PERGANTIAN posisi Ketua KPU Kalsel dari Edy Ariansyah kepada Sarmuji, mendapat sorotan dari akademisi dan pegiat demokrasi, termasuk akademisi Fakultas Hukum Uniska Muhammad Erfa Redhani.
ERFA berpendapat, kepemimpinan di KPU bersifat kolektif kolegial dan keputusan tertinggi mutlak ada pada rapat pleno, tetapi mestinya demi menjaga prasangka yang tidak baik di publik maka harus ada alasan yang mendasar mengapa harus ada pergantian ketua KPU.
Baginya kurang tepat dalih lengsernya Edy Ariansyah hanya dengan alasan one man show. “Mesti ada alasan yang lebih substantif, apakah yang bersangkutan pernah melanggar etika penyelenggara Pemilu ? Sangat wajar ada pergantian kalau seadainya ada etik yang dilanggar,” kata alumnus magister tata negara Universitas Indonesia ini.
BACA : Edy Ariansyah ‘Dilengserkan’, Sarmuji Diputuskan Ketua KPU Kalsel
Ia menyebut, selama kepimpinan Edy Ariansyah tidak ada kode etik yang dilanggar. Erfa khawatir pergantian pucuk pimpinan KPU Kalsel menjadi preseden buruk bagi penyelenggara Pemilu di tingkat kabupaten dan kota. “Hal ini bisa saja terjadi karena ada unsur like or dislike, maka dengan rapat pleno bisa diganti,” kata aktivis KAMMI ini
Erfa berharap agar penyelenggara Pemilu di Kalsel dapat solid guna terselenggaranya Pemilu yang jujur dan adil. “Mestinya KPU fokus menghadirkan Pemilu yang sebentar lagi kita hadapi secara jujur dan adil,” ucapnya.
Erfa menyarankan KPU RI untuk mempertimbangkan menerbitkan SK pergantian Ketua KPU Kalsel, mengingat proses pemungutan suara Pemilu 3019 sudah di depan mata. “Bisa saja SK-nya di tunda dulu oleh KPU RI sampai waktu yang dianggap tepat pergantian ketua KPU Kalsel,” pungkas Erfa.(jejakrekam)