Problema dan Dilema Angkutan Massal Ibukota

0

URBANISASI membuat kota semakin padat dengan berbagai macam aktivitas di dalamnya. Peningkatan nilai jual tanah membuat harga rumah di tengah kota menjadi tidak terjangkau. Sementara kantor, fasilitas umum, kampus, sekolah, dan pusat perbelanjaan mayoritas tersebar di tengah kota.

HAL ini membuat banyak masyarakat harus menempuh perjalanan cukup jauh setiap hari. Beban jalan meningkat, sehingga angkutan massal sangat dibutuhkan. Salah satu contoh bahwa Koperasi Angkutan, Metro Mini, Kopaja di DKI Jakarta, berhasil menangkap peluang ini sejak tahun 1970-an. Namun, kualitas pelayanan mereka semakin lama semakin menurun. Masyarakat mulai merasa tidak nyaman.

Kemudian angkutan online atau daring datang sebagai penyelamat. Meskipun kedatangannya membawa angin segar, namun angkutan daring tidak bisa mengisi kebutuhan pemindahan orang dalam jumlah banyak dalam satu waktu. Jika hal ini dibiarkan, beban jalan akan semakin bertambah dan kualitas udara karena polusi semakin memburuk. Akibatnya, tingkat stress dan risiko penyakit saluran pernafasan meningkat.

BACA :  Remajakan Angkot, Moda Transportasi Massal di Banjarmasin Terabaikan

Untuk itulah, pemerintah terutama Pemkot Banjarmasin perlu hadir guna memenuhi kebutuhan angkutan massal dan demi menjaga iklim persaingan angkutan daring versus konvensional. Mendorong masyarakat untuk naik angkutan umum tanpa memperbaiki kualitasnya adalah tindakan kurang bertanggung jawab.

Membiarkan persaingan antar penyedia yang memiliki modal besar dan kecil begitu saja adalah sikap kurang empati. Membatasi usaha salah satu pihak untuk maju juga bukanlah keputusan yang bijak. Satu kata, dilema.

BACA JUGA :  Bus Mini Bisa Jadi Solusi Gantikan Taksi Kuning, Asalkan…

Idenya adalah mengembalikan kejayaan masa lalu; peremajaan unit angkutan konvensional, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dan pengembangan infrastruktur pendukung berbasis teknologi.

Ini adalah saatnya Pemkot Banjarmasin hadir dengan program yang dapat memperbesar kapasitas pemodal kecil yang telah berjasa menyediakan angkutan massal selama puluhan tahun terutama bagi masyarakat menengah ke bawah, tanpa harus menutup pintu bagi pemodal besar untuk berusaha.

Di samping itu, Pemkot Banjarmasin dapat mengambil kontrol lebih banyak terhadap operasionalisasi angkutan umum. Pelarangan angkutan daring selamanya bukan keputusan yang bijak. Membiarkan angkutan massal konvensional tertelan arus persaingan sehingga beban jalan terus meningkat juga bukan sikap yang baik.

Pemkot Banjarmasin perlu bergerak cepat untuk mulai menyusun rencana sistem angkutan umum massal yang layak dan dapat menguntungkan semua pihak. Sulit dan lama? Betul, namun prosesnya akan jauh lebih kompleks jika inisiasi baru dilakukan nanti-nanti. Sebagai gambaran, Jakarta memulai pengoperasian TransJakarta sejak tahun 2004 dan hingga saat ini masih melakukan peningkatan pelayanan.

BACA LAGI :  Suntik Mati Taksi Kuning, Kadishub Banjarmasin: “Bukan Saya Tak Punya Hati”

Pemkot Banjarmasin bisa memperkirakan waktu yang dibutuhkan hingga memiliki sistem transportasi umum yang layak. Bagaimanapun juga, baik transportasi daring maupun konvensional berkontribusi menggerakkan perekonomian wilayah. Pasar keduanya pun masih ada.

Angkutan massal (bisa berupa angkutan kota mini bus) memiliki potensi nilai lebih karena memiliki dampak yang lebih kecil terhadap lingkungan. Jika ada riak permasalahan dan sangkaan negatif terhadap pemerintah terhadap program ini, tentu tidak akan pernah ditemui solusi jika tidak ada komunikasi yang baik. Jika bukan Pemkot Banjarmasin yang mendorong, siapa lagi?(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua DPP Intakindo Kalsel

Planolog dan Pengamat Perkotaan

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.