Menjadi Orangtua dengan Anak Berkebutuhan Khusus

Oleh : Hervita Liana SH

0

MEMILIKI anak dengan kebutuhan khusus tidak pernah mudah. Apalagi jika anak belum bisa mandiri. Ke mana-mana masih harus diangkut (digendong), dilayani, diambilkan, dan disediakan. Terlebih jika keterlambatannya cukup jauh dari usia kronologisnya.

BEBERAPA sharing dari teman-teman yang juga memiliki anak berkebutuhan khusus (ABK), ‘beban’, keluhan, dan kegalauan mereka cukup berkurang setelah anak bisa mandiri (berjalan) – walau sudah bisa berjalan juga tidak lantas PR selesai, apalagi jika anak memiliki disabilitas rungu/wicara, netra, daksa dan lainnya.

Perasaan yang kadang muncul adalah:

  1. Capek. Capek secara fisik karena anak masih harus digendong padahal BBnya juga makin bertambah.
  2. Jenuh. Jenuh dengan rutinitas terapi yang rasanya tidak ada habisnya.
  3. Kecil hati/sedih. Jika anak lain yang sama-sama berkebutuhan khusus dan mengikuti terapi yang sama sudah mengalami banyak kemajuan sementara anak kita belum/stuck.
  4. Khawatir. Khawatirnya bisa macam-macam. Khawatir jika dokter/terapis yang biasa menangani anak keburu pensiun padahal anak belum mandiri. Khawatir akan kondisi keuangan bagaimana jika tidak bisa membiayai terapi atau pengobatan secara kontinyu karena tidak bisa dipungkiri, ada beberapa perkara yang tidak tercover oleh JKN. Khawatir jika anak masih belum bisa mandiri di saat kita sebagai orangtua sudah berpulang.
  5. Rikuh. Rikuh pada para eyang yang di usia senja nya masih kami repotkan dengan ABK kami, baik dalam hal biaya, bantu menjaga, bantu memikirkan opsi pengobatan, dll.
  6. Kangen bisa melakukan hobi/me-time dengan tenang. Karena pada kenyataannya, walaupun bisa ber-me time ria pun, pikiran melayang ke anak. Apakah dia sudah minum obat tepat waktu? Apakah rewel sampai badannya kaku? dan lain sebagainya.
  7. Wondering. Jadi bertanya-tanya, kadang-kadang, kapan ujian ini berlalu? Apakah aku mampu menghadapi ujian sampai garis finish? serta lainnya.
  8. Bosan. Kadang saat down, ada hari-hari di mana malas bangun pagi. Rasanya sudah bisa membayangkan hari ini akan berjalan seperti apa. Ingin tidur lagi dan melanjutkan mimpi indah, karena kadang mimpi lebih indah dari kenyataan.

BACA : Penyandang Disabilitas Masih Rawan Diskriminasi

Memiliki anak dengan kebutuhan khusus tidak pernah mudah, tapi bukan berarti selalu susah dan tidak mungkin untuk dijalani. Selalu ada hal-hal baik terselip jika kita mau jeli mencari.

Beberapa hal baik yang terasa:

  1. Jadi lebih bersyukur terhadap progress anak. Di saat ibu lain yang dianugerahi anak-anak tanpa disabilitas mengeluhkan kenapa anaknya tidak bisa diam, kenapa anaknya coret-coret di dinding, kenapa anaknya lari-larian nggak bisa anteng, kenapa anaknya kalah montok dari anak tetangga sebelah, dan sebagainya. Kami dengan ABK sudah cukup puas dengan hari yang tenang di mana anak kami tidak rewel-rewel amat dan mau makan tanpa tersedak. Kami sudah gembira saat ABK kami yang sepertinya belum paham dunia sekitarnya mengenali kami sebagai ibunya lalu mencondongkan tubuhnya ke arah kami minta digendong saat ia sedang digendong ayah, eyang, atau ART. Kami malah senang ketika ABK kami mengacak-ngacak barang sampai rumah berantakan karena berarti pemahamannya terhadap sekitar bertambah sedikit demi sedikit.
  2. Jadi lebih mudah disenangkan. Mungkin dulu hal yang menyenangkan untuk kami para ibu adalah kalau bisa nyalon, ngedate berdua suami, makan di tempat favorit, shopping bersama teman perempuan milih baju sama-sama. Sekarang, anak bisa tidur cepat tanpa rewel, tanpa harus digendong lama sampai boyok pegal – rasanya sudah surga banget. Bisa mandi dengan tenang tanpa harus buru-buru, nikmatnya. Bisa makan siang sambil baca majalah (bukan makan buru-buru) karena anak bisa tidur siang dengan mudah – alhamdulillah. Ukuran bahagia kami jadi berubah.
  3. Jadi makin banyak teman. Karena komunitas yang bisa kami ikuti pun makin beragam. Dulu hanya ikut komunitas parenting, pendidikan, kerajinan tangan (misal). Sekarang bisa ikut komunitas parenting with special needs, difabel rungu, difabel netra, advokasi difabel, special education, dan masih banyak lagi.
  4. Jadi makin sadar pentingnya membaca dan mencari tau. Terutama yang berhubungan dengan kesehatan anak, diagnosa dari dokter, jenis obat dan aturan pemakaiannya, tips untuk ikhlas, dll.
  5. Jadi makin kompak dengan pasangan. Kalau dulu urusan rumah dan anak adalah hanya urusan ibu dan ayah hanya kebagian mencari nafkah, sekarang tidak lagi saklek begitu. Ayah pun ikut mengurus anak. Ini pengalaman pribadi. Dulu sebelum tahu Ubii CRS – Adit kurang semangat kalau aku sodorin tulisan-tulisan ttg demam pada anak, common cold, imunisasi, dan PR-PR orangtua lainnya. Sekarang Adit jauh lebih aktif dan lebih mau menyempatkan waktu membaca PR-PR bacaan yang aku sodorkan. Melatih/merawat Ubii juga kami bagi tugas. Aku kebagian tugas meminumkan obat pagi, Adit malam nya. Aku kebagian tugas stretching kaki dan tangan Ubii, Adit dapat punggung. Selain pembagian tugas makin kompak, rasanya juga makin akur. Kalau ada pertengkaran pun, lebih cepat berbaikannya. Karena sama-sama merasa “Life’s complicated. So, don’t complicate it more!”
  6. Jadi makin menghargai dan bisa merasakan kebaikan keluarga besar.
  7. Jadi lebih mikir kalau mau berbuat yang enggak-enggak. Rasanya seperti ada yang lebih mengingatkan. Jadi lebih semangat melakukan hal positif yang syukur-syukur bisa bermanfaat untuk orang lain, dengan kata lain menabung kebaikan, walau dengan cara sederhana. Harapannya kebaikan yang tertabung, bisa jadi kebaikan dan doa untuk kesembuhan Ubii. (Tapi bukan berarti maksudnya pamrih loh ya).
  8. Jadi lebih all out dalam menikmati momen-momen yang menyenangkan dalam hidup. And it feels so good. Jadi lebih nyadar bahwa waktu tidak bisa diputar kembali.
  9. Jadi lebih wise saat di hadapkan pada 2 pilihan, ingin menjadi lebih baik atau lebih buruk. Lebih buruk adalah saat belum bisa menerima. Lebih baik adalah saat mengimani bahwa saya memang dipilih Nya karena saya mampu dan bisa, sehingga akhirnya berhasil ke pemahaman bahwa punya ABK adalah anugerah terindah yang Tuhan berikan, tidak semua ortu dipilih jd bersyukurlah kita. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan hasil karya-Nya.

BACA JUGA : Perlindungan Hukum terhadap Hak Penyandang Disabilitas Meraih Kerja

Memiliki anak dengan kebutuhan khusus tidak pernah mudah, karena akan selalu ada PR yang perlu dipikirkan. Ketika anak masih seperti Ubii, jelas ya, sangat berpikir bagaimana supaya Ubii bisa mengejar milestones nya, bisa mandiri, harus ke dokter siapa, apakah biaya dokter tersebut terjangkau, dll.

Ketika anak sudah bisa mandiri dan masuk usia sekolah, akan ada lagi PR mencari mana kah sekolah yang mau menerima ABK (jika memang ingin ke sekolah umum, bukan SLB) – karena faktanya mencari sekolah inklusi itu tidak mudah, jika sudah menemukan sekolah inklusi tersebut, apakah biaya terjangkau? Kemudian ABK masuk usia pra-remaja, yang sudah bisa punya emosi, punya rasa minder, dll, mikir lagi apakah ABK-ku punya kawan yang baik, yang tidak membully nya? Apakah di sekolah ia dapat beradaptasi? Dan masih banyak lagi PR-PRnya.

Memiliki anak dengan kebutuhan khusus tidak pernah mudah. Maka dari itu, aku agak merasa aneh kalau melihat orangtua yang keukeuh melabeli anaknya dengan sebutan ABK padahal perkembangan anaknya sudah seperti anak normal lainnya.

Memiliki anak dengan kebutuhan khusus tidak pernah mudah, tapi bukan berarti lantas kita yang dianugerahi ABK menjadi lebih hebat daripada orangtua yang tidak diberi ABK. Bukan lantas kemudian kita lebih baik, lebih super, lebih sabar, dan lebih-lebih lainnya. Tetap sama saja.

BACA LAGI : 12 Advokat Muda Dilantik, Termasuk Dua Pengacara Penyandang Disabilitas

Di mataku, semua orangtua yang menyayangi anak-anaknya, baik anaknya ABK atau tidak, adalah hebat. Karena menjadi orangtua itu banyak banget PR-nya. Orangtua dengan anak yang sehat juga pastinya memiliki ujiannya masing-masing. Dan bagaimana kita bisa saling menghargai dan berempati dengan tetap rendah hati, itulah yang lebih penting.

Mungkin hari ini bukan hari terbaik. Mungkin hari ini terasa berat. Tapi, kalau kemarin saja bisa kita lewati, so we will conquer today as well! Hang in there, all special needs parents. Karena itu adalah pilihan terbaik yang kita miliki saat ini.(jejakrekam)

Penulis adalah Aktivis Disabilitas Banua

Ketua Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Disabilitas Provinsi Kalimantan Selatan

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2019/08/19/menjadi-orangtua-dengan-anak-berkebutuhan-khusus/

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.