SUKSESI pemilihan kepala daerah (pilkada) sepatutnya tak dipandang hanya peristiwa politik semata, tapi bukti dari hadirnya potensi-potensi sumber daya manusia (SDM) yang layak menjadi pemimpin daerah.
ANALIS sosiologi dan antropologi asal FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Nasrullah mengakui ada dua even politik yang menarik khalayak ramai, yakni pemilihan Walikota-Walikota Banjarmasin dan Gubernur-Wakil Gubernur Kalsel pada 2020 mendatang.
“Banjarmasin selalu menjadi pusat perhatian, karena pilkada menunujukkan kualitas figur menjadi reputasi sendiri. Sedangkan, di level provinsi, tentu jadi amatan publik Banua, karena cakupannya luas dengan kewenangan seorang gubernur yang besar,” tutur Nasrullah kepada jejakrekam.com, di Banjarmasin, Minggu (16/6/2019).
BACA : Tanah Bumbu dan Kotabaru Target KPU Tingkatkan Partisipasi Pemilih di Pilkada
Nasrullah berharap pilkada di Kota Banjarmasin dan Kalsel selayaknya tidak boleh tenggelam dengan dominasi sang petahana, atau eksistensi figur kandidat yang dalam genggaman parpol meskipun juga ada peluang calon independen.
“Jadi, melihat pilkada langsung sebagai peristiwa politik semata, mematikan satu fungsi paling penting dalam penguatan kapasitas SDM lokal. Pilkada jangan sampai mereduksi SDM potensial hanya karena dominasi petahana atau parpol pengusung,” tutur sosiolog jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Lantas apa yang harus kita lakukan? Nasrullah mengungkapkan publik termasuk kalangan akademisi, ormas dan sebagainya menjelang tahapan pilkada, harus giat memunculkan tokoh-tokoh yang dianggap layak memimpin daerah. “Terlepas apakah di antara mereka akan menjadi kontestan nantinya menjadi persoalan lain.
BACA JUGA : Eks Ketua KPU Kalsel Jamin Penggunaan Dana Hibah Pilkada 2015 Tak Bermasalah
Sebab menampilkan sebanyak-banyak figur yang layak memimpin daerah berarti menambah referensi pengetahuan masyarakat bahwa Kalsel atau kota Banjarmasin tidak kekurangan tokoh,” tutur Nasrullah.
Hal ini juga, masih menruut dia, berarti kita tidak bicara sekarang, tapi juga mempersiapkan regenerasi kepemimpinan yang sudah diketahui publik jauh-jauh hari.
“Makanya, ada dua dasar pemikiran saya. Pertama, petahana sehebat atau sekuat apapun, mereka hanya bertahan dua periode sebagaimana aturan yang berlaku. Artinya, pilkada akan datang akan diisi wajah baru walaupun tidak benar-benar baru,” tuturnya.
BACA LAGI : Opsi Independen, Sultan Banjar Siap Tantang Sahbirin di Pilgub Kalsel
Yang kedua, masih menurut Nasrullah, sulit mencari figur yang tiba-tiba masuk gelanggang dan langsung menjadi pemenang kecuali ia dibackup oleh kekuatan luar biasa. Oleh karena itu, figur yang muncul saat ini dapat berarti peluang untuk sekarang dan juga akan datang. “Ini artinya dalam imaginasi publik sudah muncul bayangan pemimpin ke depan setelah satu atau dua periode berlalu. Dengan demikian, kita tidak mengalami defisit kader pemimpin,” paparnya.
Akademisi yang juga peneliti ini mengatakan jika figur yang ikut bertarung dan kemudian kalah, maka dalam peristiwa politik kekalahan bukanlah kematian subyek.
“Contohnya, Pilgub Kalsel lalu, ketika H Muhidin kalah, tidak kehilangan potensi aktualisasi diri selama masih membina pendukung. Contoh lain, seperti di Barito Kuala (Batola), Fahrin Nizar salah satu kandidat calon wakil Bupati, meski tidak terpilih tapi ia mampu merawat kepercayaan pendukung sehingga mengantarnya sebagai memperoleh suara untuk DPRD Provinsi Kalsel,” paparnya.
BACA LAGI : Staf Khusus Gubernur Sebut Paman Birin Terbuka dengan Kontestasi Politik
Dengan demikian, Nasrullah berpendapat sebelum pilkada berlangsung, atau sebelum calon resmi diusung parpol atau secara independen, maka jadikan momentum ini mengaktualisikan para tokoh yang layak memimpin Kalsel atau kota Banjarmasin.
“Tentu saja, mereka yang memiliki reputasi entah itu peduli lingkungan, prestasi bidang agama, budaya, ekonomi, kemasyarakatan, politik dan kemasyarakatan,” pungkasnya.(jejakrekam)