Meningkatkan Kualitas Demokrasi di Banua

0

TAHAPAN Pilkada sudah berjalan. Para calon ramai mengajukan diri, melamar ke partai politik, mengumpulkan syarat dukungan. Pertarungan dan kopetisi mulai bergulir. Akankah Pilkada semakin berkualitas, atau hanya prosedural demokrasi belaka. Bagaimana meningkatkan kualitas demograsi di banua agar Pilkada menjadi pintu perubahan?

DEMOKRASI kita lebih banyak pada pendekatan sistem. Prosedur dan proses lebih utama. Bahkan kita banyak berkutat pada soal prosesnya. Problem terbesar ada pada input. Padahal input kita masih bermasalah, seperti keterbukaan, kesempatan dan peluang untuk turut berpartisipasi masih sangat terbatas. Bila inputnya sampah, keluarnya juga sampah, ujar Konsultan Strategi PT Matanusa Komunika Isra Ramli mengawali obrolan di Palidangan Noorhalis, Pro 1 RRI Banjarmasin, Kamis (31/10/2019).

Ia mengakui, memang keterbatasan kesempatan itu diatasi dengan calon perseorangan. Namun syaratnya sangat berat, bahkan dibikin tidak logis. Misalnya, yang diminta mendaftar terlebih dahulu adalah calon perseorangan, baru kemudian calon dari partai. Padahal semestinya, calon perseorangan itu alternatif, sehingga pencalonannya menunggu setelah calon partai tidak memberikan alternatif pilihan.

Dari sisi prosedur, lanjutnya, memang terus ada perbaikan, tentu itu kita apresiasi. Hanya saja, prosedur yang baik dan benar, belum tentu melahirkan pemimpin yang diharapkan masyarakat. lagi-lagi bergantung dari input yang diberikan. Bila partai politik tidak melakukan pendidikan politik, mendidik kadernya agar berkualitas, sekalipun prosedurnya bagus, tetap kulaitas demokrasi tidak semakin baik.

“Maka bila partai politik tidak memberikan perubahan, tokoh-tokoh alternatif di luar partai politik, harus memberanikan diri ikut kontestasi. Kalau tidak berani, tidak akan mengispirasi bagi pemajuan demokrasi,” kata Isra Ramli.

Isra menambahkan, yang harus diakukan adalah menggeser spektrum kesadaran. Kalau mau membaca kurva, ada pertarungan antara sisi kiri pragmatisme dan sisi kanan idealisme, di tengahnya ada kelompok realisme.

Kelompok pragmatisme terus menarik ke sisi kiri. Ingin terus berkuasa, memanipulasi kekuasaan. Yang idealis, terus menyampaikan berbagai nasehat dan ajaran tentang bagaimana yang seharusnya. Maka yang pragmatisme tadi harus didorong ke wilayah idealis, minimal ke realis.

Sementara itu di wilayah masyarakat, kata Isra, juga ada kurva yang bisa dibaca bersama. Di bagian kiri ada kelompok fatalis, kelompok yang tidak percaya adanya perubahan. Menganggap sesuatu yang mustahil. Biarkan saja apa adanya. Mungkin sudah nasib, takdir dan kehendak-Nya seperti itu.

“Di sebelah kanan ada kelompok proaktif, yang terus membangun kepercayaan dan semangat bahwa masih ada harapan, masih mungkin dilakukan perubahan. Tinggal pilih, kita menjadi bagian yang mana?” katanya.

Pendengar Palidangan Noorhalis turut berpartisipasi dengan cara menelepon. Hariyadi di Tabalong, untuk dapat menjadi penguasa, nampaknya terlebih dahulu harus menjadi pengusaha. Sekarang ini sedang terbangun kolaborasi harmonis antara pengusaha dan penguasa. Kalau kita ingin memilih jalur independen, ruangnya sangat sempit, sulit melewatinya.

Arya di Bati-vati, parpol semestinya melakukan kaderisasi. Cari kader yang paling berpotensi menduduki jabatan politik. Lakukan pendidikan politik kepada warga, sehingga demokrasi semakin baik, berkualitas.

Ada dua bagian yang terpisah, kata Isra, menanggapi partisipan Palidangan Noorhalis. Pertama ada yang disebut selection, dilakukan oleh partai politik. Biasanya ini tiak substansial, instrumental dan cendrung transaksional. Bagian kedua disebut election, pemilihan. Bila saat selection tidak banyak alternatif untuk dipilih, maka bagaimanapun bagusnya election, tidak akan melahirkan yang terbaik. Karenanya, penting ada calon perseorangan.

Situasi demkorasi terus dibajak. Partai politik menjadi semacam kartel. Pemiliknya bukan lagi rakyat pendukung partai, namun pendiri dan petinggi partai itulah pemiliknya. Sehingga seperti perusahaan, kartel.

Pada bagian lain, demokrasi juga dikendalikan oleh kelompok oligarkhi. Mengendalikan partai dari luar partai. Tidak ikut partai, tapi mampu mengendalikan jalan dan kebijakan partai. Karena itu, sekali lagi, calon independen adalah alternatif. Memberikan pilihan bagi masyarakat. Karena elit parti tidak mau memberikan pilihan. Semua ditentukan berdasarkan sistem kartel.

“Secara makro, perubahan di Indonesia diawali dari perubahan struktur. Sistemnya dulu yang diperbaiki, baru kemudian kultur masyarakatya. Cara seperti ini dianggap lebih mudah dan lebih cepat. Kalau dimulai dari kultur, memerlukan waktu yang sangat lama. Walaupun hasilnya akan lebih mendasar,” kata Isra Ramli.

Apa pesan yang bisa disampaikan kepada publik pendengar untuk memajukan demokrasi, kata Noorhalis Majid, pemandu Palidangan Noorhalis?

Pesan Isra Ramli, sekarang ini sudah menjalani tiga kali hasil Pilkada, tahun 2020 putaran keempat. Setelah lima tahun, kita dapat menentukan pilihan, apakah akan menghakimi dengan tidak memilih lagi? Terus terang, belum ada figur yang membanggakan secara nasional, karena itu bila parpol tidak menyuguhkan yang terbaik, maka calon independen harus memberikan alternatif. “Apakah kita memiliki sumber daya manusia untuk itu? jawabannya ada, banyak yang lebih baik” kata Isra, mengakhiri paparannya.(jejakrekam)

Penulis Andi Oktaviani
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.