Pesan Damai Agama-agama di Pemilu 2019

0

PEMILU adalah pesta demokrasi. Mekanisme suksesi kepemimpinan. Pada masa ini, suara digalang, kursi diperebutkan. Kampanye, mobilisasi pendukung, menimbulkan ketegangan antar kubu pendukung. Isu agama, tidak jarang dipolitisasi. Kelembagaan, tokoh, hingga firman Tuhan, diseret dalam arus politik elektoral. Padahal agama sejatinya netral, pembawa pesan damai. Bagaimana agar umat beragama tetap dalam suasana damai? Apa pesan damai agama-agama jelang Pemilu 17 April 2019 ini?

FORUM Kerukunan Umat beragama (FKUB), sudah menyampaikan pesan damai melalui sejumlah spanduk di sudut-sudut jalan, bunyinya “walau pilihan berbeda, kita tetap badingsanak”. “Tujuannya agar kita semua menjaga suasana damai dalam Pemilu ini. Sepengamatan kami, Kalsel masih aman, dan suasana masih kondusif,” ujar DR H Mirhan menjelaskan tentang kondisi menjelang pemungutan suara dan peran yang sudah dilakukan FKUB Kalimantan Selatan.

Sementara itu, Pastor Cosmas Bolitukan, selaku wakil Uskup Banjarmasin, menyatakan bahwa menyukseskan Pemilu ini adalah tugas kebangsaan. Umat beragama harus berusaha agar Pemilu berjalan damai. Bukan sekedar damai, tapi juga menjadi pemilih yang cerdas, bisa memilih calonnya dengan benar, tidak mudah terprovokasi berita bohong, apalagi sampai menjadi bagian dari penyebar berita bohong. Para tokoh agama akan selalu mengingatkan umatnya, sehingga kepentingan bangsa harus di atas segalanya.

Banthe Shadhaviro Mahatera, pimpinan Umat Budha Banjarmasin, berpendapat bahwa suasana damai atau sebaliknya, sangat ditentukan para tokoh agama. Kalau para tokoh agama terus menjaga suasana tetap aman dan damai, maka tentu akan terjadi. Para tokoh agama, dilihat dan dicontoh umatnya, dan masyarakat sangat hormat atau patuh dengan himbauan tokoh agama. Ketika tokoh agama seperti FKUB menyampaikan himbauan kedamaian dalam pemilu, masyarakat akan mematuhinya. Sekarang ini suasana masih kondusif. Memang terlihat ramai, namun pemilu memang seperti itu, sejauh tokoh agama rukun satu sama lainnya, kedamain akan tetap terjaga.

Dimanakah potensi titik rawan yang menyebabkan suasana menjadi tidak damai? Tanya Noorhalis Majid selaku pemandu dialog Palidangan. Para tokoh ini menjawab, titik rawannya ada pada peran tokoh agama. Bila tokoh agama memprovokasi, menyampaikan hal-hal yang dapat memancing terjadinya konflik, maka umat beragama akan sangat mudah terbakar. Karena itu, peran tokoh agama sangat penting. Bila pesan damai yang selalu disuarakan, umat akan menurutinya. Lebih jauh dari itu, tokoh agama harus menjadi bagian dari upaya mencerdaskan pemilih. Peran tokoh agama yang sangat strategis, harus dimanfaatkan pada tujuan yang lebih besar, yaitu merawat kebangsaan. Tidak terseret pada kepentingan politik, sehingga umat ikut terbawa.

BACA : Catatan Dialog Palindangan Noorhalis : Demokrasi Tanpa Partisipasi, Hampa

Para pendengar dialog Palidangan menyampaikan sejumlah tanggapan dan pertanyaan, Arya dari Kapuas, menyampaikan bahwa ketegangan justru datang dari kontestan dan tim kampanye, karena ingin menang lalu menghalalkan segala cara, karena itu diharapkan mereka jangan sampai seperti menyulut daun kering, harus menjaga suasana tetap damai.

Penelpon lainnya, Kai Syifa di Banjarmasin, menghimbau agar para calon jangan menyalahi aturan yang sudah ditetapkan, cukup jaga aturan main, maka pemilu berlangsung damai. Supianor di Kandangan, mengatakan bahwa siapapun calonnya dan apapun agamanya, sejauh dia amanah, menepati janji, masyarakat akan memilihnya, karena itu tidak ada pemilu ini tidak ada soal dengan perbedaan agama.

Sadam di Banjarmasin, mengungkapkan apresiasinya kepada RRI yang sudah mengundang para tokoh agama. Artinya RRI sudah Pancasila, mengamalkan seluruh sila dengan melibatkan semua pihak, ini potret demokrasi. Bono di Barabai, menyampaikan kerisauannya atas politik uang yang sulit dihapuskan. Meminta tokoh agama ambil bagian mengkampanyekan tolak politik uang. Ipul di Tanah Bumbu, juga meminta tokoh agama agar terus menyuarakan tolak politik uang. Semua agama pasti melarang politik uang. Hariyadi di Tanjung, memberikan apresiasi atas segala upaya tokoh agama, ambil bagian menyadarkan masyarakat berpartisipasi dalam pemilu.

Menanggapai pendapat para penelpon, Bathe Shadhaviro mengungkapkan bahwa Pemilu itu sendiri ada dua tujuan, jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Jangka pendek adalah memilih para pemimpin, dan kita semua berharap terpilih para pemimpin yang baik dan amanah. Jangka panjang, menjaga keutuhan bangsa ini agar terus berlangsung. Jangan sampai tujuan jangka pendek, mengkorbankan yang jangka panjang. Menjadi pemilih cerdas, kata Banthe, berarti tidak tergiur politik uang.

Karena tidak mungkin sesuatu yang bersifat jangka panjang dalam rangka memperbaiki bangsa ini, dibayar dengan hanya seratus ribu rupiah. Kita sendiri tahu bahwa pemilih itu ada tiga kelompok, yaitu yang emosional, rasional dan pemilih yang penuh kesadaran. Yang tertinggi adalah pemilih penuh kesadaran, ini pemilih dewasa dalam politik. Pemilih rasional masih mungkin toleran dengan politik uang, dia berpendapat, dari pada tidak dapat apa-apa, lebih baik ambil uangnya, pilihan itu sepertinya nampak rasional, namun tidak sadar bahwa memiliki konsekuensi terhadap masa depan bangsa, karena yang terpilih pastilah mementingkan dirinya sendiri untuk mengembalikan modal. Ajaran Budha memerintahkan agar mencari pencaharian yang benar, sehingga berdampak pada kehidupannya. Artinya menerima politik uang itu tidak boleh, karena itu bukan pencaharian yang benar.

BACA JUGA : Komitmen Tak Politisasi SARA, Peserta Pemilu 2019 di Kalsel Ikrar Kampanye Damai

DR H Mirhan menganjurkan agar para tokoh agama memanfaatkan mimbar-mimbar agama untuk mencerdaskan pemilih. Sehingga Pemilu menjadi berkualitas. Mimbar khotbah Jumat, mimbar minggu di gereja dan mimbar lainnya dalam berbagai kesempatan, harus dimanfaatkan, sehingga umat tercerahkan dan menjaga suasana tetap damai.

Tentang politik uang, Islam sendiri dengan tegas mengatakan, yang menyuap dan disuap sama-sama masuk neraka. Pernyataan ini sangat keras sekali menyangkut boleh tidaknya politik uang. Namun karena ingin menang, maka menghalalkan segala cara. Karenanya, mimbar-mimbar keagamaan, harus menjadi bagian yang terus menyuarakan perang terhadap politik uang.

Pastor Cosmas mengatakan bahwa Pemilu kali ini bertepatan dengan pekan suci bagi umat Katolik, karena itu umat harus terlibat aktif, datang ke TPS, menyalurkan hak pilihnya dan menjaga suasana tetap kondusif. Disadari bahwa media sosial memberi pengaruh yang besar sekali dalam Pemilu ini. Maka jadilah pengguna media sosial yang cerdas.

Artinya, ketika menerima informasi di media sosial, harus dicermati apakah berita tersebut benar atau tidak. Kemudian kalau ingin membaginya, pertimbangkan lagi apakah dampaknya baik atau buruk. Lebih jauh dari itu, pikirkan sekali lagi, apakah informasi yang akan dibagi berguna atau tidak. Kalau ketiga hal tersebut yaitu benar, baik dan berguna, menjadi filter kita dalam menyaring berita, maka kita tidak akan menjadi bagian dari penyebar berita bohong.

Pemilu ini akan kacau atau berpotensi konflik, bila kita mudah termakan berita bohong dan tanpa pikir panjang ikut menyebarkannya. Pastor Cosmas juga berpesan agar umat beragama jangan golput, jadilah pemilih yang aktif, cerdas, sehingga ikut mewujudkan suasana damai.(jejakrekam)

Penulis Andi Oktaviani
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.