Pasang Surut Komisi Yudisial (2-Habis)

Oleh : M Rezky Habibi R

0

SALAH satu agenda reformasi di bidang hukum yang mendasari lahirnya Komisi Yudisial adalah keinginan untuk memperkuat independensi kekuasaan kehakiman (peradilan).

SEBUAH keinginan untuk membentuk lembaga pengawas di luar MA dan keinginan untuk menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat (public trust) terhadap lembaga peradilan yang luntur akibat praktik mafia peradilan (judicial corruption) yang dipraktikkan rezim prareformasi.

Keinginan tersebut diwujudkan dengan dibentuknya Komisi Yudisial dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI 1945 sebagai lembaga negara independen yang bercirikan mandiri mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Dicantumkannya Komisi Yudisial dalam ketentuan bab tentang kekuasaan kehakiman tidak lantas menjadikan kedudukan Komisi Yudisial bagian dari kekuasaan kehakiman.

BACA : Lahirnya Lembaga Negara Independen (1)

Walaupun secara struktur memiliki kedudukan sejajar dengan MA dan MK. Tetapi bila di lihat dari fungsinya, Komisi Yudisial hanyalah bersifat penunjang (auxiliary) dari pelaksana kekuasaan kehakiman. Mengingat Komisi Yudisial hanyalah penegak kode etik (code of ethic) bukan penegak hukum (code of law). (Jimly Asshiddiqie, 2012)

Bila di lihat dalam perspektif lain, dicantumkannya Komisi Yudisial dalam ketentuan kekuasaan kehakiman seperti membenarkan pendapat Alexander Hamilton, bahwa kekuasaan kehakiman merupakan cabang kekuasaan yang paling lemah. Sehingga dibentuknya Komisi Yudisial harus dimaknai sebagai bentuk penguatan terhadap independensi kekuasaan kehakiman yang merdeka.

BACA : Amandemen Konstitusi Versus GBHN

Dewasa ini, dalam perjalanan Komisi Yudisial sebagai penunjang kekuasaan kehakimanterjadi pasang-surut baik dalam menjalankan wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung maupun dalam menjalankan wewenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.

Penulis mencatat paling tidak terdapat sejumlah putusan MK yang menggambarkan pasang-surut tersebut. Pertama, putusan 005/PUU-IV/2006membatalakan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi Hakim Konstitusi.

BACA JUGA : Refleksi Demokrasi; Pemilu (Pilu) 1955-2019 dan Sidang Mahkamah Konstitusi (2-Habis)

Padahal, apabila dilihat komposisi 6 dari 9 Hakim Konstitusi pengisiannya melalui proses politik di DPR dan Presiden,maka penting adanya pengawasan eksternal sebagai bentuk keterbukaan.

Mengutip pendapat Jeremy Bentham yang mengatakan “keterbukaan membuat hakim diadili saat ai mengadili perkara”menjadi penting untuk diketengahkan.

Kedua, putusan 27/PUU-XI/2013membatalkan kewenangan DPR untuk memilih calon Hakim Agung.paska putusan tersebut DPR hanya mempunyai kewenangan untuk menyetujui atau menolakmenyetujui calon Hakim Agung.

Ketiga, putusan 16/PUU-XII/2014membatalkan kewenangan DPR dalam memilih calon anggota Komisi Yudisial. Di mana paska putusan tersebut DPR hanya berwenang menyetujui atau tidak menyetujui calon anggota Komisi Yudisial.

BACA JUGA : Refleksi Demokrasi; Pemilu (Pilu) 1955-2019 dan Sidang Mahkamah Konstitusi (1)

Kedua putusan di atas tentunya telah memberikan dampak positif untuk meminimalisir politisasi dan kepentingan partai politik tertentu dalam mengisian jabatan anggota Komisi Yudisial dan calon Hakim Agung, menguatkan peranan pansel serta kedua putusan tersebut harus juga dibaca sebagai pengamputasian kekuasaan DPR yang cenderung legislative heavy  pasca reformasi.

Keempat, putusan 43/PUU-XIII/2015 membatalkan kewenangan Komisi Yudisial dalam melakukan seleksi hakim tingkat pertama di tiga lingkungan peradilan, walaupun putusan tersebut tidak dihasilkan dari suara bulat.

Mengingat terdapat 1 Hakim Konstitusi melalui disseting opinion yang menganggap kewenangan tersebut tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. Paska putusan ini maka, kewenangan rekrutmen hakim tingkat pertama menjadi kewenangan tunggal MA. Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang dapat memastikan transparansi dan akuntabilitas proses rekrutmen tanpa pelibatan Komisi Yudisial didalamnya?

BACA LAGI : 60 Ahli Hukum Tata Negara-Administrasi Godok Model Pemilu Anti Korupsi

Melihat pasang surut Komisi Yudisial tersebut, apabila dielaborasi dengan isu amendemen UUD NRI 1945 secara terbatasyang hari ini mengemuka, maka menjadi momentum untuk penguatan Komisi Yudisial sebagai penegak kode etik (code of ethic)dan penataan lembaga negara independen melalui menambah satu bab tentang lembaga negara independen.

Agar dapat mewadahi pembentukan lembaga negara independen yang hari ini berserakan dalam tingkatan UU dan Perpres atau Keppres, sehingga mendapat legitimasi kuat di tingkat UUD NRI 1945 sebagai hukum tertinggi.(jejakrekam)

Penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum, Universitas Lambung Mangkurat

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.