Suka Main Hakim Sendiri, Pusad Paradimana Sebut Kasus Kekerasan Tinggi di Banjarmasin

0

HASIL riset Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Paramadina Jakarta membeberkan kasus kekerasan atas nama agama di Banjarmasin dan umumnya, Kalimantan Selatan masih terbilang tinggi.

FAKTA ini  diungkap dua peneliti Pusad Paramadina Jakarta, Siswo Mulyantono dan Husni Mubarak dalam Dialog Kerukunan yang dihelat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Kalsel dan Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) di Banjarmasin, Kamis (27/6/2019).

Siswo Mulyantono mengungkapkan kondisi Banjarmasin terkesan aman, damai dan tentram, namun justru berbeda dengan data yang didapat dari hasil penelitian menunjukkan kasus kekerasan terbilang tinggi.

“Terutama, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maupun kekerasan dalam bentuk main hakim sendiri. Dalam setahun, tercatat ada 386 kasus main hakim sendiri dengan jumlah korban terdata 9 orang,” ungkap Siswo.

BACA : Predatornya Orang Dekat, Ada 42 Kasus Kekerasan Anak Difabel di Kalsel

Ia mengaku prihatin dengan gampangnya oknum masyarakat yang melakukan kekerasan, sehingga akan sangat mudah menjadi kekerasan atas nama agama.

“Apalagi menyangkut penolakan pendirian tempat ibadah juga sangat tinggi, sehingga bila ada kasus menyangkut tempat ibadah, berpotensi berubah menjadi tindak kekerasan,” cetus Siswo.

Menurut dia,  ada data yang menarik, meski tidak terkorelasi, karena biasanya kasus kekerasan itu dipicu rendahnya tingkat pendidikan di Kalsel. Paradoksnya, angka indek pembangunan manusia (IPM) Kalsel justru terus meningkat, namun kekerasan tidak semakin surut.

“Ini artinya, ada faktor lainnya, bisa jadi ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum, sehingga mengambil jalan pintas dengan cara kekerasan untuk menyelesaikan masalah,” paparnya.

BACA JUGA : Kasus Kekerasan Anak dan Perempuan Tinggi di Banjarmasin

Asumsi ini, masih menurut Siswo, terkorelasi dengan data penyelesaian konflik di masyarakat. Sebab, sebagian besar dilakukan oleh tokoh masyarakat, bukan oleh aparat penegak hukum, artinya kurangnya kepercayaan pada aparat penegak hukum menyebabkan jalan pintas atau memilih tokoh masyarakat sebagai piihan menyelesaikan konflik di masyarakat.

Koleganya peneliti dari Pusad Paramadina Jakarta, Husni Mubarok juga mengungkapkan pentingnya bina damai, lebih dari sekadar toleransi.

Ia menegaskan bina damai didasari oleh penerimaan atas perbedaan, dan mau hidup dalam perbedaan, serta mengelola secara bersama perbedaan tersebut. Husni merekomendasikan agar FKUB melakukan sosialisasi pada tingkat RT atau RW, agar masyarakat lebih memahami bagaimana mengelola perbedaan.

BACA LAGI : Bangkit Melawan Kekerasan, Pemberangusan dan Turbulensi Industri Media

“Pusad Paramadina sendiri masih terus mendalami data kuantitaif, dengan melakukan wawancara kepada sejumlah pihak, sehingga sejumlah data yang dipaparkan siswo dapat dikofirmasi secara langsung,” beber Husni.

Acara dialog kerukunan ini pun diikuti 50 peserta dari berbagai unsure agama, mahasiswa dan aktivis ditutup dengan dialog yang dipandu Noorhalis Majid. Dialog pun makin menarik membahas seputar sebab kekerasan dan bagaimana solusinya, menjadi topik yang hangat dalam diskusi.(jejakrekam)

Penulis Siti Nurdianti
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.