UU ITE Dipakai Memukul Lawan, Isu Agama Makin Menguat

0

PEMILU 2019 memang telah usai. Namun, kisruhnya hingga kini masih terasa. Baik masalah banyaknya korban jiwa yang berjatuhan, hingga hukum yang kini dijadikan alat kekuasaan untuk memukul lawan. Ini belum lagi, soal brutalnya politik uang (money politics).

ISU ini diangkat dalam talk show bertajuk money politik dan pelanggaran HAM Pemilu 2019 digagas Klinik Hukum DF & Rekan di Café Capung, Banjarmasin, Sabtu (25/5/2019). Diskusi yang dipandu pemilik Klinik Hukum DF, Daddy Fahmananide yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, berlangsung dinamis.

Pakar komunikasi FISIP ULM Dr Fakhriannor menilai sepatutnya pemilu bersifat praktis, lantas mengapa ada korban jiwa yang jelas mempersulit masyarakat.

“Saat ini, hukum juga dijadikan alat untuk memukul lawan yang tidak satu pikiran. Ini miris, karena hukum bukan lagi sebagai rujukan, seperti UU ITE yang digunakan demi kepentingan kekuasaan. Ini bisa membuat negeri ini menuju tirani,” tutur Fakhriannor.

BACA : UU ITE Bisa Jadi Regulasi Karet, ULM Gelar Lokakarya Bersama Penyidik Kepolisian

Doktor jebolan Universitas Padjadjaran Bandung ini mengingatkan agar pemilu harus fair, jika tidak maka tidak mendapat legitimasi rakyat. “Jujur, saat ini, rezim menuju tirani, karena masyarakat pun bingung mana yang benar dan mana yang hoaks,” cetusnya.

Lain lagi dengan Wakil Ketua Komnas HAM Hairansyah yang menegaskan hak pilih dan dipilih merupakan hak konstitusional yang cerminan dari hak asasi manusia.

“Namun, sayangnya kekuasaan bisa menguasai HAM. Saat ini, kemurnian suara apakah sesuai dengan hak pilih dan hak dipilih, hingga perhitungan tidak ada perubahan. Ini patut dijaga,” cetus mantan komisioner KPU Kalsel ini.

BACA  JUGA : Media Massa Harus Jadi Perekat Kelompok Masyarakat dan Elite Politik

Menurut Ancah, sapaan akrab komisioner, justru yang mengemuka adalah dalam pelayanan publik, penyelenggara pemilu condong pada pemilihan presiden-wakil presiden  untuk melindungi penguasa.

“Hal ini dapat mencemari HAM pemilu. Bagaimana orang bisa dipengaruhi dalam menjaga kerahasiaan pilihannya, justru juga tak bisa terjaga. Seperti mengupload pilihannya di media sosial usai dari tempat pemungutan suara (TPS),” papar Ancah.

Dengan begitu, Ancah berpendapat saat ini kesakralan pemilu seperti terus tergerus, hingga publik seperti permisif terhadpa suara yang dibayar atau money politics. “Ini ditambah lagi menguatnya isu agama sebagai komoditas politik. Jika isu agama menjadi senajta kampanye, tentu kelompok minoritas akan terdiskriminasi oleh kelompok mayoritas. Ini membuat pemili mencoreng HAM,” tegas Ancah.

BACA LAGI : Melawan Hoaks, Prodi Ilmu Komunikasi ULM Lancarkan Program Literasi Digital

Belum lagi masalah hak pemilih disabilitas, Ancah juga melihat belum begitu terakomodir. Namun, menurut dia, apakah terjadi pelanggaran HAK atau tidak, harus dilihat kategorinya. “Tentu, dalam Pemilu 2019 ini perlu dilakukan penyelidikan atau investigasi terlebih dulu. Termasuk, masalah yang sekarang dibangun adalah narasi perusuh dalam menyikapi aksi demonstrasi hasil Pilpres 2019,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.