Compact City: Menuju Pembangunan Kota Berorientasi Kenyamanan

Oleh : Dr. Eng. Akbar Rahman, ST.,MT

0

SMART City menjadi buah bibir dalam perbincangan formal dan informal, dari satu seminar, diskusi publik atau forum-forum kolaborasi akademisi dan birokrasi. Smart  city dianggap solusi dalam pelayanan pemerintah ke masyarakat melalui media digital dari smart phone yang dipegang. Ditambah lagi, tata kelola pemerintahan dalam kinerja 4.0, lengkaplah sudah.

TIDAK ada yang salah pada tahap ini, akselerasi dibutuhkan untuk mengejar ketertinggalan yang semakin jauh. Namun, hal yang mesti diperhatikan adalah, ketika usaha akselerasi dimulai maka pemerataan ‘smart’ wajib dilakukan dalam rangka memperkecil kesenjangan.

Pondasi smart city adalah smart people, smart city hanyalah out put dari smart people. Kota yang dihuni oleh sumber daya manusia (SDM) yang unggul dengan mudah juga smart city diterapkan bahkan ‘automatically’.

Bagaimana mencapai smart people? Adalah pemerintah melaksanakan pemerataan pendidikan rakyatnya, tidak ada lagi rakyat yang tidak sekolah karena alasan tidak ada biaya atau biaya sekolah mahal.

BACA : 4 Kabupaten dan Kota di Kalsel Masuk Program 100 Smart City

Infrastruktur pendidikan wajib diperhatikan segaris dengan peningkatan mutu pendidikan melalui penciptaan SDM Guru yang unggul. Perhatian ini yang masih sangat kurang. Pendidikan seolah-olah masih terus mencari formula terbaik tanpa tahu arah dan tujuannya, terbukti! Ketika pergantian pucuk pimpinan maka pergantian kebijakan pendidikan juga dipastikan terjadi.

Masyarakat unggul dibutuhkan dalam persaingan global. Negara yang maju diukur dari Indeks Pembangunan Manusia-nya (IPM), pada tahun 2018, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia mencapai 71,39. Angka ini meningkat sebesar 0,58 poin dibandingkan tahun 2017 (BPS).

Meskipun naik, namun peningkatan yang terjadi belum membawa Indonesia pada level menengah atau atas. IPM Indonesia berkisar 0,6 jauh tertinggal dengan Singapura. Bahkan Indonesia juga tertinggal dari Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand dan Filipina. Padahal IPM adalah alat ukur yang valid untuk mengukur kemajuan suatu negara.

BACA JUGA : Menara Pandang Disulap Jadi Plaza Smart City Banjarmasin

Pemerataan pendidikan masih jauh dari harapan, kesenjangan pendidikan secara fisik dan nonfisik terlihat nyata antara pusat dan daerah, antara perkotaan dan pedesaan. Infrastruktur sekolah di wilayah pusat kota lebih bagus dibandingkan sekolah-sekolah di tepian.

Pemerataan pembangunan hanya dapat dicapai dengan pemerataan SDM, mencetak manusia-manusia unggul melalui pendidikan yang merata dari pusat kota hingga desa. Selama ini tidak dilakukan, maka pusat-pusat pertumbuhan tetap terjadi pada area disekitar pemangku kebijakan.

Migrasi penduduk dari desa ke kota akan terus bertumbuh akibat tututan ekonomi serta daya tarik kota yang lebih kuat. Sementara itu mengakibatkan daya beban kota yang semakin berat dan kompleks.

Berawal dari tidak meratanya pendidikan tersebut, berdampak pada kompleksitas kota yang terus terbebani. Mereduksi kota sebagai pusat pertumbuhan perlu dilakukan melalui Compact City. Kota yang kompak menjadi leader terhadap kawasan penyangga kota hingga wilayah terkecil seperti dusun.

BACA LAGI : Kepala Bappeda Kalsel : Konsep Smart City Banyak yang Salah Kaprah

Konektifitas infrastruktur jaringan transportasi merupakan hal mendasar yang wajib diperhatikan untuk menunjang pemerataan pendidikan. Aliran jaringan yang lancar dapat menjamin lancarnya arus pembangunan. Jadi, pembangunan infrastruktur transportasi bertujuan mensupport pemerataan pembangunan manusia yang unggul dengan cara pemerataan infrastruktur fisik dan nonfisik pendidikan.

Campact city sendiri bukan barang baru, pertama kali dikenalkan pada tahun 1973 oleh ilmuan matematis George Dantzig and Thomas L. Saaty. Konsep ini kemuadian dianggap sustainable karena mampu menjawab problem kota-kota yang padat penduduk dengan mixed land use.

BACA LAGI : Smart City Banjarmasin Cukup Canggih, Tapi Belum Maksimal

Dengan konsep transportasi yang kompak antara kota dengan lingkungan penyangga (city-town-district) mampu menekan penggunaan energi tak terbarukan dengan mengandalkan transportasi publik yang nyaman. Konsep ini bagus digunakan untuk kota-kota lama dengan pertumbuhan kota yang tidak terkendali atau tumbuh secara alami.

Dimulai dari menata sistem transportasi publik yang nyaman untuk mengurai spot-spot kepadatan kota agar tidak terlalu sentralistik. Selanjutnya, fasilitas publik dibuat senyaman mungkin dengan sistem yang kompak dari moda transportasi satu dengan yang lainnya atau perpindahan dari berjalan, bersepeda dan berkendara.

Efisiensi energi adalah andalan dalam pencapaian kenyamanan dalam pembangunan. Konsep kenyamanan menjadi tolak ukur utama dalam menilai bangunan atau infrastruktur setelah digunakan. Infrastruktur tanpa kenyamanan adalah kesalahan fatal yang memgakibatkan boros energi. Paradigma membangun dengan orientasi utama pencapaian kenyamanan merupakan keharusan untuk mencapai compact city yang sustainable.(jejakrekam)

Penulis adalah Dosen Arsitektur Fakultas Teknik

Universitas Lambung Mangkurat

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.