Peran Media dan Budaya Menangkal Radikalisme

0

RADIKALISME terus menyebar, mengancam, berbuah terorisme. Kalau tidak ingin hancur, semua harus melawan. Peran media sangat strategis. Budaya, menjadi pondasi. Karena kita beragam, bhineka. Upaya penyeragaman melalui gerakan radikal, menghancurkan budaya bangsa yang plural. Bagaimana peran media dan budaya menangkal radikalisme? Mampukan media menggali kearifan lokal membendung paham radikal?

WARTAWAN itu bekerja berdasarkan apa yang ada dan tumbuh di masyarakat. Memang semuanya saling kait mengkait, media mengolahnya menjadi berita. Bagaimana media mengangkat budaya lokal agar mampu menangkal hoax, misalnya. Karena bersumber dari hoax, berbagai berita bisa dikonsumsi tanpa sempat disaring, termasuk informasi menyangkut paham radikal,” ujar Ketua Bidang Media Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalsel Drs Fathurrahman MSi dalam Palidangan Noorhalis di Pro 1 RRI Banjarmasin, Kamis (17/10/2019).

Berdasarkan data penelitan BNPT, banyak orang terpapar radikalisme, termasuk di Kalsel, ada pelajar yang tidak mau ikut upacara bendera atau menyanyikan lagu Indonesia Raya. Tidak suka dan bahkan menolak dasar negara. Lalu, berdasarkan penelitian, disimpulkan bahwa kearifan lokal mampu menangkal berkembangnya paham radikalisme.

“Selama ini kita kurang memberikan perhatian terhadap kearifan lokal, padahal mampu menangkal paham radikal. Anak muda banyak yang tidak paham kearifan lokal. Mereka tercerabut dari akar budayanya. FKPT bermaksud menggalang media, mengangkat kearifan lokal tersebut agar kembali tumbuh, diketahui masyarakat,” lanjut Fathurrahman.

Apa saja potensi kearifan lokal, terutama kebudayaan Banjar yang dapat digali lebih jauh? Bagaimana isu radikal di Kalsel? Tanya Noorhalis Majid, Pemandu Palidangan Noorhalis.

Sangat banyak, kata Fathurrahman. Ada berupa kesenian pertunjukan seperti madihin. Isinya tidak sekedar hiburan, dapat diberikan muatan nasehat soal mencegah radikalisme. Ada Bapandung, mengemas pesan dan nasehat melalui cerita yang dilakonkan. Ada Balamut, sekalipun ada pakem yang sangat kuat, namun bisa disisipi pesan-pesan. Begitu pula kebudayaan lainnya seperti paribahasa banjar, dapat digali dan memberian nasehat dalam hidup.

BACA : Radikalisme karena Faktor Ekonomi dan Minim Pendidikan

Selama ini Kalsel dianggap aman. Namun kita juga tidak boleh lengah. Karena paham ini sangat mudah masuk. Bukan hanya di sekolah, tapi kelompok lainnya juga bisa saja terpapar. Ketika paham ini masuk, media jangan turut membesarkan. Sekarang ini media sudah melakukan konvergensi, menggabungkan atau mengintegrasikan media-media yang ada untuk diarahkan pada satu tujuan. Perkembangan teknologi informasi, memungkinkan konvergensi itu dilakukan.

Perkembangan media sosial yang sangat pesat, menumbuhkan kepercayaan publik kepada media mainstream sebagai alat verifikasi. Karena berfungsi meverifikasi, berita di media sosial, maka media jangan sampai terpapar radikal, akan sangat berbahaya karena berita yang dibuat bisa mengarah pada penguatan isu radikal.

“Kritik tentu sangat boleh dan bahkan harus dilakukan sebagai kontrol warga, namun memusuhi, menyerang kebijakan pemerintah tanpa alasan yang jelas, selalu menyalahkan pemerintah, dan bahkan ada yang jelas-jelas menolak pemerintah, tentu dapat dicuriga sebagai gerakan radikal,” kata Fathurrahman.

Pendengar Palidangan Noorhalis juga ikut bergabung menyampaikan pendapatnya. Opung di Kelayan, bila seorang radikal menyampaikan pelajaran, tentu sangat berbahaya, maka pelajaran apa yang dirasa tidak cocok, sehingga kita dapat mengenali radikalisme dari pelajaran yang disampaikan?

Ahmad Zaki di Bajarmasin, radikal terbagi dalam dua bagian, radikal dalam berpikir dan radikal dalam bertindak. Kalau mamanda dapat mencegah paham radikal, mungkin karena pagelarannya ada interaksi dengan penonton, sehingga dialog bisa dilakukan.

Saddam di Banjarmasin, setiap kita harus menata perkataan, pola pikir. Kalau mau belajar agama, melajar pada ahlinya, jangan sampai salah sehingga menjadi radikal.

BACA JUGA : Ini Alasan Radikal Sengaja Dibuat Viral

Memang kalau melihat dari identitas fisik, sulit mengenali seorang yang disebut radikal. Karena sama sekali tidak ada hubungannya dengan ciri fisik seperti jenggot, cadar, celana cingkrang. Kalau menyampaikan sesuatu, barulah diketahui isi ucapannya apakah radikal atau tidak. Cirinya, suka mengkafirkan orang lain. Orang lain yang berbeda dengan dia disalahkan, dituduh sesat.

“Pernyataannnya selalu menentang pemerintah. Selalu mencari kesalahan, kekurangan dan memaksakan pikirannya agar diterima orang lain. Kalau tidak mau, menggunakan kekerasan agar diterima. Dari pikiran yang keras, turun menjadi tindakan,” beber Fathurrahman.

Lebih lanjut dia mengatakan, kalau dulu tindakan teror dilakukan menggunakan bom dengan daya ledak tinggi, sekarang dengan bom-bom kecil. Bom panci, bom buku, serangan secara personal, semuanya untuk menimbulkan ketakuan dan ketidakpercayaan pada negara. Mereka melakukan teror di seluruh dunia.

Berbagai budaya yang kita miliki harus digali. Terutama budaya menangkal radikalisme. Budaya yang sudah digali tersebut di sebarkan di media sosial, sehingga ketika orang mencari tahu tentang radikalisme, justru yang tampil mamanda, bapandung atau balamut yang menolak radikalisme.

Memang betul ada ayat-ayat perang. Bila yang dibaca hanya tekstualnya saja, tanpa melihat asbabunujul dan sejarahnya, ayat-ayat keras itu bisa dipakai melegitimasi tindakan. Padahal Nabi Muhammad mengajarkan toleransi kepada orang yang berbeda keyakinan sekalipun, apalagi hanya berbeda pendapat.

Ia berpesan, ketika dapat informasi, saring sebelum shering. Agar tidak salah, dan tidak menjadi bagian dari penyebar hoax. Juga harus memahami kearifan lokal untuk menangkal radikalisme. Damai itu jauh lebih indah, dan kita hidup harus selalu menyebar damai, Islam mengajarkan agar memberi rahmat kepada seluruh alam.(jejakrekam)

Penulis Andi Oktaviani
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.