Adipura dan ‘Calap’ (Banjir), Mana Pentingnya? (1)

0

ERA Walikota Banjarmasin Ibnu Sina adalah masa yang bisa dikatakan era penuh kesuksesan. Walikota termuda di sepanjang sejarah kepemimpinan di Kota Banjarmasin memang patut untuk diapresiasi.

DI AWAL kepemimpinannya, tak lama setelah dilantik tropi Adipura pun diraih Kota Banjarmasin. Walaupun mungkin ini juga tak lepas dari hasil kerja pengambil kebijakan di era sebelumnya.

Dulu di awal era Pak Ahmad Yudi Wahyuni, Kota Banjarmasin pernah masuk kategori kota terkotor se-Indonesia. Sebuah hadiah yang tentu tidak mengenakan yang terpaksa diterima oleh Walikota Yudi Wahyuni. Akan tetapi dengan adanya hadiah terkotor itulah, maka Kota Banjarmasin mulai berbenah.

BACA :  Quatrick Adipura, Tunjangan per Bulan Pasukan Kuning Naik Rp 1,5 Juta

Tidak tanggung-tanggung Walikota Yudi Wahyuni pun membentuk tim kerja untuk memantau dan mengevaluasi berbagai hal menjadi penyebab kekotoran. Dus, setidaknya membuat kota jadi kurang nyaman, bahkan di era walikota inilah dilaksanakan lomba kebersihan dan penghijauan, mulai tingkat kelurahan sampai dengan tingkat kecamatan.

Dulu, kalau ada kecamatan terkotor, maka diminta untuk memasang bendera hitam. Program kebersihan ini kemudian dilanjutkan era Walikota Muhiddin.

Ujungnya, setelah berjalan puluhan tahun , baru Kota Banjarmasin mulai menjadi langganan Adipura dan tidak lagi masuk nominasi kota terkotor.

Inilah hikmah dari sebuah kegagalan menjadi pemicu demi meraih sebuah keberhasilan. Hal ini tentu berkait dan berkelindan dengan penghargaan berlevel nasional bernama Adipura. Jujur, saat ini pada dasarnya peran walikota sekarang jauh lebih mudah.

BACA JUGA :  Gara-Gara Pasar Kalindo, Banjarmasin Gagal Raih Adipura Kencana

Tinggal mempertahankan konsep kerja yang ada dan juga meningkatkan atau mengembangkan hal-hal yang masih bisa untuk dijadikan keunggulan kompetitif dalam bersaing dengan kota lain. Tantangan bagi Kota Banjarmasin ke depan adalah bagaimana bisa mendapatkan Adipura Kencana.

Bahkan ‘Adipura Abadi’  yang tidak dalam bentuk piala, tapi berupa munculnya sebuah kesadaran dan kecintaan di semua lapisan masyarakat untuk berlomba menjadikan kawasan lingkungannya bersih, nyaman, tenang dan asri serta produktif.

BACA JUGA :  Adipura, Jadi Pemacu Semangat Jaga Kebersihan Banjarmasin

Bagi penghuni kota dasarnya, award bernama Adipura tidaklah terlalu penting. Bagi mereka terwujudnya sebuah kondisi kota yang nyaman, tenang, damai dengan meningkatnya kualitas dan produktivitas dalam semua sisi kehidupan adalah menjadi hal utama.

Dalam menata atau mengatur kota, dasarnya bukanlah berbagai gelar pengakuan atau tropi dan sejenisnya yang menjadi tujuan.

Tentu muncul beberapa pertanyaan kita, apakah kota ini sudah layak dalam arti sebenarnya untuk mendapatkan sebuah Adipura? Lalu, mana pentingnya pula Adipura dibandingkan dengan kenyamanan para penghuni kota dalam menjalankan aktivitas kehidupan kesehariannya.

Bila kita bicara aspek kenyamanan sebagai penghuni Kota Banjarmasin atau kita kaitkan dengan Adipura, maka pasti kita  tergugah dan terpaksa untuk merenung sejenak.

BACA LAGI :  Hujan Sebentar, ‘Calap’ Sudah Merata Dimana-mana

Dalam kepala kita dipastikan akan muncul tanya, apakah Kota Banjarmasin memang layak dapat Adipura setiap tahunnya?  Coba saja ambil salah satu contoh, ulasan terkait kenyamanan penghuni kota, terutama bagi masyarakat terbanyak yang menghuni kota. Hal sederhana yang selalu kita dihadapi setiap tahun.

Cobalah kita bicara salah satu aspek kota seperti hal pengelolaan air melimpah yang mendera kota ketika musim hujan tiba. Bila bicara hal ini, maka kita akan dapatkan fakta bahwa air berlimpah ini telah menjadi ‘musibah’ yang terpaksa diterima warga kota setiap tahun. Hampir setiap sudut kota di daerah padat penduduk selalu tergenang air.

Bahkan tidak jarang pusat kota pun terkena serangan air. Serbuan air yang dalam bahasa atau istilah Banjar disebut ‘calap’ ini selalu rutin menimpa banyak kawasan dikota ini. Jalan protokol seperti Jalan Sudirman pun tak lepas dari serbuan air. Berbagai fasilitas publik juga terkena dampak.

Ambil contoh, Bank Mandiri di seberang Bank Kalsel terpaksa selalu menyiapkan pompa air untuk membuang genangan yang menyerbu kantor mereka. Begitu juga, masjid kebangaan warga Kota Banjarmasin yang berada di pusat perdagangan Sudimampir, yakni Masjid Noor menjadi langganan kecalapan. Terutama lagi, saat hujan lebat, maka jalan dan permukiman warga terpaksa terendam air minimal semata kaki.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua LPJK Provinsi Kalsel

Arsitek Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Kalsel

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.