Manipakul, Persepsi Orang yang Tak Mau Berjuang

Oleh : Noorhalis Majid

0

MANIPAKUL, diambil dari kata timpakul. Nama binatang yang hidup di dua alam. Karena hidup di dua alam, mudah beradaptasi. Mampu  hidup pada situasi apapun. Saat air pasang hidup, air surut juga tetap hidup. Bisa hidup di atas  tanah, di dalam lumpur dan bisa pula di batang yang hanyut di sungai. Pada kondisi apapun dia bisa hidup dengan nyaman.

SEBENARNYA karakter timpakul sangatlah ideal, mampu beradaptasi pada keadaan apapun. Entah kenapa ketika dilekatkan pada sifat manusia, dipersepsi secara negatif.  dianggap licik, culas,  suka mudahnya saja, tidak mau berjuang, tidak punya pendirian, ikut yang menguntungkan dirinya saja.

Begitu dekatnya orang Banjar dengan alam, menggunakan metafora alam atau binatang yang hidup di sekitar lingkungan tempat tinggal sebagai paribasa. Timpakul, ular, kodok, kera, dan lain sebagainya, dipinjam untuk mengilustrasikan sesuatu. Kalau tidak dekat dengan alam, tidak akan mampu memahami karakteristik binatang dan fenomena alam tersebut.

BACA : Paribasa Banjar; Dimamah Hanyar Ditaguk Penuh Makna

Paribasa atau peribahasa ini tentu lahir pada masyarakat pinggiran sungai. Karena timpakul hidup di sungai. Paribasa yang sepadan dengan ini berbunyi, umpat batang timbul, yang juga menggambarkan situasi sungai. Pada masyarakat gunung tidak dikenal timpakul, dan paribasa ini juga tidak terdengar, mungkin ada padanan metafor yang serupa.

Lebih dimaknai sebagai sindiran dan nasehat sekaligus,  bahwa hidup harus jujur, punya prinsip, pendirian, komitmen, empati, dalam bahasa sekarang disebut integritas,  sehingga terhormat. Juga bagian dari otokritik, karena sifat ingin mudahnya saja, suka mengakali orang lain, adalah sifat buruk, bisa ditemui pada masyarakat mana saja.

Lahirnya paribasa ini menggambarkan orang banjar sangat benci pada sifat licik. Masa perjuangan kemerdekaan, paribasa ini ditujukan pada para penghianat yang tidak memiliki pendirian. Berada di dua kaki. Pura-pura ikut berjuang, tapi pada waktu bersamaan berkawan dengan penjajah. Cari selamat, ingin mudahnya saja dan tidak mau menanggung risiko.

BACA JUGA : Baguna Tahi Larut; Paribasa Banjar, Refleksi Budaya

Kini integritas semakin langka. Karenanya lembaga dan banyak institusi, ramai membuat  zona integritas. Ditanda tangani fakta integritas. Bahkan dengan sebuah acara yang dihadiri dan disaksikan banyak orang, untuk menunjukkan bahwa serius membangun wilayah integritas.

Padahal integritas itu ada di dalam diri setiap orang. Kalau dituangkan dalam bentuk tanda tangan komitmen integritas, boleh jadi akan tereduksi menjadi target angka-angka, atau bahkan hanya sekedar serimonial. Namun, segala upaya tentu harus dihormati. Kalau kemudian hanya serimonial, maka upaya itupun dapat disebut manimpakul.(jejakrekam)

Penulis adalah Kepala Ombudsman Perwakilan Kalsel

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.