Napa Habar, Paman Birin…?

0

SELAMA dua malam (6-7 November 2018), panitia pelaksana Aruh Sastra Kalimantan Selatan (ASKS) XV Kabupaten Kotabaru melaksanakan Festival Teater Mamanda se-Kalimantan Selatan (FTMKS) di Panggung Utama Siring Laut, Kotabaru. Oleh panitia, FTMKS dimaksudkan sebagai kegiatan praASKS XV — semacam “pemanasan” — ASKS- XV-nya sendiri berlangsung 8-11 November 2018.

ASKS adalah agenda sastra tahunan yang dilaksanakan secara bergiliran dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota lainnya di Kalsel. Sejak ASKS I (Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 2004), ASKS XV 2018 di Kotabaru sudah memasuki “putaran kedua”. Di “putaran pertama”, Kotabaru telah menjadi tuan rumah untuk ASKS III (2006) yang hingga kini dinilai sebagai barometer ASKS.

Tiap zaman ada masanya, tiap masa ada zamannya. Saya tidak menyoal pelaksanaan ASKS XV, tapi (sebagai salah satu anggota Dewan Juri) mengulas pertunjukan teater mamanda (peserta FTMKS) yang disajikan komunitas teater kabupaten/kota.

FTMKS yang terbuka untuk umum ini diikuti 10 komunitas teater. Selasa malam (6/11/2018) tampil Komunitas Adik (Kabupaten Balangan), Bauntung Batuah (Kabupaten Tanah Bumbu), Sanggar Sastra Karya Mamunda (Pulau Sebuku, Kotabaru), Teater Banua Idaman (Kota Banjarbaru) dan Teater Bilik Sekawan (SMKN 1 Kotabaru).

Rabu malam (7/11/2018) giliran tampil Sanggar Kariwaya (Kabupaten Balangan), Asam Rimbun (Kabupaten Hulu Sungai Tengah), Forum Apresiasi Seni (FAS) Fakultas Hukum ULM (Kota Banjarmasin), Kartawidana (Kabupaten Hulu Sungai Selatan) dan Sanggar Pusaka (Kabupaten Tabalong).

Lewat tengah malam, saat evaluasi penampilan peserta (bersama juri lainnya, sebelum mengumumkan pemenang), di hadapan peserta saya mengatakan: diminta sebagai juri lomba seni (apa pun, bukan cuma teater) bukan karunia, tapi bencana; bukan anugerah, tapi musibah, sebab harus amanah. Bagaimanapun penampilan peserta (baik, buruk, suka atau tidak suka), atas nama etika, tanggung jawab moral dan budaya, Dewan Juri harus menyaksikannya.

Pertunjukan mamanda di ruang publik tersebut disaksikan masyarakat Bumi Sa-ijaan yang tumpah-ruah memenuhi Siring Laut. Selain sanggar umum, ada juga peserta dari komunitas seni kampus dan komunitas seni siswa SLTA.

Yang jadi soal, peserta FTMKS dari komunitas seni kampus dan komunitas seni siswa SLTA — meski semangat mereka patut dihargai — tak hidup dalam atmosfer budaya yang merupakan “ruh” teater rakyat tersebut. Sajiannya artifisial, tidak natural. Mereka umumnya main mamanda dari menonton mamanda, tata rias wajah aktor-aktrisnya seakan baru keluar dari salon kecantikan: rata-rata handak tampil bungas, tak punya karakter peran, kada watak. Yang lebih fatal, ada peserta yang, mungkin karena kekurangan pemain laki-laki, aparat kerajaannya (yang mestinya laki-laki) dimainkan oleh perempuan.

Memainkan teater tradisi mamanda memang tidak mudah, tapi bukan berarti susah. Sebagai teater tradisi yang istana-sentris, sejumlah pemeran inti — Raja, misalnya — mesti mampu berdialog, berimprovisasi, mengatur dan membagi dialog dengan aparatnya pada Sidang Kerajaan; selain mampu menari dan menyanyikan lagu “mamuja-muja kerajaan” (yang wajib hukumnya dalam mamanda).

Selain kelemahan dalam membangun karakter peran, pengaruh dan wibawa, kelemahan peserta rata-rata pada pemeran Raja. Ada komunitas yang tampil dengan jumlah pemain habis-habisan — lebih banyak daripada pemain komunitas lain — sayang tak mampu membangun karakter peran yang berbeda satu sama lain. Karakter peran pejabat kerajaan, pembantu dan urang jaba (rakyat jelata) sama saja (yang berbeda cuma kostumnya).

Ada juga peserta yang tampil bukan dengan stilisasi mamanda, tapi wayang gung, dua teater tradisi Banjar yang berbeda. Gaya wayang gung tampak dari intonasi, gestur, dialog dalam tempo cepat dan artikulasi vokal yang tagumpal. Strukturnya juga berbeda dengan struktur mamanda yang dikenal selama ini.

Setiap kompetisi memiliki syarat dan ketentuan tersendiri, termasuk durasi. Panitia FTMKS menetapkan durasi tampil maksimal 45 menit. Saat technicall meeting di Kantor Disbudpar Kabupaten Kotabaru (Selasa, 6/11/2018) saya mewanti-wanti peserta tentang pentingnya mengikuti aturan main.

Yang jadi soal, sebagian peserta kelebihan waktu tampil. Berbeda dengan olah raga (yang waktu pertandingannya tak bisa ditawar), kompetisi seni tentu memiliki toleransi. Jika kelebihan waktunya cuma 3-5 menit, cukup wajar, tapi jika lebih dari 10 menit tentu saja tak dapat ditoleransi: takakat hak urang (mengambil waktu peserta giliran berikutnya).

Meski tak ada karya seni pertunjukan yang sempurna, tak semua peserta tampil buruk. Ada peserta yang punya ide cerita menarik, orisinal, tapi lemah dalam penggarapan. Selain cerita tentang perebutan tahta, kekuasaan dan intrik di istana kerajaan, cinta dan nasib malang, ada pula yang mengangkat cerita tentang rusaknya alam lingkungan (Meratus!).

Melalui sidang yang berjalan cukup alot dan dengan berbagai pertimbangan, Dewan Juri (Abdul Rasyid, Abdussukur MH, Y.S. Agus Suseno) menetapkan komunitas Bauntung Batuah (Kabupaten Tanah Bumbu) sebagai Penyaji Terpilih I, Sanggar Kariwaya (Kabupaten Balangan) Penyaji Terpilih II, komunitas Kartawidana (Kabupaten Hulu Sungai Selatan) Penyaji Terpilih III dan Aisha (pemeran “Inang”, Sanggar Pusaka, Kabupaten Tabalong) sebagai Pemain Terpilih.

FTMKS di Kotabaru menyisakan sejumlah pertanyaan. Setelah yang pertama (2014), FTMKS 2018 adalah festival teater mamanda berskala provinsi kedua yang dilaksanakan Pemkab Kotabaru (melalui Disbudpar Kotabaru). Pertanyaannya: mengapa bukan Pemprov Kalsel (melalui Disdikbud Kalsel, UPTD Taman Budaya Kalsel) yang melaksanakannya?

Pemprov Kalsel (Disdikbud Kalsel, UPTD Taman Budaya Kalsel) tidak pernah mengadakan FTMKS; padahal tahun 2016 (bersama wayang kulit Banjar, Tari Baksa Kambang, Sulam Air Guci, Batatamba) Pemerintah RI (melalui Mendikbud RI Muhajir Effendi) telah menetapkan mamanda sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia. Napa habar, Paman Birin…? (jejakrekam)

Penulis adalah Pekerja Seni Budaya

Tinggal di Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.