Pemilu 1955, Ketika NU dan Masyumi Berbagi Kursi di Dapil Kalsel

0

PEMILU 1955 merupakan pesta demokrasi perdana Indonesia yang baru berusia 10 tahun. Digelar pada 29 September 1955 untuk pemilihan anggota DPR. Terdata ada 39 juta yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Tingkat partisipasi pemilih mencapai 87,65 atau 37.875.299 suara sah dari 43.104.464 orang terdata dalam daftar pemilih.

HAJATAN ini yang digelar Panitia Pemilihan Indonesia (sekarang KPU) hingga ke daerah, melahirkan empat besar parpol pemenang Pemilu 1955, yakni Partai Nasional Indonesia (PN) dengan 8,4 juta, Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi) meraih 7,9 juta, Nahdlatul Ulama (NU) menyabet 6,9 juta suara, dan Partai Komunis Indonesia (PKI) mendapat 6,1 juta lebih suara. Empat parpol ini meninggalkan parpol kontestan lainnya Pemilu 1955. Saat itu, ada 36 parpol, 34 organisasi kemasyarakatan dan 48 perorangan yang memperebutkan kursi wakil rakyat.

BACA : Berorasi di Lapangan Merdeka, Soekarno Lawatan ke Barabai dan Amuntai

PNI yang dinakhodai Soekarno dan Masyumi berbagi jatah kursi sama. Masyumi yang merupakan parpol berasaskan Islam ini memenangi 20,9 persen suara di 10 dari 15 daerah pemilihan (dapil), termasuk Kalimantan Selatan.

Penulis buku berjudul Multipartai dalam Perspektif Politik Lokal; Tinjauan Dinamika Politik di Kalimantan Selatan, Khairiadi Asa mengungkapkan dua parpol lainnya yang meraih sokongan suara adalah Partai Syariat Islam Indonesia (PSII) dengan 1,09 juta suara dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dengan 1,03 juta suara. Sisanya parpol lain di bawah satu juta suara

“Di Kalsel sendiri, saat Pemilu 1955 tak lepas dari dominasi suku Banjar yang sangat kental dengan nilai-nilai Islam. Jadi, Islam menjadi dasar budaya Banjar seperti yang diutarakan cendikiawan muslim Banjar, Humaidy Abdussami,” kata Khairiadi Asa dalam tulisannya yang dikutip jejakrekam.com, Rabu (3/4/2019).

BACA JUGA : Muhammad Chalid, Sosok Hebat di Balik Sang Guru Politik NU, KH Idham Chalid

Tak mengherankan, menurut Khairidi Asa, jika Pemilu 1955 di Kalsel, partai Islam yakni Masyumi dan NU meraup suara terbanyak. Yakni, 380.874 suara disabet NU dan Masyumi dengan 252.296 suara. Di urutan ketiga, keempat dan kelima adalah PNI (46.440 suara), IPKI (19.383 suara) dan PKI (17.210 suara).

“Jika mengutip Herbert Feith dalam Pemilu 1955 di Indonesia, maka gabungan suara parpol Islam cukup tinggi di Kalsel yakni NU-Masyumi, lalu Sumatera Tengah (Masyumi-Perti), dan Sulsel dan Sumsel (Masyumi-NU-PSII) pada tingkat rendah,” papar Khairiadi Asa

Mantan komisioner KPU Kabupaten Barito Kuala ini mengungkapkan dari analisisHerbert Feith, secara nasional partai-partai Islam di wilayah Kalsel menunjukkan yang paling tinggi persentase perolehan suaranya, mencapai 81,35 persen. Sedangkan, partai-partai non-agama hanya mencapai 11,2 persen, dan partai-Partai Kristen meraih 1,41 persen.

Tak mengherankan, Khairiadi Asa mengungkapkan kuatnya pengaruh Islam dalam membentuk sikap politik masyarakat Kalsel saat jelang Pemilu 1955, bisa terlihat saat Soekarno berkunjung ke Amuntai pada 27 Januari 1953.

BACA LAGI : Fenomena Pemilu di Banjarmasin Era Orde Baru

“Ketika itu, masyarakat Amuntai umumya Kalsel menghadiri rapat raksasa Soekarno di Lapangan Pahlawan Amuntai, membawa poster meminta kejelasan apakah negara nasional atau negara Islam yang diberlakukan di Indonesia kepada Soekarno,” tutur wartawan senior ini.

Ia mengatakan walau hanya berupa poster, sangat jelas membuktikan masyarakat Kalsel sangat tinggi pilihannya terhadap partai bernuasa Islam. Hingga akhirnya, pengaruhnya juga terbawa pada sikap politik.

Senada itu, mantan Ketua PWNU Kalsel HM Syarbani Haira mengakui Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama dan paling demokratis sepanjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Apalagi, kualitas Pemilu 1955 diakui dunia, terkhusus negara tetangga, Australia.

BACA LAGI : Prahara Partai Ka’bah di Bawah Atap Rumah Besar

Ketika itu, beber Syarbani, Kalsel membawa wilayah Kalteng yang dulu bernama Dayak Besar, Kotawaringin dan Kapuas-Barito, sebelum berpisah pada 1957. Berdasar buku Parliamentari Kalsel, dosen Universitas NU Kalsel ini mengatakan NU dengan tokohnya asal Banua, KH Idham Chalid membawa kejayaan NU di Kalsel.

“Dari 29 kursi DPRD Provinsi Kalsel yang diperebutkan dalam Pemilu 1955, NU meraup 65 persen atau menguasai 15 kursi. Waktu itu, area pemilihan raya itu tak hanya di Kalimantan Selatan seperti sekarang, tapi juga melebar hingga ke Pangkalan Bun dan Muara Teweh,” paparnya.

Syarbani mengatakan saat itu, NU menjadi fraksi mayoritas di DPRD Kalsel. Sisanya, masing-masing 10 kursi milik Masyumi, dua kursi PNI dan satu kursi PKI dan satu kursi direbut calon independen. Makanya, dalam peta politik nasional, selain Jawa Timur, NU kuat di Kalsel.

Ia pun setuju corak keislaman sangat mewarnai hak politik warga Kalsel ketika itu. Makanya, parpol Islam seperti NU dan Masyumi menjadi pilihan utama pemilih Kalsel dalam Pemilu 1955. Bahkan, terkotakkan antara pemilih Islam tradisional ke NU, dan Islam bercorak modern ke Masyumi.

BACA LAGI : Parpol Dikuasai Pemilik Modal, Kans PNS Nyaris Tertutup di Dunia Politik

Dari Tanah Banjar melahirkan banyak tokoh seperti Hanafiah, Menteri Urusan Agraria pertama Indonesia pada Kabinet Ali Sastroamidjojo I, DR KH Idham Chalid yang pernah jadi Wakil Perdana Menteri pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda. Bahkan, menjabat Ketua MPR dan DPR RI, serta Ketua PBNU 1956-1984.

Untuk tataran lokal, tokoh NU yang berpengaruh di kancah politik adalah Abdul Gani Majedi, HM Yamani, KH Wahab, bahkan kursi orang nomor satu di Kalsel dipegang kader-kader Nahdliyin.  “Seperti Gubernur Kalsel Aberani Sulaiman pada 1963-1968 merupakan kader-kader NU,” kata mantan wartawan ini.(jejakrekam)

 

Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.