SK Menteri ESDM Janggal, Pakar Hukum : Izin Tambang MCM Perlu Dievaluasi

0

GUGATAN koalisi masyarakat sipil yang diwakili Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengggugat Menteri Energi Sumber Daya Mineral (EDSM) Ignasius Jonan dan PT Mantimin Coal Mining (MCM) dalam menguji surat keputusan (SK) bernomor 441.K/30/DJB/2017, tertanggal 4 Desember 2017, kini bergulir di Mahkamah Agung (MA) RI.

WALHI pun mengajukan kasasi, usai di persidangan tingkat pertama PTUN Jakarta, gugatannya ditolak hingga diperkuat putusan banding Pengadilan Tinggi (PT) TUN Jakarta bernomor 28/B/LH/2019/PT.TUN.JKT, tanggal 14 Maret 2019.

Dua tahun lamanya gerakan yang digaungkan Walhi bersama koalisi masyarakat sipil dalam gerakan #SaveMeratus, menolak eksploitasi MCM di 20 titik koordinat dengan luasan konsesi 5.908 hektare di dua blok. Yakni, Blok Batu Tangga di Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST) seluas 1.959,12 hektare, serta Blok Upau di Kabupaten Tabalong dan Blok Halong Kabupaten Balangan dengan luas 3.949 hektare, berlaku hingga 25 Desember 2034.

BACA : Di Bawah Bayang Korporasi, Nasib Pegunungan Meratus HST Tergantung Suksesi 2020

Berbagai upaya ditempuh koalisi masyarakat sipil, dari aksi demonstrasi, berkirim surat ke Presiden Jokowi hingga lewat jalur hukum. Kenapa masih kandas dan seakan pengadilan tak berpihak kepada lingkungan?

Akademisi Fakultas Hukum Uniska Dr Nurul Listiyani berpendapat dalam kacamata hukum ada prosedur hukum yang dilabrak Kementerian ESDM dengan menerbitkan SK Nomor 441.K/30/DJB/2017, tertanggal 4 Desember 2017 bagi PT MCM.

“Izin pertambangan itu ada empat syarat yang harus dipenuhi, syarat administrasi, finansial, teknis dan syarat lingkungan,” ucap Nurul saat ditemui jejakrekam.com, usai bedah buku di Uniska Syekh Muhammad Arsyad Albanjary, Banjarmasin, Jumat (19/7/2019).

Menurut dia, entitas perusahaan wajib memenuhi empat syarat sebelum diberikan izin oleh pemerintah. Doktor ilmu hukum jebolan Universitas Brawijaya Malang ini juga bertanya-tanya alasan PT MCM sudah mengantongi izin usaha produksi, sementara izin lingkungan belum diterbitkan.

BACA JUGA : Bikin Kajian Dampak Tambang, Tiga Kali Pemkab HST Surati Menteri ESDM

Nurul mengungkapkan perjuangan #SaveMeratus belum usai, masih ada cara lain yaitu masyarakat menolak persetujuan Amdal PT MCM, sehingga tidak bisa beroperasi.

“Peran serta masyarakat diperlukan, karena dalam mengkaji Amdal, masyarakat harus setuju, apabila masyarakat menolak praktis izin Amdal tidak bisa diterbitkan. Hhal ini sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Nomor 32 Tahun 2009, di pasal 70,” beber Nurul.

BACA JUGA : LPMA Nilai Penetapan Geopark Bukan Langkah Tepat untuk Lindungi Pegunungan Meratus

Hanya saja, Nurul enggan berasumsi SK Menteri ESDM Nomor 441.K/30/DJB/2017, apakah karena adanya patgulipat antara pemerintah dan pengusaha, meskipun penuh dengan kejanggalan.

“Saya tidak bisa berani (berasumsi) karena mungkin masuknya ke ranah implementasi bisa saja apa yang saya uraikan tidak sesuai dengan apa terjadi di lapangan,” kata Nurul.

Menurut dia, perlu penelitian lebih mendalam untuk mengetahui celah hukum sehingga SK Menteri ESDM ini diterbitkan, meskipun izin lingkungan belum dikantongi pihak MCM.

Sementara itu, pakar hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Prof Dr HM Hadin Muhjad memastikan setiap entitas yang ingin melakukan aktivitas bisnis yang berpotensi kerusakan atau ancaman lingkungan wajib mengantongi Amdal.

“Izin usaha tanpa izin Amdal itu merupakan (tindakan) pidana, izin lingkungan tanpa didahului izin Amdal (tindakan) pidana, ketika Amdal yang tidak disusun orang yang mempunyai sertifikasi, juga  pidana,” ucap mantan Wakil Rektor I ULM ini.

BACA JUGA : Upaya Banding Rontok di PT TUN Jakarta, Walhi Ajukan Kasasi ke MA

Hadin menilai di era kekinian regulasi cenderung lebih ketat, oleh sebab itu izin pun diterbitkan merupakan perpanjangan. “Kasus (PT MCM) izin usaha produksi yang di HST merupakan perpanjangan izin eksplorasi ke izin produksi, saya kira perlu dievaluasi karena dibuat sebelum aturan diperketat,” jelas Hadin.

Bukan tanpa alasan pemerintah perlu mengevaluasi izin pertambangan, Hadin menegaskan Pegunungan Meratus merupakan penyangga Kalimantan Selatan. Andai ditambang maka berdampak buruk bagi masyarakat Banua. “Kenapa sampai lolos izin itu, dan (digugat) Walhi pun kalah, kecuali sudah hancur baru mungkin merasa (dampaknya) kita,” tandas Hadin.(jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.