POLITIK anggaran adalah proses saling memengaruhi antar pihak yang berkepentingan dalam menetapkan prioritas. Basis prioritas sendiri adalah bobot kepentingannya terhadap rakyat, sehingga secara garis besar akan menghasilkan dua daftar.
DUA daftar itu adalah daftar kebutuhan dan daftar keinginan, selalu dan sangat terbuka terjadinya perdebatan tentang apa itu kebutuhan dan apa itu keinginan, dengan segala persepsi, sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Secara skalatis minimal ada 4 level tingkat kepentingan yaitu sangat penting, penting, kurang penting dan tidak penting.
Sementara, kebutuhan adalah apabila masuk level sangat penting, perdebatan terkait penetapan skala prioritas dalam konteks demokrasi sangatlah normal bahkan sebuah keniscayaan
BACA :Â Politik Anggaran dan Konsekuensi atas Pilihan
Di Indonesia, baik level nasional maupun level daerah hingga desa, anggaran kita pada umumnya masih berkutat dalam pemenuhan daftar kebutuhan, sampai hari ini kita masih belum selesai membangun infrastruktur dasar, baik infrastruktur pendidikan, kesehatan, energi, pangan, transportasi dan lain-lain yang sifatnya bahkan masih kebutuhan dasar manusia. Ini berbeda di negara-negara maju yang sudah mapan infrastrukturnya sehingga hanya perlu pemeliharaan.
Sejarah panjang pengelolaan negara dan dinamika politiknya haruslah menjadi pembelajaran untuk menuju masa depan yang lebih baik. Terutama, dalam pengelolaan pemerintahan, setiap masa selalu ada sisi terang dan sisi gelapnya.
Salah satu sisi gelap masalalu adalah politik anggaran yang diskriminatif, ke mana beasiswa dialokasikan sangat dipengaruhi afiliasi politik orangtuanya, pembangunan jalan, irigasi, listrik, irigasi dan sebagainya, sangat dipengaruhi prosentase kemenangan politik partai penguasa.
Reformasi hadir salah satunya adalah melawan politik diskriminasi seperti ini, praktik politik seperti itu ternyata masih diakui terjadi bahkan dijadikan wanti-wanti masih akan terjadi di masa mendatang, pernyataan ini bukanlah pepesan kosong atau tuduhan tapi sebuah pengakuan dari komponen penguasa negeri ini. Fenomena ini menegaskan adagium bahwa kekuasaan itu cenderung korup, siapapun, kapanpun dan di manapun
Pernyataan itu sangatlah kita pahami, karena kita masuk dalam hari-hari kontestasi, sehingga narasi yang dibangun pun adalah narasi yang diyakini berkontribusi dalam memenangi kontestasi. Namun, dalam ilustrasi sebuah pertandingan seharusnya itu hanya perkataan pelatih yang dibisikkan kepada pemain, bukan diteriakkan di lapangan terbuka.
BACA JUGA :Â Pernyataan Mardani Dinilai BPP 02 Gambarkan Politik Balas Dendam
Memang teriakan itu ungkapan sebuah kejujuran bahkan sebuah keluguan namun itu pelanggaran sumpah seorang pemimpin yaitu berbuat seadil-adilnya. Adil tidak hanya terhadap alokasi anggaran, tetapi juga adil dalan menggunakan seluruh kewenangan. Jadi, bisa kita pahami dalam keyakinan Islam orang pertama yang masuk surga adalah pemimpin yang adil, karena adil itu perkara yang sangat berat.
Bahwa kita sampai hari ini belum mampu berbuat adil maka bukan berarti kita akan membenarkan ketidakadilan dan mengkampanyekan serta menakut-nakuti masyarakat terhadap praktik politik yang tidak adil. Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan kalah menang tapi tentang sebuah nilai.
Betul sekali pemimpin yang memenangi kontestasi haruslah memprioritaskan janji politiknya, visi, misinya, alokasi anggaran diprioritaskan dalam mewujudkan apa yang dijanjikan dan kepada siapa dan di mana berdasarkan kebutuhan dan kondisi objektifnya, bukan pada siapa dan di mana berdasar data elektoralnya.
BACA LAGI :Â Pembangunan Kalsel Lambat, Mardani Sebut Akibat Jokowi Kalah di Pilpres 2014
Bahwa faktanya masih terus terjadi tetapi tetaplah itu permainan kayu dalam politik yang tidak boleh dibenarkan apalagi dicarikan dalil pembenarnya.
Lobi politik dalam anggaran itu penting, lobi anggaran adalah upaya memberikan penjelasan yang meyakinkan yang didasarkan pada fakta fakta yang objektif sehingga kita mendapatkan hak anggaran yang seharusnya, bukan mengada-ada, apalagi disertai perburuan rente.
Misalnya, bagaimana kita bisa meyakinkan pusat untk mendapat alokasi DAK bidang pendidikan, karena kondisi objektif infrastruktur pendidikan kita masih memprihatinkan. Di sisi lain kapasitas fiskal kita lemah, tidaklah seharusnya kita buat data mengada-ada sehingga dengan itu bisa mengelabuhi pusat sehingga kita mendapatkan alokasi DAK yang besar.
Boleh jadi kita telah mengambil hak daerah lain yang lebih miskin, ini memang pekerjaan politisi bahkan dianggap “prestasi”, namun itu bukan pekerjaan negarawan. Wallahu’ alam.(jejakrekam)
Penulis adalah Sekretaris Fraksi PKS DPRD Provinsi Kalsel