Caleg Lakoni Politik Uang Bukti Parpol Gagal Kaderisasi

0

AKSI politik uang sangat erat hubungannya dengan kaderisasi di partai politik (parpol) yang tidak sesuai harapan. Hasilnya, para caleg yang dipasang pun sembarangan, tidak diseleksi dan hanya mengandalkan kemampuan finansial untuk membeli suara para pemilihnya.

HAL ini diungkapkan pakar komunikasi politik dari FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Dr Fakhriannoor dalam diskusi yang digelar Pusat Kajian Anti Korupsi dan Good Governance (Parang) Unlam di Café Capung, Banjarmasin, Kamis (11/4/2019).

Ia mencontohkan saat penyusunan caleg, parpol sepertinya lebih mengutamakan calon-calon berkantong tebal untuk membiayai ongkos politik, sehingga ke depan keberadaan UU Parpol harus segera direvisi.

BACA : Dapati Laporan Bagi-bagi Uang Rp 1 Miliar, Bawaslu Sambangi Hotel Pesona

“Misalkan, untuk menjadi caleg itu minimal harus menjadi kader selama lima tahun, bukan dicomot orang sembarangan. Jadi, seleksi awal sudah berlangsung di parpol, sebelum dilempar ke publik untuk dipilih dalam pemilu,” papar doktor komunikasi jebolan Universitas Padjajaran Bandung ini.

Menurut dia, parpol itu harusnya menjalankan manajemen trust atau kepercayaan publik, karena jika proses itu terbangun tak memungkinkan bagi caleg itu bermain politik uang. “Inilah pentingnya, jika para calon itu harus menunjukkan integritasnya. Bukan hanya mengandalkan kemampuan uangnya,” ucap Fakhriannor.

Ia mengatakan para calon sudah sepatutnya memiliki kontrak politik dengan konstituennya dalam memperjuangkan aspirasi publik, bukan malah membeli suara dengan uang, sembako atau pembangunan infrastrukturnya.

“Hasilnya, ketika dia terpilih tak bisa diharapkan publik untuk memperjuangkan apa yang diinginkan masyarakat di parlemen. Jadi, dari hulu masalah politik uang itu justru berasal dari parpol sendiri, karena membiarkan pertarungan seperti pasar bebas,” kata Fakhriannor.

BACA JUGA : Jelang Hari Pemungutan Suara, Kalsel Sudah Darurat Politik Uang

Tak hanya itu, mantan aktivis 1998 ini pun mengingatkan agar penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu khususnya di Kalimantan Selatan bisa menanamkan kepercayaan publik dalam mengawal pelaksanaan pesta demokrasi ini.

“Di sinilah mengapa penting sekali kemampuan dan ketegasan Bawaslu Kalsel beserta jajarannya, jika menemukan ada caleg yang terbukti melakukan politik uang untuk ditindak, bahkan harus didiskualifikasi sebagai calon meski terpilih,” cetus Fakhriannor.

Senada itu, pakar hukum pidana Fakultas Hukum ULM Daddy Fahmanadie mengatakan dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, dari lebih 500 pasal itu, terdapat 77 pasal pidana, sehingga jika terjadi aksi politik uang maka unsur pembuktiannya harus memenuhi asas formil dan materiil.

“Jelas, politik uang itu menciderasi demokrasi dan merupakan tindak pidana pemilu karena curang. Makanya, aspek pemidanaan harus diutamakan bagi caleg atau tim sukses terbukti melakukan politik uang,” kata Daddy.

BACA LAGI : Politik Uang Haram, Para Pelakunya Dilaknat Allah dan Rasul-Nya

Magister hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini mengakui perlawanan publik, terutama dari kalangan pemilih rasional adalah menggunakan haknya untuk golput.

Daddy mengatakan hal itu jelas akan mengkhawatirkan, jika ternyata angka golput justru lebih tinggi. Sementara, partisipasi pemilih ternyata bukan berangkat dari kesadaran pemilik hak konstitusional, justru karena suaranya telah terbeli.

“Meski dalam UU Pemilu sendiri tampaknya ada peluang hukum bagi para pelanggar. Namun, di sinilah, kejelian lembaga semacam Bawaslu dalam menegakkan aturan yang terdapat dalam UU Pemilu,” pungkasnya.(jejakrekam)

 

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.