Butuh Modal, Tak Semua Pengemis Itu dari Keluarga Tak Mampu

0

AWALNYA kita menganggap pengemis berasal dari ketidakmampuan ekonomi sehingga orang memilih meminta-minta. Namun dalam beberapa kasus, ternyata aparat Satpol PP justru  menemukan uang puluhan juga sebagai simpanan pengemis. Kemudian pada momen-momen tertentu, seperti Ramadhan ini, jumlah pengemis bertambah banyak.

PENGEMIS di bulan Ramadhan secara sederhana dapat dilakukan secara door to door. Mereka dalam jumlah 2-4 orang mengimis dari rumah ke rumah. Cara lain, berada pada tempat strategis di tepi jalan dan menanti pemberian orang.

“Pengemis itu sendiri, umumnya terdiri dari orangtua atau setengah baya. Kalaupun masih muda, maka mereka membawa anak kecil yang digendong dengan maksud agar orang iba dan kemudian memberikan uang,” ucap sosiolog asal FKIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Nasrullah kepada jejakrekam.com di Banjarmasin, Rabu (29/5/2019).

BACA : Pengemis Musiman Serbu Banjarmasin, Kawasan Jalan A Yani Jadi Pilihan

Lalu kenapa orang mengemis di bulan Ramadhan? Menurut Nasrullah, jawaban sederhana karena Ramadhan adalah bulan orang berbuat kebaikan dengan cara memberi. “Umat Islam sangat mudah bersedekah, bahkan hanya di bulan Ramadhan ini zakat fitrah dikeluarkan,” ucap alumni IAIN Antasari Banjarmasin ini.

Menurut Nasrullah, dalam ajaran Islam, memberikan uang dianalogikan tangan di atas lebih bail dari tangan di bawah. Maka, kata dia, semakin banyak kaum muslimin memberikan uang untuk bersedekah sebagai manifestasi posisi tangan di atas agar mendapatkan status  lebih baik.

Nah, sebut Nasrullah, pengemis melihat celah ini, mereka tidak memilih tangan di atas sebagai lebih baik. Pilihannya adalah tangan di bawah demi mendapatkan uang. Fenomena sosial yang menarik sekarang adalah pengemis bergerobak atau manusia gerobak, diakui sosiolog jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini adalah modus terbaru dalam mengelas belas kasihan para penderma.

“Kita dapat melihat parade armada gerobak pengemis di sepanjang kawasan Kayutangi, Jalan Brigjen H Hasan Basry atau sekitar kampus ULM,” beber Nasrullah.

BACA JUGA : Manusia Gerobak Marak, Kepala Satpol PP Banjarmasin Pastikan Segera Ditertibkan

Uniknya, menurut dia, kawasan ini jika pagi hingga siang hari terpilih sebagai tempat para money changer dari nominal besar ratusan atau puluhan ribu menjadi uang seribuan. Kemudian sejak sore hingg malam hari, kawasan ini digantikan oleh kehadiran pengemis musiman.

Nasrullah berpendapat jika dicermati para pengemis itu, sesungguhnya memerlukan modal yakni untuk membuat gerobak. Bahkan kadang-kadang gerobak itu terlihat baru, sehingga harga sebuah gerobak termasuk sepasang ban dan onderdil pelengkap tentu mencapai ratusan ribu rupiah.

“ Oleh karena adanya modal itu, maka ada rasionalitas para pengemis bahwa modalnya akan kembali atau ada keuntungan yang didapatkan dari mengemis. Seandainya tanpa modal, maka sangat terbuka kemungkinan ada pemodal di belakang para pengemis itu,” ungkap Nasrullah.

BACA JUGA : Manusia Gerobak Menggeliat, Fenomena Sosial Masyarakat Kota yang Sedang Sakit

Pria yang juga menggeluti jurnalistik ini mengatakan karena karena menggunakan gerobak, maka satu gerobak terdiri lebih dari dua orang pengemis atau lebih atau umumnya satu keluarga.

“Mengapa mereka memilih berkelompok kecil dalam satu gerobak untuk mengemis. Ada logika tertentu yang perlu kita cermati. Mengemis dengan bergerobak dan dalam jumlah beberapa orang, adalah siasat pengemis mendapatkan pemberian dalam jumlah banyak atau paket pemberian dari dermawan,” beber Nasrullah.

Ujungnya, menurut dia, hasil mengemis sesungguhnya bukan untuk menutupi kebutuhan hidup tetapi uang yang mereka dapatkan adalah kepentingan konsumtif. “Suatu hari saya melihat seorang pengemis lali-laki menarik gerobak yang ditumpangi, mungkin anak istrinya. Sambil menarik gerobak dengan berjalan kaki, tangan kanan pengemis menggenggam handphone dan ia seolah sedang menelpon,” kata Nasrullah, terkekeh.

BACA LAGI : Galang Donasi, Komunitas Ngajak Ngaji Banjarmasin Sasar Kaum Marginal Kota

Atas fenomena sosial ini, terutama saat bulan Ramadhan, Nasrullah memberi solusikan yakni perlu ada kajian terhadap kelompok pengemis untuk mengetahui kawasan pengemis itu berasal.

“Dengan demikian, bantuan baik dalam bentuk uang dari lembaga bazis atau organisasi filantropi dapat diarahkan ke tempat itu sehingga mereka tidak lagi mengemis. Jika kelompok pengemis ini menjadi tradisi, maka perlu ada perbaikan sikap mental dari mereka,” ucap dosen muda pendidikan sosiologi antropologi FKIP ULM ini.

BACA LAGI : Fenomena Supardi, Manusia Gerobak yang Termarginalkan

Kemudian, menurut Nasrullah, perlu kajian agar  dermawan tepat sasaran memberikan uang sedekah kepada orang-orang yang benar-benar membutuhkan bantuan sebagaimana kategori orang yang diberikan uang dalam ajaran Islam.

“Solusi praktis tidak memberikan uang kepada peminta-minta itu yang menjadikan pengemis sebagai profesi. Jadi, lebih baik memberikan uang tersebut kepada tetangga atau kerabat yang kita tahu dengan pasti mereka membutuhkan atau memang kekurangan,” imbuhnya.(jejakrekam)

Penulis Arpawi
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.