Ketua PSI Grace Natalie Nilai Politik Identitas Picu Kader Partai Korupsi
ISU anti korupsi dan anti intolerasi diangkat Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) dalam diskusi memasuki Pemilu 2019 di Hotel Victoria Banjarmasin, Jumat (21/12/2018). Isu itu dianggap sangat riskan karena bisa memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
TIGA pembicara dihadirkan yakni Teolog Darius Dubut, Ketua Umum DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampouw. Terakhir, akademisi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Dr Mohammad Effendy.
Menurut Grace Natalie, permasalahan besar bangsa Indonesia saat ini adalah korupsi dan intoleransi yang merusak. Bagi dia, hal itu sangat merugikan Indonesia ketika banyakprogram yang tidak bisa terealisasi dengan makin maraknya korupsi.
“Bahkan, sekarang korupsi yang dianggap tidak malu-malu sudah ramai-ramai,” kata Grace Natalie.
BACA : Diduga Korupsi Dana Pemilu 2014 Rp 2,4 Miliar, Eks Komisioner KPU Banjar Tersangka
Mantan presenter TV ini juga menyebut intoleransi sekarang sudah terasa, dan bisa mengancam persatuan kesatuan bangsa. Grace melihat partai-partai religius maupun nasionalis, tidak ada terang-terangan bicara memerangi toleransi. “Malah yang ada mereka ikut arus dan cenderung mengentertain politik identitas,” katanya.
Menurut dia, partai politik seharusnya melakukan pendidikan ke publik. Menyikapi hal itu, Grace menyebut isu anti korupsi dan intoleransi menjadi agenda perjuangan PSI. “Dalam sebulan terakhir kami menyatakan tidak mendukung perda yang diskriminatif,” ucap Grace.
BACA JUGA : PSI Tolak Perda Syariah dan Injil, Pengamat Politik: Jangan Memantik Kegaduhan
Ia menjanjikan PSI juga memperjuangkan keadilan bagi perempuan masih berkaitan dengan anti toleransi. Menurut Grace, sekarang optimisme mulai mengemuka setelah mengikuti perkembangan politik dengan keterlibatan pemuda-pemudi dalam menyikapi isu anti korupsi dan intoleransi.
“Saya rasa pemuda-pemudi di Banjarmasin memiliki keresahan yang sama. Mereka tak rela jika bangsa ini hancur disebabkan oleh para politisi yang tidak merepresentasikan Indonesia sebenarnya,” ucapnya.
Grace lagi-lagi menyinggung banyak pihak yang memainkan politik identitas untuk kepentingan electoral. Akhirnya, berbuah menjadi politisi koruptor karena tidak memiliki program yang jelas.
“Itulah sebabnya, karena tidak ada proses rekrutmen yang terbuka. Bahkan, proses bagaimana kinerjanya di publik tidak pernah dibuka,” tuturnya.
Lantas, apakah bibit-bibit koruptor ini terdapat dari rekrutmen parpol? Grace hakkul yakin bibit dari korupsi ini pintu masuknya ada di partai. Padahal, partai memiliki otoritas penuh untuk lulus atau tidaknya seorang caleg.
Grace mempertanyakan, mengapa masih dicalonkan jika sudah jelas seorang caleg itu adalah mantan napi korupsi.
“Sekarang kita tahu bahwa KPU sempat melarang adanya mantan napi koruptor menjadi caleg. Tetapi beberapa partai tidak setuju, mereka protes ke Bawaslu dan mengabulkan. Hingga KPU menyarankan untuk menandai surat suara bagi mantan koruptor. Namun, tetap saja partai tidak setuju,” ujarnya.
Grace menjelaskan, partai memiliki peranan penting dalam rekrutmen hingha menyodorkan caleg yang bagus dan memiliki otoritas dalam melakukan pengawasan yang dibuka kepada publik.
“Jika pengawasannya hanya di internal, sama saja bohong, jeruk makan jeruk. Harusnya era saat ini ada transparansi,” katanya.
Menurutnya, andaikata tidak ada transparansi, sudah dipastikan tak ada profesionalisme, hingga membuka pintu korupsi bagi produktifitas politikasi rendah. “Terbukti, tahun ini undang-undang yang jelas hanya lima dari yang masuk prioritas 50. Setiap hari pada ngapain aja anggota DPR?” ucapnya.
BACA JUGA : Tolak Perda Syariah dan Injil, PSI Kalsel Yakin Agama Bukan untuk Alat Politisasi
Grace mengungkapkan, jika Indonesia ingin berubah, tentunya harus ada transparansi mulai dari rekruitmen sampai menjabat sebagai anggota legislatif
“Ini harus jelas setiap hari apa yang dilakukan dari setiap wakil rakyat. Tidak hanya sekadar kamera ataupun CCTV pada saat sidang rapat komisi. Namun, ada report perhari yang membuktikan bahwa turut hadir dan mengerti terkait hal yang dibicarakan pada saat sidang,” pungkasnya.(jejakrekam)