Demokrasi Kalsel Masih Tahap Belajar di Bawah Kendali Kuasa Uang

0

HINGGA kini, pengejawantahan demokrasi di Indonesia termasuk di Kalimantan Selatan (Kalsel) dinilai masih belum substantif. Bahkan boleh dikatakan baru pada tahapan akan berdemokrasi alias belajar. Indikatornya adalah belum terpenuhi elemen demokrasi di Banua, mencakup masalah kesadaran hukum, politik dan budaya dinilai belum terpenuhi.

HAL ini diungkapkan Dekan Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, Dr Mohammad Effendy dalam diskusi publik Arah Demokrasi di Kalsel jelang Pemilu 2019 untuk deklarasi Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Kalsel di Hotel Nasa, Banjarmasin, Selasa (20/11/2018).

Effendy menyebut ada tiga elemen berdemokrasi yakni peradilan yang berkualitas, pemilihan umum (pemilu) yang jujur dan adil, serta kuatnya kesadaran politik masyarakat.  “Jujur saja, tiga elemen ini belum terpenuhi di Kalsel. Bahkan, belum terlihat maksimal,” kata mantan komisioner KPU Kalsel ini.

BACA : Pilkada Kalsel Sudah Mengarah ke Demokrasi Pasar Gelap

Pakar hukum tata negara ini mengatakan kepercayaan masyarakat terhadap hukum hingga kini masih sangat rendah. Hal itu, disebabkan masih banyaknya peradilan yang belum menggambarkan kualitas semestinya, terutama dalam memberikan kepastian hukum itu bagi para pencari keadilan.

“Ini belum lagi, saat pemilu berlangsung, sikap atau cara masyarakat menggunakan hak pilihnya masih sangat formal. Bahkan dapat terlihat, dalam beberapa hal masyarakat memilih bukan berdasarkan hati nuraninya, tetapi masih kuat dipengaruhi politik uang (money politics) dan lainnya. Jadi, semua ini harus kita perbaiki,” tegas Effendy.

Ia juga menyinggung soal lunturnya rasa nasionalisme bukan hanya di masyarakat bawah semata, tetapi sudah merambah di tataran elit negara ini. Effendy mencontohkan untuk menambah atau mengurangi satu poin pasal dalam undang-undang tertentu, karena pesanan kelompok tertentu dengan dana pelicin ratusan miliar.

“Nah, elit yang ada di tingkat pusat rela melakukannya. Padahal, dampak negatif yang merugikan bangsa ini sudah jelas bakal terjadi. Ini yang membuat saya heran, mengapa bisa terjadi,” cecarnya.

BACA JUGA :  Antara Demokrasi Prosedural dan Demokrasi Substantive

Sementara itu, pembicara lainnya, Dr HM Uhaib As’ad justru menuding demokrasi di Indonesia, termasuk di Kalsel masih dikuasai kuasa uang serta retorika politik dari para pemilik modal.

Pengamat politik asal FISIP Uniska Banjarmasin mengatakan untuk menuju demokrasi yang substantif, maka dibutuhkan kemauan kuat dari semua elemen yang ada. Utamanya, partai politik serta penyelenggara politik serta unsur lainnya.

“Untuk mendesain demokrasi agar tak lagi terjebak dalam hal prosedural dan ritualitas politik yang terjadi sekarang. Tentu untuk merubah ke hal substatif yaitu demokrasi rasionalitas yang tak lagi diwarnai hal-hal bersifat pragmatis,” papar doktor jebolan Universitas Brawijaya (UB) Malang ini.

BACA LAGI : Menakar Daya Kritis Mahasiswa Saat Demokrasi Telah Dibajak

Sedangkan, Ketua JaDI Kalsel Dr Samahuddin Muharram mengatakan dialog publik sekaligus deklarasi ormas yang menghimpun eks komisioner Bawaslu dan KPU adalah memberi kontribusi dan pemikiran bagi penyelenggara pemilu serta pemerintah daerah di Kalsel. “Ya, seperti kebijakan pembangunan dan arah demokrasi di Kalsel,” pungkasnya.(jejakrekam)

Penulis Ipik Gandamana
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.