Catatan Dialog Palindangan Noorhalis : Demokrasi Tanpa Partisipasi, Hampa

0

DEMOKRASI tanpa partisipasi, hampa, bahkan mungkin mati. Partisipasi adalah kontrol, kendali, atas suara demokrasi. Partisipasi bukanlah sekedar kerumunan. Bukan mobilisasi. Dia kesadaran untuk ikut terlibat. Kontrol. Ikut memberi warna.

BAGAIMANA membangun partisipasi demokrasi? Dengan cara seperti apa partispasi dilakukan? Siapa yang paling bertanggungjawab membangun partisipasi demokrasi? Bagaimana potret partisipasi demokrasi di Kalsel?

Partisipasi adalah anak kandung dari demokrasi itu sendiri, kata pengajar Fisip ULM Taufik Arbain, memulai obrolannya dalam Palidangan Noorhalism yang dipandu oleh Noorhalis Majid.

Karena dia anak kandung, bebernya, maka demokrasi memerlukan partisipasi. Kontrol atas kebijakan adalah bentuk partisipasi. Kalau publik apatis, tidak tahu menahu dengan berbagai situasi dan perkembangan pemerintahan, padahal berimplikasi pada kehidupan masyarakat, maka demokrasi kehilangan maknanya. Itulah yang disebut dengan devisit demokrasi.

“Artinya demokrasi berjalan tidak sebagaimana mestinya. Demokrasi berjalan tanpa kontrol, yang terjadi mungkin manipulasi demokrasi, syukur tidak mengarah pada otoritarian,” katanya.

BACA :  Demokrasi Kalsel Masih Tahap Belajar di Bawah Kendali Kuasa Uang

Taufik menambahkan, sekarang ini demokrasi Indonesia terjebak pada formalitas, atau presedur semata. Hanya memenuhi presedur. Benar terdapat Pemilu, partai politik, DPRD, pemerintahan, lembaga-lembaga pengawas, dan lain sebagainya, namun partisipasi atau kendali rakyat atas isu-isu publik sangat minim.

Ketika usai pemilu, rakyat tidak merasa terwakili. Bahkan ada jarak antara rakyat dengan wakil rakyat. Rakyat hanya disapa saat menhelang pemilu, setelah itu ditinggalkan. Suaranya rakyat tidak sampai. Keinginan rakyat dengan keinginan wakilnya berbeda.

Seringkali keduanya tidak nyambung. Karena pelibatan rakyat hanyalah presedur belaka. Tidak substantif. Rakyat tidak pernah dididik, dikader, untuk menjadi bagian dari aktor-aktor demokrasi yang menentukan arah pemerintahan, yang komitmennya terbangun berdasarkan cita-cita bersama.

Partai Politik berperan penting, ujar Taufik Arbaik. Para ahli demokrasi mengatakan, partai politik itu adalah wadah untuk memperjuangan kebaikan bersama dalam kelola pemerintahan. Jadi partai politik itu adalah wadah yang disediakan, agar rakyat dapat menyuarakan persoalannya, sehingga pemerintahan ini berjalan sesuai harapan rakyat itu sendiri.

BACA : Agama Sering Jadi Komoditas, Kapan Para Elit Punya Gagasan Politik yang Substansial?

Noorhalis Majid, selaku pemandu, juga menyampai kekecewaan publik yang banyak disuarakan di media sosial, tentang masih kuatnya oligharkhi di tubuh partai politik.

Dimana, yang menjadi calon berputar di lingkungan petinggi partai yang relatif sudah lama, dan lebih parah lagi para pengurus partai tersebut masih kuat perltalian hubungan darah atau kekerabatan. Sudah tiga bahkan empat kali menjadi anggota DPR dan DPRD, tapi masih mencalonkan diri.

Tidak ada kesempatan bagi yang lain untuk berkiprah, karena dominasinya sangat kuat. Para tokoh lama, berulang kali duduk di parlemen, memiliki sumber daya dan dana. Dengan daya dan dana itulah pencalonan diatur.

Pemain baru merasa enggan, bahkan sebagian besar mungkin minder, merasa tidak layak karena tidak punya daya dan dana yang memadai. Pada posisi seperti ini maka partai politik hanyalah kendaraan dari oang-orang berduit.

Penelpon yang ikut berpartisipasi dalam acara dialog Palidangan Noorhalis, Nasrun dari Handil Bakti, mengatakan bahwa petahana yang berulang kali mencalonkan diri adalah sesuatu yang lumrah, sejauh masyarakat masih memilihnya maka silakan. Walaupun, membuat pendatang baru sangat sulit mengalahkannya.

Menurut Nasrun, partisipasi demokrasi itu justru terhambat karena saluran yang tersedia sangat terbatas. Lihat saja sekarang ini, media massa saja sudah tidak menyuarakan suara publik. Yang disuarakan adalah suara pemodal.

Media sudah menjadi hamba industri, dan ketika itu, kepekaannya terhadap suara rakyat sudah tidak jeli lagi. Publik sekarang ini kata Nasrun, digiring untuk mengkonsumsi isu-isu nasional, sementar isu lokal tidak ada wadah untuk disuarakan.

BACA JUGA :  Pilkada Kalsel Sudah Mengarah ke Demokrasi Pasar Gelap

Penelpon lainnya, Adam dari Kotabaru, merasa prihatin karena DPRD yang terpilih sepertinya tidak mampu menangkap suara rakyat. “Walaupun kita sebagai masyarakat sudah menyampaikan, namun suara kita tidak pernah menjadi agenda dalam perjuangan mereka. Hal ini membuat masyarakat apatis terhadap DPRD dan Partai politik,” katanya.

Sementara, penelpon lainnya, Hj Ratih, membenarkan bahwa orang-orang yang sekarang mendominasi pencalonan partai politik adalah orang lama yang cenderung tidak memberikan kesempatan pada pendatang baru. Dibuktikan dengan penempatan nomor urut satu yang sebagian besar diisi oleh orang lama.

Hanya sedikit partai menempatkan orang baru pada nomor urut satu. Walaupun nomor urut dalam sistem Pemilu tidak berkorelasi dengan perhitungan perolehan suara, namun kecenderungan pemilih masih memperhatikan nomor urut sebagai cerminan kehendak parpol.

BACA LAGI : Toleransi Pemilih Kalsel Masih Tinggi dengan Politik Uang

Noorhalis Majid mengatakan, hampir tidak ada mekanisme untuk melihat rekam jejak para petahana, sehingga rakyat bisa melihat apakah layak dipilih kembali atau tidak. Satu-satunya yang bisa dilihat adalah dampak kesejahteraan yang dirasakan masyarakat.

“Bila masyarakat merasa semakin susah kehidupannya, maka petahana tidak akan mendapat simpatik, calon baru menjadi alternatif. Atau kalau calon baru juga dianggap meragukan, maka golput menjadi alasan. Walau sebenarnya, golput sesuatu yang tidak relevan, karena tidak pernah menjadi faktor dalam demokrasi,” katanya.

Taufik Arbain menanggapi, diperlukan semacam blok politik demokratik, yaitu berkumpulnya para aktor kritis yang melihat perjalanan demokrasi, peran partai politik, DPRD, Pemerintahan dan kelompok masyarakat sipil.

Blok politik ini dapat bertemu untuk memberikan kontrol, sehingga publik memiliki alternatif, atau memiliki kelompok yang mewakili suaranya dalam menyampaikan suara-suara masyarakat yang tidak pernah terdengar atau terungkapkan.

“Kelompok ini juga dapat menjadi wahana dalam melakukan pendidikan demokrasi. Dan blok politik demokratik masih sangat relevan, di tengah tingkat pemahaman, pendidikan, serta kepedulia mayarakat yang mudah pragmatis dan transaksional. Tugas kita semua mewujudkan blok politik demokratik, sebagai bagian dari partisipasi demokrasi,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis Andi Oktaviani
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.