Moderasi Agama dan Kearifan Lokal Banjar

Oleh : Humaidy Ibnu Sami

0

KONSEP moderasi menurut Mujiburrahman (Rektor UIN Antasari, Banjarmasin), dalam perjalanan pencariannya yang belum diuji dan dianalisis secara tajam dan mendalam. Ada sekitar enam konsep yang ia temukan dari hasil risetnya.

PERTAMA, moderasi yang berarti wasathiyah yakni berada di tengah mencari titik imbang antara yang imanen dan transenden, absolut dan nisbi, dan yang sakral dan profan. Sebagai contoh seperti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary menyebut aliran Wujudiyah atau Wihdatul Wujud itu ada dua yakni Wujudiyah yang mulhid (sesat) dan Wujudiyah yang muwahhid (lurus).

Adapun yang disebut pertama serba Tuhan, semua makhluk termasuk manusia adalah tempat tajalli Tuhan, manusia dan seluruh makhluk bisa bersatu dan menyatu dengan Tuhan atau secara absolut Tuhan itu imanen.

BACA : Jalan Dakwah Syekh Ali Junaidi Al Banjary, Sebarkan Islam ke Negeri Serawak dan Berau

Sementara yang disebut kedua berpendapat, meskipun Tuhan bertajalli dengan manusia dan makhluk-Nya, tapi Khaliq tetap sebagai Khalik, makhluk tetap sebagai makhluk, kedekatan yang bisa dicapai hanya sampai Wihdatus Syuhud (kesatuan kesaksian), tidak Wihdatul Wujud (kesatuan eksistensi). Namun bukan berarti ia mengabsolutkan bahwa Tuhan itu transenden sebagaimana pendapat para ahli ilmu Kalam.

Kedua, moderasi yang berarti Midle Way yakni mengambil posisi betul-betul tengah-tengah di antara posisi dua ekstrim seperti sikap hemat berada di posisi antara boros dan kikir.

Ketiga, moderasi yang berarti Kalimatun Sawa yakni mencari titik temu yang disepakati bersama-sama sambil menghargai perbedaan, sepakat dalam ketidak-sepakatan seperti Piagam Madinah adalah sebuah perjanjian yang waktu Nabi Muhammad SAW di Madinah bisa mempertemukan aspirasi umat Islam, Yahudi, Nasrani dan agama pagan untuk sepakat sama-sama menjaga Negara Madinah. Atau seperti Pancasila sebagai dasar negara RI yang disepakati oleh seluruh komponen bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan beragam agama.

BACA JUGA : Gusti Abdul Muis, Ulama yang Mahir Kitab Kuning dan Kitab Putih

Keempat, Moderasi yang berarti interaksi positif antara yang universal dan partikular, global dan lokal atau dalam kata lain pribumisasi, seperti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary yang memasukkan hukum adat Perpantangan ke dalam hukum waris Islam sehingga hukum adat dan hukum Islam bertemu dalam satu rangkaian kesatuan ajaran.

Kelima, Moderasi dalam arti saling mengisi satu sama, take and give yakni bertemunya sifat Jalal dengan sifat Jamal membuahkan sifat Kamal, atau berpadunya antara yang maskulin dan feminin melahirkan perkawinan, seperti pernikahan sepasang anak manusia antara lelaki dan perempuan saling menyinta karena bisa saling melengkapi satu sama lain sehingga menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah.

BACA LAGI : Gelar Al Banjary dan Budaya Lokal dalam Ijtihad Syekh Muhammad Arsyad

Keenam, Moderat dalam pengertian Kesinambungan dan Perubahan yakni melakukan pembaharuan tanpa tercerabut dari akar tradisi, atau sebaliknya melakukan pelestarian dengan semangat pembaharuan contoh seperti ban kendaraan itu berproses dari waktu ke waktu, mulai dari kayu, kemudian ban karet buta, ban karet pakai usus sampai ban yang menggunakan tubles.

Walaupun tetap disebut sebagai ban, tetapi bentuk dan bahan bannya sudah bermacam-macam, sesuai dengan perkembangan. Hal ini senada dengan kaidah fiqih “al-muhafazhah ‘alal qadimis shalih al-akhdzu bil jadidil ashlah“, artinya memelihara nilai lama yang baik, mengambil nilai baru yang lebih baik.(jejakrekam)

Penulis adalah Staf Pengajar UIN Antasari Banjarmasin

Peneliti Senior LK3 Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.