Mengintip Kejayaan Karet Kalsel Era Kolonial Belanda

0

KEJAYAAN karet di Kalimantan Selatan, kini semakin memudar. Dulu di era kolonial Belanda hingga kemerdekaan Republik Indonesia, karet dari Tanah Banjar merupakan penyangga utama perekonomian daerah, hingga menembus pasar ekspor dunia serta mengontrol harga komoditas perkebunan ketika itu.

KARLIE Hanafi Kalianda, ingat betul dulu ada sebuah café yang bisa mengontrol harga karet dunia ketika, berasal dari sebuah tempat di kawasan Pasar Baru, Banjarmasin.  Pasokan karet yang didatangkan dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, layaknya bursa efek saham bisa diatur dari tempat kongkow bernama Sanghai Bar, tempo 1950 hingga 1970-an.

“Jadi, harga karet yang dipasarkan di Singapura itu diatur dari Sanghai Bar. Semua pengusaha karet baik juragan keturunan Tionghoa, maupun para saudagar karet Banjar mengatur harga karet dunia ketika itu,” cerita Karlie Hanafi Kalianda, yang kini anggota DPRD Kalsel asal Partai Golkar kepada jejakrekam.com, beberapa waktu lalu.

Suplai karet dunia pun kebanyakan dikirim pabrik pengolahan karet besar yang ada di Kalimantan Selatan, seperti Tap Lie (kini Insan Bonafide), Hok Tong, Ex Liong Hin, Ban Seng, Nang Fong dan Pasaman.

BACA : Kisah ‘Lima Naga’ di Tanah Banjar

Sebenarnya jauh sebelum itu, berdasar hasil riset Sunarningsih dari Balai Arkeologi Banjarmasin pada November 2014 silam, telah berdiri perusahaan besar karet di Kalimantan Selatan.  Salah satunya, pabrik karet milik Belanda bernama N.V. Nederlandasch Rubber Unie berdiri pada 1927 di Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar.

Selain itu, ada pula pabrik pengolahan karet milik investor asing dan Tionghoa dan pribumi Banjar berdasar dokumen besluit 16 Mei 1928, Nomor 24-29 dan 31, yakni Yuma Mitake dari Nomura Rubber Refinery Company Limited, milik Jepang yang tersebar di Kelua, Barabai (Kampung Haliau) dan Banjarmasin.

Kemudian, pabrik pengolahan karet Goey Keng Tiong di Kandangan, pabrik milik Sech Motlik bin Salich Alkitri di Martapura, pabrik pengolahan karet Tan Chwee Kah di Kelayan A, tepian Sungai Martapura. Ada pula, pabrik pengolahan karet milik Hadji Mohammad Satta di Kampung Antasan Senor Martapura, pabrik karet S.S Teng di Banjarmasin dan pabrik serupa milik Hadji Mohamad Saleh bin Hadji Abdurrahim di Kampung Haruyan, Barabai.

Menurut Sunarningsih, pabrik milik Belanda N.V Nederlandshce Rubber Unie ketika itu berkapasitas produksi 7.500 ton per tahun. Selain itu, N.V Nederlandshce juga memiliki pabrik obat, penyamakan kulit dan ubin lantai watanabe.

“Kekayaan alam Kalsel sangat berlimpah, dari hutannya ada kayu gelondongan, rotan dan bambu serta lainnya. Namun, salah satu komoditas yang diminati pada 1900 hingga 1940, salah satunya adalah lada dan karet,” tulis Sunarningsih.

BACA JUGA : Riwayat Pelabuhan Martapura Lama Era Belanda dan Jepang

Pendirian pabrik pengolahan karet di Kalsel, juga tak lepas dari penyerahan beberapa wilayah Kesultanan Banjar kepada VOC dan berlanjut ke Pemerintah Kolonial Belanda secara berkala sejak 1817, 1826 hingga 1840. Ini ditambah di era kolonial Belanda, permintaan karet sejalan dengan berkembang industri mobil di Eropa dan Amerika Serikat.

Sunarningsih juga mengutip tulisan dari Ricklefs (2008), yang menyebutkan perkebunan karet di Jawa dan Sumatera dibuka pada 1864, menyusul Kalimantan Selatan. Pendapat serupa juga ditulis J Thomas Linblad (2012),  yang menceritakan pasang surutnya perdagangan karet pada 1914-1942, namun pada 1900-an, komoditas karet berjaya, hingga akhirnya pengusaha dari Eropa membuka perkebunan karet di Kalsel, antara lain di wilayah Hayup, dekat Tanjung, Kabupaten Tabalong dan tanah Intan dan Danau Salak (Kabupaten Banjar). Dari sini, muncul pemilik kebun karet dari kalangan pribumi (orang Banjar), karena perkebunan karet lebih menguntungkan dibandingkan padi.

Masih dalam riset Sunarningsih, pada 1920-an, harga karet mulai jatuh, hingga para petani menghentikan penyadapan dan penamanan pohon karet, dan bertahan dengan kebun yang ada.

Menunggu harga karet membaik, metode pengasapan pun mulai dikenal dengan dibangunnya rumah asap karet pada Juni 1934 di seluruh Hulu Sungai. Tercatat, ada sekitar 80 rumah rumah asap karet. Hingga berlanjut pada 1936, dibangun lagi rumah asap di 300 lokasi.

BACA LAGI : Dirikan Banyak Pabrik, Banjarmasin Dibagi Jepang dalam 19 Kampung

Ketika itu, salah satu pemain besar karet di Kalimantan Selatan adalah Maclaine, Watson & Co, sebuah perusahaan milik pengusaha Inggris yang mengekspor berbagai komoditas dari Nusantara ke mancanegara. Perusahaan ini bergerak di bidang ekspor dan impor ditopang dengan armada kapal besar yang dimilikinya. Sebagai agenda regionalnya di Banjarmasin adalah Christian Diemer. Saat itu, karet menjadi pendorong ekonomi di kawasan Hulu Sungai, serta teknologi tepat guna yang menghasilkan produk berkualitas ekspor.

Mengutip tulisan Rickfels, dalam riset Sunarningsih menyebut pada 1930, kebutuhan karet dunia dipasok dari perkebunan tropis berasal dari Hindia Belanda (kini Indonesia). Tak mengherankan, jika pemerintah Belanda pun mengucurkan pinjaman uang untuk pembangunan rumah asap yang dibangun di Hulu Sungai, diawali di Kandangan pada 1934.

Dalam hipotesisnya, Sunarningsih menyebut bukti kejayaan para saudagar karet asal Hulu Sungai, bisa disaksikan dengan keberadaan rumah mewahnya ketika masa kolonial Belanda hingga memasuki kemerdekaan. Bukti lainnya adalah benda-benda arkeolog bekas pabrik besar N.V. Nederlandasch Rubber Unie, yang kini berada di lingkungan SMPN 1 Sungai Tabuk di Desa Sungai Tabuk Keramat, Jalan Gerilya.

BACA LAGI :  Jejak Kampung Amerong, Perkampungan Elit Eropa di Banjarmasin

Kejayaan karet di era kolonial Belanda ini tak terlepas dari jaringan sungai yang dapat dilayari kapal uap milik Belanda seperti Koninklijk Paketvaart Maatschappij (KPM) sejak 1891 sudah melayari Sungai Martapura hingga ke pedalaman Kalimantan Selatan. Ini ditopang dengan keberadaan Pelabuhan Martapura Lama, tempat bersandarnya kapal-kapal dagang mancanegara. (jejakrekam)

 

 

 

 

 

 

 

 

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2019/03/28/mengintip-kejayaan-karet-kalsel-era-kolonial-belanda/
Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.