Prabowo Subianto ; di Antara Pusaran Ketakutan dan Kerinduan
SEBAGAI negara berdaulat, Indonesia tengah berada di era pusaran geopolitik dan ekonomi global. Sebagai negara yang dianugrahi kekayaan sumber daya alam sesungguhnya menjadi modal dasar membangun kesejahtraan dan keadilan bagi seluruh rakyat di negeri ini. Namun sayangnya, potensi sumber daya alam yang melimpah itu belum mensejahterakan bagi rakyat dan rasa keadilan pun terasa semakin jauh realitas kehidupan sosial dan ekonomi rakyat.
FAKTA yang terjadi selama ini, sumber-sumber ekonomi dan infrastuktur kekuasaan didominasi oleh segelintir orang saja atau para predatoris yang berlindung di balik institusi kekuasaan. Institusi kekuasaan telah menjadi arena kerumunan orang-orang yang telah memposisikan diri atau mereposi ke dalam jaringan patronase ekonomi dan politik.
Di era transisi demokrasi saat ini, demokratisasi menjadi struktur kesempatan bagi para oligark secara bersama-sama berusaha mengakmulasi kekuaan melalui kontestasi elektoral yang sarat permainan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sudah menjadi pengetahuan umum, kontestasi elektoral bukannya sebagai arena pendidikan dan pencerdasan bagi rakyat, tetapi sejauh dapat diamati adalah sekadar menghadirkan calon-calon penguasa yang miskin narasi leterasi politik dan sikap-sikap demokrasi yang membela kepentingan rakyat.
BACA : Gerindra Banjarmasin Ingin Mengulang Nostalgia Pilpres 2014
Perilaku sejumlah politisi dan kartelisasi partai politik telah melipat gandakan apatisme bagi rakyat dalam partisipasi politik. Fenomena apatisme seperti ini sebuah penggambaran bahwa realitas desain demokrasi pasca rezim Orde Baru, adalah model demokrasi oligarki yang sekadar melembagakan pasar gelap demokrasi yang sama sekali tidak mencerdaskan pagi rakyat.
Pasar gelap demokrasi ini, tidak lain hanya dikendalikan oleh segelintir orang. Segelintir ini adalah para petualang politik dan ekonomi yang berperilaku sebagai pemburu rente (rent-seekers) dengan cara-cara kolusi dan korupsi.
Fenomena ini semakin menguat dan struktur di era transisi demokrasi sebagai rezim Orde Baru yang bermetamorfosis di balik narasi demokratisasi (Lihat Edward Aspinall dalam State and Ilegality in Indonesia, 2010 dan Aspinall dan Mietzner dalam Problem of Democatization in Indonesia, 2010).
Tidak lama lagi, Rabu 17 April 2019, negeri ini akan menjadi sorotan dunia. Dunia akan menyaksikan pertarungan perebutan kekuasaan dan menjadi diterminasi bagi keberadaan negeri ini akan datang. Hanya ada dua pasangan calon Presiden, Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto. Kontestasi politik ini akan menarik. Saya katakan menarik karena kedua petarung politik ini (political fighter) ini memiliki gaya irama dan kekakter politik.
BACA JUGA : Beredarnya Tabloid Indonesia Barokah Mengulang Kasus Obor Rakyat di Pilpres 2014
Realitas sosiologis, negeri ini berpenduduk mayoritas Islam, baik Jokowi maupun Prabowo hal ini menjadi penting untuk memperkuat simpul-simpul basis basis patronase dalam kontestasi politik. Namun demikian, di era liberalisasi demokrasi yang berdampak pada fragment. Di era ini pula pilihan ideologis dan politik identitas tidak lagi menjadi pertimbangan pilihajan rasional (rational choice).
Oleh karena itu para calon presiden, semua energi politik mau tidak harus melipatka handakan political marketing di tengah apatisme dan pragmatisme politik dimana uang masih menjadi dominan dalam setiap kontestasi elektoral di negeri ini. (M. Uhaib As’ad, 2015, 2016, 2017, Edward Aspinall, 2016, Burhanuddin Muhtadi, 2019).
Secara teoriitik, sejumlah hasil riset menumukan bahwa fahwa fenomena incumbent lebih diuntungkan. Alasannya, infrastruktur politik dan juga kebijakan-kebijalan negara menjadi instrumen legal yang bisa dimainkan dengan mengatasnamakan negara pada hal sesungguhnya mengandung kepentingan yang bisa menjadi daya tarik untuk mempengaruhi suara publik dalam kepentingan kekuasaan selanjutnya.
BACA LAGI : Swasembada Pangan hingga Penguatan Militer, Strategi Prabowo-Sandi Menangkan Pilpres 2019
Tentu saja, dalam konteks ini menguntungkan bagi Capres Jokowi. Fenomena Capres Prabowo bukan petarung politik ‘ayam sayur”. Bila mengikuti perkembangan dinamika politik politik mutakhir, sesungguhnya memiliki peluang besar memenangkan kontestasi politik akan datang.
Sejumlah survei memperlihatkan mengalami pergerakan naik, sementara Capres Jokowi nyaris stagnan. Saya.berpendapat bahwa, stagnannya pergerakan elektabilitas Jokowi ini salah satunya adalah dampak dari Debat Capres Jilid kedua yang menjadi ‘blunder” ketika Capres Jokowi berusaha mengintrodusir soal penguasaan lahan atau tanah bagi Capres Prabowi.
Introdusir yang satar rada-rada emosional dan subyektivitas itu, sesungguhnya sebagai bagian strategi membagun political marketing atau membangun political image dihadapan rakyat. Namun, pasca Debat Capres Jilid kedua itu, bukannya menaikkan elektabilitas tapi justru melahirkan resistensi dari kelompok-kelompok masyarakat sipil (civil society).
Bila bicara soal kepimilikan tanah atau lahan di negeri ini, rakyat sudah paham. Rakyat tidak perlu lagi diajari, dobohongi alias dikibuli, bahwa sejak Soeharto berkuasa selama 32 tahun, tanah atau lahan di negeri ini dikuasai oleh kroni bisnis dan politik Soeharto (McIntyre, 2009, Kunia, 2009, Muhaimin, 2009, M. Uhaib As’ad, 2015).
Pasangan Capres, Prabowo Subianto menurut Capres Jokowi, bahwa Prabowo memliki ratussan ribu haktar. Apakah penguasaan lahan-lahan tambang dan megaproyek Pulau Seribu itu berada dalam ruang hampa kekuasaan Presiden Jokowi? Ini pertanyaan penting.
BACA LAGI : Bambang : Jokowi Tak Boleh Kalah Lagi di Kalsel dalam Pilpres 2019
Fenomena ketakutan sebagian orang bila kontestasi politik pada 17 April 2019 datang, justru dimenangkan Prabowo dapat dimengerti. Para patronase politik dan kroni ekonomi dan para partai pendukung yang telah berada dalam comfort zone tentu saja berantakan bila melihat statemen-statemen Probowo.
Statemen Probowo itu antara lain adalah mengembalikan kedaulatan sumber daya alam kepada negara yang selama ini dikuasi oleh kapitalis asing dan segelintir orang di negeri. Mengembalikan marwah kedaulatan sumber daya alam uang selama ini menjadi bancakan para predator ekonomi, khusus dalam industri tambang dan batubara.
Ketakutan dan kerinduan. Itu sebuah penggambaran yang patut dan pantas dialamatkan pada sosok Capres Prabowo Subianto di saat rakyat kehilangan pengharapan. Di saat sebagian rakyat mengalami statelessness felling, secara ekonomi dan politik. Di saat Debat Capres Jilid kedua, malah rakyat merindukan titah dan narasi kejujuran, justru ketika itu yang dipertontonkan adalah narasi banalitas.(jejakrekam)
Penulis adalah Dosen FISIP Uniska Banjarmasin
Direktur Center for Politics and Public Policy Studies, Banjarmasin