Sepenggal Kepelikan di Tengah Godaan ‘Taman Bumi’ Pegunungan Meratus

0

BULAN Desember tahun 2018 lalu, saya membaca sebuah cerpen atau cerita pendek yang berjudul “Parangmaya” yang ditulis dengan cakap oleh Jamal T. Suryanata, seorang sastrawan asal Pelaihari. Cerpen ini bercerita tentang seseorang ambruk karena terserang penyakit yang tidak dapat disembuhkan melalui medis, kecuali lewat metode alternatif.

LANGKAH ini kemudian ditempuh oleh pihak keluarga karena menjumpaitanda-tanda, bahwapenyakit tersebut adalah “serangan” melalui klenik, atau di tanah banjar dikenal dengan “parangmaya”.

Disebutkan juga penyakit itu tidak akan sembuh kecuali dengan membalas atau mengembalikan tenung yang dikirimkan kepadanya. Sedangkan orang yang memiliki kemampuan tersebut sangatlah sedikit, yang disebabkan beragam hal. Pendeknya, diserahkanlah urusan menangkal tenung tersebut kepada orang yang dipercaya bisa menyembuhkan, dengan mengirimkan kembali tenung kepada yang mengirimkannya.

BACA :  Pemprov Kalsel Target Geopark Pegunungan Meratus Diakui Unesco

Di akhir cerita, kehadiran penderita sakit tadi di hadapan sang ibu lengkap dengan baju koko dan kopiah. Hal tersebut jelas mengejutkan sang ibunda karena selama ini ia dikenal bukan penganut Islam yang taat, dan sang dukun malah ditemukan meninggal dunia tanpa diketahui sebabnya namun dipercaya ia meninggal saat melakukan ritual.

Pada cerita pendek ini, kita bisa melihat bahwa nasib agama lokal dengan berbagai bentuk ritual di dalamnya terus tergerus dengan berbagai hal yang menyebabkannya. Hal yang menarik adalah Jamal menggunakan simbol baju koko dan kopiah di akhir cerita dan kematian akan pelaku “parangmaya” tersebut.

Terkesan Jamal ingin mengidentifikasi terkikisnya eksistensi agama lokal, dengan membeberkan nasib agama lokal yang semakin buram yang di antaranya disebabkan kehadiran agama resmi, dimana mengakibatkan pemeluk atau penghayat ritual agama lokal semakin sulit beradaptasi di Tanah Banjar.

Kekhawatiran soal eksistensi agama lokal tersebut, seharusnya bisa mereda seiring terbitnya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) di akhir tahun 2017, yang mengakui keberadaan agama lokal.  Kalimantan Selatan yang memiliki masyarakat adat Meratus masih belum merasakan kehadiran putusan tersebut dengan baik. Sebab keberadaan mereka masih belum dianggap sebagai warga negara Indonesia sepenuhnya.

BACA JUGA :  #SaveMeratus: Pemprov Kalsel Tak Libatkan Masyarakat dalam Penetapan Geopark Meratus

Pengakuan agama lokal, Devi Damayati menyebutnya dengan Agama Meratus, masih belum bisa disematkan di kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP). Pengakuan Agama Meratus bisa dijadikan langkah awal untuk melestarikan pegunungan meratus, yang didaulat sebagai atap dari Kalimantan Selatan.

Memang langkah pengakuan tidak semudah membalik telapak tangan, ada banyak hal yang berkelindan di dalamnya seperti pemenuhan hak-hak adat, masalah agraria, agama resmi, hingga administrasi negara.

Agama Balian atau ada pula menyebut Kaharingan sebagaimana agama lokal lainnya, pasti memiliki relasi kuat dengan alam di mana mereka tumbuh.  Alam sudah menyatu dalam agama mereka, karena agama adalah interpretasi dalam alam itu sendiri. Setiap gerak dan ritual dalam agama lokal adalah irisan dari alam. Sehingga, pengelolaan Meratus seharusnya diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat adat Meratus yang sudah terbukti sukses menjaga alam, karena menjadi bagian dalam kehidupan mereka sejak awal.

Hari Minggu (24 Februari 2019), Gubernur Sahbirin Noor meresmikan pegunungan Meratus sebagai Geo Park (Taman Bumi), di mana ada 36 titik gugusan batuan (geosite) yang dijadikan bagian dari Geopark Nasional.Memang penyematan status “taman bumi”bisa dianggap sebagai bagian dari upaya pemerintah dalam menjaga situs alam, dengan kebijakan terintegritas dari persoalan geologi, ekonomi, hingga pelestarian alam yang melibatkan masyarakat.

Namun, di Pegunungan Meratus sekarang ini ada masalah yang sering terabaikan, yaitu pengakuan akan penghayat agama lokal. Pengunungan Meratus memang sebuah wilayah yang sangat indah, tak kalah dengan kawasan wisata terkenal lainnya.

BACA LAGI :  LPMA Nilai Penetapan Geopark Bukan Langkah Tepat untuk Lindungi Pegunungan Meratus

Namun, saat menempatkan Meratus (hanya) sebagai objek alam adalah sebuah kesalahan tanpa kita sadari. Sebab, Meratus seharusnya tidak dilihat dari potensi kunjungan wisata dan pelestarian alam belaka. Tapi, Meratus juga tempat tinggal bagi masyarakat adat Meratus yang selama ini menjaga alam pengunungan dan saat bersamaan juga berjuang menghadapi berbagai masalah pelik selama ini mengitari kehidupan mereka.

Pencaplokan lahan yang beringas, agama yang tak kunjung diakui, pemaksaan untuk menganut agama atas dasar administrasi negara, adalah secuil kepelikan yang harus dihadapi masyarakat adat Meratus. Taman Bumi memang indah terdengar, namun menempatkan Meratus tanpa memandang penghuninya sebagai manusia seutuhnya adalah hal tidak tepat.

BACA LAGI : Pemprov Kalsel Siapkan Dokumen Tertulis Geopark Pegunungan Meratus

Meratus seharusnya bisa ditempatkan sebagai wilayah yang ramah pada siapa saja, baik penghuni ataupuntamu yang datang ke sana. Penghuni Meratus, juga bukan tontonan yang bisa dijual secara komersilwisata, tapi mereka manusia seutuhnya yang berhak memelihara wilayah yang mereka warisi dari leluhur mereka.

Pengakuan atas Agama Balian dan melindungi hak ulayat atas pengunungan Meratus sudah merupakan usaha terbaik dari pemerintah, ketimbang menyematkan status “taman bumi” tapi tidak melibatkan masyarakat Meratus secara menyeluruh dalam perencanaannya.

Kewajiban pemerintah secepatnya untuk mengakui agama Meratus dengan segala hak warga negara.Sebab, inilah cara terbaik dalam menjaga kelestarian Meratus dengan segala kekayaan ekologis di dalamnya.

Keputusan Taman Bumi hanya akan membatasi ruang gerak dari masyarakat adat yang sudah memiliki kearifan lokal sendiri dalam urusan tata ruang  atau wilayah untuk kehidupan mereka.Jadi sebaiknya kebijakan “taman bumi” ini harus dipikirkan ulang, sebagaimana  dalam ilmu Ushul Fiqh dikenal kaidah “kebijakan dari sebuah kekuasaan harus disandarkan sepenuhnya pada maslahat masyarakat”.

Penghentian segala eksploitasi dan pengerukan kekayaan alam pegunungan Meratus adalah kewajiban pemerintah, karena pengunungan Meratus sudah seharusnya menjadi hak adat masyarakat adat di sana. Jika dua hal ini dilakukan oleh pemerintah, tanpa harus ditetap sebagai taman bumi sekalipun, Meratus akan terus lestari dengan pengawasan masyarakat adat.(jejakrekam)

Penulis adalah Peneliti di Kindai Institute

Pegiat Jaringan Gusdurian Kota Banjarmasin

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.