hulu Sungai agar kita seolah berada di Pantai Kuta Bali bersama Antonio Banua, dengan dunia pendididikan, apalagi di hari guru ini. Beruntunglah saya diingatkan kolega di kampus, Alfisyah, yang menekuni folklore di Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi bahwa “tambahi lagi” lazim diucapkan orang tua kepada anak-anaknya.

Jika ada anak yang berbuat kesalahan dan pulang dengan meringis kesakitan, misalnya, maka orang tua sering mengucapkan “tambahi lagi” alih-alih memberikan perhatian. Hal itu sebenarnya pernyataan sindiran agar sang anak tidak mengulangi kesalahannya.

Kepercayaan Terhadap Guru

Begitu pula di dunia pendidikan, dan sebagai fokus tulisan ini. Ada kalanya seorang guru memberikan sanksi kepada murid yang nakal. Nah ketika murid itu mengadu ke rumah, orang tua cukup mengatakan “tambahi lagi”. Ini bermakna sangat dalam karena merupakan bentuk kepercayaan orang tua siswa kepada guru.

Pertama, sebagai bentuk kepercayaan orang tua sepenuhnya kepada institusi sekolah kepada guru atau pendidik untuk memperlakukan siswa sebagaimana anaknya sendiri. Otomatis tindak penerapan sanksi atas siswa yang salah menjadi otoritas penuh sekolah dalam hal ini guru. Biasanya kesadaran akan pentingnya pendidikan, membuat orang tua mendatangi sekolah dan menemui pihak guru lalu berkata “Ini nah anakku kusarahakan lawan pian. Diajar babujur inya nih. Anggap kaya anak pian sorangan”.

Kedua, dari kepercayaan itu, juga menjadi keberpihakan orang tua murid kepada institusi sekolah kalaupun ada laporan anaknya atas sanksi yang dialaminya. Ketiga, bentuk penegakkan wibawa institusi pendidikan, yakni sekolah melaui guru dalam mendidik muridnya. Dengan demikian, sang anak tidak berani mengadu, atau jika lebih parah mengadu domba antara orang tua dan pihak sekolah, karena kata-kata “tambahi lagi” tersebut.

Memudarnya “Tambahi Lagi”

Namun seiring perjalanan waktu, memudarlah kata “tambahi lagi” dari mulut orang tua kepada anaknya. Hal ini disebabkan kebalikan dari beberapa poin di atas.

Pertama, institusi sekolah dianggap hanya mentransfer pelajaran saja. Maka guru hanya pengajar bukan pendidik, sehingga ciri khas pendidikan yang menekankan karakter menjadi linglung mencari cara yang tepat untuk mengajar. Bahkan setali tiga uang, departemen yang mengurus pendidikan dasar hingga menengah sering bongkar pasang kurikulum. Belum mengakar praktek satu kurikulum, berubah lagi dengan kurikulum baru dengan alasan mengikuti perkembangan zaman. Jadi guru kucang kirap (pontang panting) merombak kurikulum atau cara mengajar, akibatnya waktu habis untuk administrasi belaka.

Bahkan pembelajaran mutakhir, siswa dianggap mampu membawa dirinya sendiri melalui apa yang dinamakan dalam istilah pendidikan student centre learned atau pembelajaran berpusat pada siswa. Artinya transfer ilmu pengetahuan tidak lagi dari guru secara top down kepada mahasiswa, tetapi transfer pengetahuan juga dapat bergerak horizontal atau berdifusi dari dan antar sesama mahasiswa. Guru kini hanya menjadi moderator di dalam kelas, sesuatu yang kelihatan ideal tapi masih jauh dari realitas.

Kedua, ada ketikdapercayaan orang tua dan siswa terhadap guru bahkan cenderung menjadi resisten terhadap institusi sekolah. Kita dengan mudah menemukan berita bagaimana siswa merendahkan gurunya di hadapan siswa lain bahkan di depan kelas sendiri. Bahkan ada guru yang terbunuh karena menegur siswa yang merokok atau mabuk di sekolah.

Ketiga, keberpihakan orang tua sendiri, dalam kasus tertentu ada orang tua yang mengadukan guru atau pihak sekolah karena hal-hal yang sebenarnya sepele saja. Barangkali orang tua seperti itu berucap, “anakku haja kada suah kugatuk, inya maka wani banar”.

Salah seorang guru di sekolah menengah pernah mencurahkan perasaannya tentang sulitnya mengatur murid di masa sekarang. Saya lalu teringat bahwa di sebuah sekolah, selalu ada guru yang berwibawa, disegani bahkan ditakuti oleh murid-muridnya.

Guru tersebut sesungguhnya menjadi agen kontrol sosial di kalangan anak muda terutama dalam institusi sekolah. Seorang murid yang membolos tetapi dari kejauhan terlihat sosok gurunya yang bakal berpapasan jalan, maka sedapat mungkin ia berbelok arah bahkan kembali ke sekolah.

(Bukan) Seruan dari Pantai

Akhirnya, sebagai renungan di hari guru, entah apa nasib pendidikan dan penghargaan guru sebagai pahlawan tanpa yang jelas tertuang dalam pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa jika wibawa institusi pendidikan, atau sekolah melalui guru semakin menurun.

Tantangan terberat dunia pendidikan, terutama bagi para guru, adalah dominasi teknologi yang kian tak terpisahkan di kalangan generasi muda. Media sosial yang mengaburkan orientasi pendidikan mereka menjadi makhluk yang bermain bahkan menjadi homo android, yang menurut budayawan Radhar Panca Dhana, keberadaan internet ini membawa sebuah peristiwa yang tidak ada insiden sebelumnya di masa lalu.

Lambat laun pendidikan mengalami otomatisasi, guru dan murid beradadi antara tirai teknologi yang membuat jarak di antara mereka. Dunia pendidikan dengan adanya teknologi berdampak menjadi flat atau datar, sehingga tidak ada hierarki, maka wibawa guru kian kabur. Di sisi lain keberpaduan teknologi dan pendidikan juga tidak bisa dicemburui, karena teknologi yang humanis dapat memandu interaksi siswa dan guru menjadi lebih mudah.

Akhirnya seruan dari Pantai Kuta, Bali, melalui seorang pemuda banua diperantau itu, harus dilihat bukan sebagai seruan kehidupan global dari pergaulan dengan para turis asing yang tampil berbikini itu. “Tambahi lagi” harus menjadi refleksi yang datang dari generasi muda mengingatkan kita, bahwa institusi masyarakat secara mikro yakni keluarga perlu menyerukan kembali atau memperhatikan dan mempercayakan pendidikan sepenuhnya kepada institusi sekolah. Selamat Hari Guru. “Tambahi lagi !!!”(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP ULM

Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.