Lembaga Keagamaan Wadah Menangkal Paham Radikalisme

0

FORUM Komunikasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalsel menggelar sosialisasi penguatan aparatur dan masyarakat terhadap isu-isu radikalisme di Sinar Hotel, Pelaihari, Tanah Laut, dengan narasumber dari BIN, Noorhalis Majid, dan Ridhani Fidzi.

PERWAKILAN BIN menyatakan, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara ekstrim atau drastis. Dimana, indikator radikalisme dari sikap dan tingkah laku, misalnya fanatisme yang sempit terhadap agama,
fanatisme berlebihan terhadap suatu ideologi, tidak mau hormat kepada bendera merah putih,
menolak menyanyikan lagu kebangsaan, tidak mengakui norma-norma universal yang berlaku, seperti hukum dan HAM,
mudah mengkafirkan kelompok yang tidak sejalan, menganggap toghut pemerintah atau aparat, sikap intoleransi di lingkungan masyarakat, kepedulian masyarakat terhadap lingkungan rendah, serta keberadaan warga simpatisan igaras dan keberadaan napiter atau exnapiter.

Noorhalis Majid dalam pemaparannya mengatakan, radikalisme terbagi, yakni radikalisme statis dan radikalisme destruktif. “Di Kalimantan sudah mendapatkan nilai 55 potensi dari radikalisme itu sendiri,” ucapnya.

BACA : Tolak Radikalisme dan Penghinaan Terhadap Ulama Aswaja, Ini Empat Poin Petisi Itu

Sementara, DR Ridhani Fidzi mengatakan, lembaga keagamaan, seperti masjid, langgar, mushalla, majelis taklim, lembaga pendidikan Islam dan ormas Islam, seperti NU dan Muhammadiyah dapat berperan sebagai tempat berlangsung pengintegrasian nilai-nilai Islam dan iptek untuk menciptakan ulama intelektual dan intelektual ulama.

Serta, lanjutnya, sebagai tempat berlangsung pengintegrasian tiga  jenis ilmu: ilmu empiris (tajribi), rasional (burhani), dan illuminatif (irfani/ladunni).

“Serta menjadi jendela Islam dalam membuka wawasan kemodernan, dan keindonesiaan, tempat berlangsungnya kemampuan dasar manusia, seperti kemampuan berkomunikasi, berpikir jernih, mempertimbangkan segi moral/agama dalam melihat masalah, toleran, menjadi warga yang baik, berminat luas pada kehidupan, memiliki keterampilan khusus untuk bekerja, dan hidup dalam masyarakat global,” tuturnya.

Diungkapkannya, ada lima gagasan/kepercayaan berbahaya, yakni superioritas, ketidakadilan, kerentanan, ketidakpercayaan, dan ketidakberdayaan.

BACA JUGA : Tangkal Radikalisme, Banjarmasin Bentuk Forum Kewaspadaan Dini Setiap Kecamatan

Tentang jihad, ia mengatakan, sebutan jihad sudah populer di kalangan umat Islam, bahkan dalam beberapa ayat terdapat perintah untuk berjihad. “Namun dalam memaknai kata jihad sering terdapat perbedaan indikasi dan makna jihad ini. Hal ini semakin jelas dengan adanya tindakan kekerasan yang dilakukan segelintir orang yang diakuinya sebagai jihad,” bebernya.

Diungkapkannya, organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah menjadikan NKRI sebagai nation state dengan Pancasila dan demokrasinya adalah final.
Sementara masih ada ormas keagamaan lainnya yang menganggap NKRI secara sistem politik merupakan sistem yang kafir, meski tidak harus diperangi, tetapi didakwahi.

“Bahkan NII (Negara Islam Indonesia) dan Jama’ah Islamiyyah (JI) menganggap NKRI bukan saja sistem yang kafir, tapi harus diperangi, dimana pengusung dan pendukungnya halal darah dan hartanya,” ucapnya.

Berbeda, lanjutnya, dengan Muhammadiyah yang dalam Tanwirnya pada Juni 2012 di Bandung, yang menetapkan NKRI sebagai final. Menurut Muhammadiyah, Indonesia yang berdasar Pancasila merupakan negara perjanjian atau kesepakatan (Darul ‘Ahdi), negara kesaksian atau pembuktian (Darus Syahadah), dan negara yang aman dan damai (Darussalam).

Sementara, NU menerima NKRI berdasarkan keputusan Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin, bahwa kawasan Hindia Belanda wajib dipertahankan secara agama dan juga Resolusi Jihad mempertahankan republik yang dikeluarkan PBNU pada 22 Oktober 1945.

“Mengutip Gus Dur: mendirikan negara Islam tidak wajib bagi kaum muslimin, tapi mendirikan masyarakat yang berpegang pada ajaran Islam adalah sesuatu yang wajib,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Andi Oktaviani

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.