Pengawasan Partisipatif di Pemilu 2019, LK3 Banjarmasin Gandeng Bawaslu Kalsel

0

LEMBAGA Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin menggandeng Bawaslu Kalsel menggelar sosialisasi pengawasan partisipatif Pemilu 2019 kepada kelompok perempuan dan orang muda dari berbagai agama di Hotel Jelita, Rabu (27/2/2019).

KEGIATAN belajar bersama ini merupakan agenda rutin setiap bulan Komunitas Pelangi, Wadah Bersama Perempuan Kepala Keluarga untuk Kesetaraan, Keadilan dan Perdamaian, komunitas yang diinisiasi LK3 untuk memperjumpakan kelompok perempuan berbasis antar iman agar memahami isu-isu perempuan dan keadilan gender sekaligus sebagai media dialog untuk merawat keberagaman di Banjarmasin.

Kegiatan yang dimoderatori Direktur LK3 (Rafiqah) ini menampilkan narasumber, yakni Iwan Setiawan, Erna Kasyfiah, Nurkholis Majid, dan dari LK3 Mariatul Asiah.

Ketua Bawaslu Kalsel Iwan Setiawan memaparkan peran Bawaslu dalam Pemilu, dan tahapan persiapan yang telah dilakukan untuk menghadapi hari pemungutan suara.

Ia juga menyampaikan tantangan-tantangan yang dihadapi dan pentingnya keterlibatan seluruh elemen masyarakat untuk mengawal proses Pemilu, dengan tidak terkecuali kelompok perempuan. “Bawaslu tidak bisa bekerja sendiri dalam melaksanakan perannya sebagai pengawas Pemilu. Kami menyambut gembira diadakannya kegiatan ini dengan melibatkan kelompok perempuan dan orang muda sebagai kelompok strategis di masyarakat agar bersama-sama mengawasi proses Pemilu, supaya berjalan dengan lancar dan menjadi Pemilu yang bermartabat dan berintegritas,” katanya.

BACA : Pilihan Politik Bikin Masyarakat Pecah, Toleransi Mesti Kembali Dipupuk

Koordinator Program Gender Justice LK3 Mariatul Asiah menyampaikan tentang Pemilu yang partisipatif dan posisi perempuan dalam Pemilu.

“Tidak ada pembedaan antara perempuan dan laki-laki dalam mengawal proses Pemilu ini. Sama-sama keduanya dibutuhkan untuk mengawal proses Pemilu ini,” tegasnya.

Ia mengungkapkan, partisipasi perempuan sejak tahun 1999 terus menurun, ada kenaikan pada pemilu 2014 namun tidak signifikan. Melihat situasi sekarang, ada kekhawatiran juga akan kembali mengalami penurunan. Hal ini ditengarai tidak hanya soal kegaduhan di ruang publik dengan banyaknya isu-isu yang dipolitisasi, sehingga menimbulkan sikap apatis dari masyarakat untuk turut berpartisipasi, tetapi juga soal kultur dan teknis.

Dimana, bebernya, kultur yakni masih kuatnya budaya patriarki, yang telah membelah bahwa ada pembagian ruang antar laki-laki dan perempuan. Ruang perempuan sektor domestik, sementara publik adalah ruangnya laki-laki.

Imbas dari segregasi ruang laki-laki dan perempuan tersebut, ungkapnya, juga menguatkan anggapan bahwa politik itu urusan laki-laki dan dianggap kotor, serta menakutkan, sehingga membuat keengganan bagi kelompok perempuan untuk masuk ke wilayah tersebut. Akhirnya perempuan menjadi tidak terlibat dan cenderung dipinggirkan dalam urusan publik, terlebih urusan politik.

“Dalam konteks ini sangat penting membangun kesadaran di kalangan perempuan untuk menyakinkan mereka sebagai kelompok potensial dan strategis dalam membangun tatanan kehidupan yang demokratis dan berkeadilan gender,” ucapnya.

Menurutnya, salah satu kesadaran yang perlu dibangun adalah pentingnya keterlibatan mereka dalam mengawal proses pemilu yang bermartabat dan berintegritas. Inilah tantangan yang harus dijawab bersama baik oleh penyelenggara pemilu maupun kelompok masyarakat sipil.(jejakrekam)

Penulis Andi Oktaviani
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.