Jakarta Lebih Padat Dibanding New York, Ini Alasan Pemindahan Ibukota

0

POSISI strategis jadi persyaratan mutlak dari pemerintah pusat untuk menunjuk calon ibukota negara Republik Indonesia, pengganti Jakarta. Kalimantan Selatan pun termasuk salah satu provinsi yang dilirik, di samping Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.

KRITERIA penentuan lokasi ibukota ini diungkap Deputi Bidang Pengembangan Regional Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas Rudy S Prawiradinata dalam Dialog Nasional Pemindahan Ibukota Negara; Kalimantan untuk Indonesia di Ballroom Novotel Banjarbaru, Senin (15/7/2019).

Dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi di Jakarta, khususnya Pulau Jawa, Rudy  mengungkapkan berdasar hasil kajian dari Bappenas, maka pilihan logis adalah berada di luar Pulau Jawa.

“Saat ini, 56 persen penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Sisanya, tersebar di luar Jawa. Menariknya, penduduk di luar Pulau Jawa itu rata-rata di bawah 10 persen. Hanya Pulau Sumatera yang berada di atas 10 persen,”  beber Rudy.

BACA : Ketua DPRD Kalsel Optimistis Batulicin Kandidat Kuat Ibukota Negara

Terbukti, 10 besar penduduk terpadat di Indonesia didominasi Pulau Jawa, yakni Jakarta sebagai provinsi terpadat di Indonesia dengan populasi penduduk mencapai 10.277.628 jiwa. Disusul Surabaya (Jawa Timur), Bekasi (Jawa Barat), Bandung (Jawa Barat), Medan (Sumatera Utara), Depok (Jawa Barat), Tangerang (Banten), Semarang (Jawa Tengah), Palembang (Sumatera Selatan) dan Tangerang Selatan (Provinsi Banten).

Rudy pun menyebut saat ini tingkat kepadatan penduduk di Jakarta, malah melebihi kota-kota besar di dunia seperti Tokyo dan Osaka di Jepang, serta New York, Amerika Serikat.

Tak hanya mengurai kepadatan penduduk Pulau Jawa, Rudy mengatakan rencana pemindahan ibukota juga untuk pemerataan pertumbuhan ekonomi di luar pulau terpadat di Indonesia. Menurutnya, saat ini, pelaku usaha di Indonesia didominasi di Pulau Jawa mencapai 60 persen dengan pertumbuhan ekonomi pada 2018 lalu mencapai 5,7 persen.

Dengan posisi itu, Rudy mengakui terjadi ekonomi tak seimbang antara Pulau Jawa dan luar Jawa, padahal sesuai target Presiden Joko Widodo harus ada pemerataan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, tak lagi terpusat di Jawa.

BACA JUGA : Sandi Usul Pemindahan Ibukota Negara Harus Melalui Referendum

Pertimbangan lainnya adalah daya dukungan dan tampung Pulau Jawa yang makin berat, hingga kini ada beberapa daerah sudah mengalami krisis air bersih. Hingga, akhirnya, berbagai daerah di Pulau Jawa mengalami kekeringan air.

“Belum lagi, lahan pertanian di Pulau Jawa relatif kecil dibanding pulau lainnya. Contohnya, Kalimantan dan Papua masih sangat luas, sedangkan di Pulau Jawa terus berkuran hampir satu persen tiap tahun,” beber Rudy.

Ini belum lagi ancaman penurunan atnah yang terus terjadi di Pula Jawa, dengan rata-rata 7,5 centimeter per tahun untuk penurunan muka air tanah. Sedangkan, tanah turun sejak 1989-2007 sudah mencapai 40-60 cm, dan diperkirakan ketika air tanah terus dikuras menjadi 10-20 centimeter pada 2015 lalu.

“Inilah mengapa Pulau Jawa itu rawan banjir. Sekarang, posisi Jakata sebagai ibukota negara, sekitar 50 persen wilayahnya memiliki tingkat keamanan terhadap banjir di bawah 10 tahun,” beber Rudy.

Lantas apa saja kriteria calon ibukota yang baru? Rudy memaparkan secara geografis wilayahnya berada di tengah wilayah Indonesia dengan mempresentasikan keadilan dan mendorong percepatan pengembangan wilayah KTI (Indonesia Centris).

Kemudian, tersedia lahan luas milik pemerintah/BUMN perkebunan untuk mengurangi biaya investasi, dengan posisi lahan bebas bencana gempa bumi, gunung berapi, tsunami, banjir, erosi serta kebakaran hutan dan lahan gambut.

BACA LAGI : Palangka Raya-Gumas-Katingan Siap Jadi Calon Ibukota Negara

Ia juga memaparkan syarat lainnya adalah tersedianya sumber daya air yang cukup dan bebas pencemaran lingkungan, dan dekat dengan kata eksisting yang berkembang. Rudy menyebut hal itu seperti akses mobilitas logistik baik berupa fasilitas bandara, pelabuhan dan jalan, ditopang pelabuhan laut demi mewujudkan Indonesia negara maritim dengan koneksitas tol laut, hingga pelayanan air minum, listrik, sanitasi dan jaringan komukasi yang memadai.

“Lahan itu juga harus rendah potensi konflik sosialnya dengan tipe masyarakat yang memiliki budaya terbuka terhadap pendatang serta memiiliki dampak negatif terhadap komunitas lokal,” papar Rudy.

Syarat lainnya dijelanskan pejabat pusat ini adalah memenuhi perimeter pertahanan dan keamanan serta tidak dekat dengan wilauyah perbatasan negara.(jejakrekam)

 

Penulis Balsyi/Asyikin
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.