Ketika ‘Calap’ (Banjir) Mendera Kota, Siapa yang Salah (3)?

0

WALAUPUN Kota Banjarmasin sangat membanggakan dengan sungainya, sehingga pernah tema Hari Jadi Kota Banjarmasin mengklaim sebagai kota sungai terindah. Ironisnya, slogan ini seakan hanya asyik di kata, tapi melupakan makna sesungguhnya.

FAKTANYA, sungai yang ada di kota ini semakin terdegradasi dari segi pemanfaatan.  Sungai seolah hanya kuat dimunculkan untuk dijadikan faktor estetika visual etalasi kota saja. Sedangkan, fungsi sungai dalam arti sebenarnya belum bisa ditampilkan dengan  tepat guna. Sungai sebagai  jalan air belum tergarap dengan baik.

Secara konseptual, dasarnya untuk menangani masalah air di kota ini semestinya mengacu pada faktor alam tadi. Alam sudah mengajarkan bahwa mereka antar komponen selalu saling berinteraksi dan menunjang untuk membuat keseimbangan. Tetapi bila dicermati akan ditemukan telah terjadi banyak kesalahan mendasar, terutama dalam memilih model tata kelola air di kota ini.

BACA :  Ketika ‘Calap’ (Banjir) Mendera Kota, Siapa yang Salah (2)?

Contoh kecil saja,  sistem drainase yang diterapkan di kota ini adalah sistem drainase yang peruntukkannya cocok pada kawasan pegunungan atau tanah keras.

Bukan untuk kawasan rawa dengan kondisi pasang surut seperti yang menjadi karakter Kota Banjarmasin. Akhirnya, drainase yang dibuat pun menjadi seperti bak mandi. Ketika air pasang berubah menjadi penampungan air, bukannya menjadi media penyalur air. Belum lagi, sisi kiri kanan dan atas drainase yang dibuat selalu ditutup atau dibetonisasi.

Hasilnya, drainase dibangun menjadi masif dan permanen, sehingga tidak bisa maksimal menyerap air dari daratan menuju ke arah drainase tersebut.
Begitu juga, hal penentuan perbandingan posisi muka air tertinggi. Yang harusnya dihitung saat pasang di ujung akhir saluran drainase dengan posisi tinggi dasar bagian awal drainase yang jarang diperhatikan. Ini lagi-lagi seakan tak diperhitungkan.

Padahal ini sangat penting untuk melancarkan alur buangan air limbah. Akan tetapi inilah konsekuensi bila salah memilih model drainase. Dampaknya kebijakan yang diambil tidak banyak memberi manfaat. Hanya sesaat mampu mengatasi masalah.

BACA JUGA :  Ketika ‘Calap’ (Banjir) Mendera Kota, Siapa yang Salah (1)?
Persoalan mengatur tata air buangan di Banjarmasin sebenarnya tidak terlalu rumit. Cuma pendalaman terhadap falsafah dasar kondisi alur air harus dicermati untuk dijadikan acuan. Minimal bisa memperhatikan beberapa aspek.

Pertama, aspek posisi Kota Banjarmasin yang ada di bawah permukaan air laut. Dulu (sekitar tiga puluh tahun lalu) ada di kisaran sekitar 17 centimeter (- 17 cm), dan kondisi ini perlu untuk diidentifikasi kembali. Sebab, bisa saja saat ini sudah ada di posisi angka minus 30 centimeter. Akibat pemanasan global dan sedimenisasi sungai atau banyaknya sungai yang mati.

BACA LAGI :  Hujan Sebentar, ‘Calap’ Sudah Merata Dimana-mana

Kedua, kondisi sungai besar, menengah dan kecil, dalam hal ini perlu dicek terutama jumlah, lebar, dalam dan koneksivitas antar sungai tersebut. Bila melihat data, maka saat ini sudah banyak sungai yang mati, bahkan anak-anak sungai kecil dan menengah sudah lebih 90 persen  hilang. Termasuk di sepanjang Jalan A Yani, Jalan Veteran, dan lainnya.

Ketiga, kondisi area resapan yang ada di berbagai kawasan kota apakah luasnya masih memadai. Bila dilihat pertumbuhan pembangunan yang mengutamakan pengurukan, maka bisa dipastikan area resapan air hampir sama dengan kondisi sungai. Ya, kondisinya sudah semakin menyempit dan bahkan bisa saja hilang.

Ketiga aspek ini adalah tata kelola air yang diajarkan oleh alam yang sejatinya diperhatikan dan diolah untuk dijadikan acuan dalam membuat drainase ataupun tata kelola air di Banjarmasin. Sayangnya, justru yang dibuat adalah banyak pola model drainase pegunungan dan tanah keras yang menjadi acuan.

BACA LAGI :  Air Sungai Meluap, Sejumlah Kawasan di Kayutangi Mulai Terendam

Dampaknya, jelas saja akan memunculkan masalah, sulit untuk diterapkan secara maksimal. Model drainase ini hanya bisa mengandalkan model gravitasi untuk melancarkan air. Sedangkan di Kota Banjarmasin sangat tidak bisa maksimal bila mengandalkan model gravitasi sebagai acuan mengalirkan air. Model ini hanya bisa digunakan untuk lingkungan dengan luas terbatas. Jadi, tidak akan efektif digunakan menjadi konsumsi skala kota.

Dalam mengatur drainase atau tata kelola air limbah di Banjarmasin, paling ideal dibutuhkan model yang saling terkoneksi berpola zonasi kawasan.(jejakrekam)

Penulis adalah Ketua LPJK Provinsi Kalimantan Selatan

Arsitek di Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Kalsel

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.