Di Bawah Langit Beku: Mimpi Lama Penyair Agus Suseno

0

LAMA tak menghelat pentas musikalisasi puisi, YS Agus Suseno pun kembali mengorbitkan karyanya berjudul di Bawah Langit Beku. Dikemas dengan nuansa ‘gelap’ dan penuh renungan, tampilan nan apik memesona para penonton yang menyaksikannya di Gedung Balairungsari, Taman Budaya Provinsi Kalsel, Banjarmasin, Jumat (5/10/2018) malam.

DALAM penampilan, puisi-puisi  coretan Agus sejak tahun 1985 mengajak kita untuk menyelami lebih dalam makna kehidupan. Melupakan sejenak hiruk-pikuk media sosial yang bikin publik senewen.

Berpenampilan serba merah, Isbay Sibawai (Gitar I), Zay (Gitar II), Finni Novita Sari (Vokal), dan Arif Riduan “Ole” (Perkusi) naik ke atas panggung Gedung Balairungsari.

Empat sekawan penggiat Lembaga Kajian dan Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Banjarmasin ini mendapatkan kesempatan emas. Membawakan karya-karya dari penyair Agus Suseno dengan konsep musikalisasi puisi versi mereka sendri.

Total ada sembilan puisi karya Agus berbahasa Indonesia yang disenandungkan oleh mereka. Di antaranya yang paling populer berjudul “Menulis Sajak, Membuka Cakrawala,  Membaca Sejarah”, “Perjalanan Pantai”, “Sajak Cinta”, “Kota-Kota pun Tertidur”, “Pondok Kulit Kayu di Pegunungan Meratus”, serta “Di Bawah Langit Beku”.

Sebagian puisinya mengajak kita untuk merenungi lagi makna kehidupan, sebagian lagi merupakan kritik penyair terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya.

Ambil contoh, puisi berjudul Pondok Kulit Kayu di Pegunungan Meratus. Karya ini berbicara tentang ancaman kerakusan atau nafsu manusia yang mengancam alamnya sendiri.  Atau, puisi berjudul di Bawah Langit Beku yang sebenarnya mempertanyakan tujuan eksistensi manusia dalam kehidupan.

Dinyanyikan dengan nuansa musik ballad, setiap lagu yang dipentaskan oleh Isbay CS jelas mengaduk perasaan penonton. Yang bikin heran, empat musisi LK3 Banjarmasin ini tak memiliki latar belakang pendidikan sastra dan musik sama sekali. Meski begitu, mereka menyajikan secara apik dan rapi.

“Enam bulan persiapan, kami ditempa keras mempelajari makna setiap puisi. Merupakan satu kehormatan memainkan puisi-puisi beliau di atas panggung ini,” kata Isbay kepada penonton saat pementasan.

Pementasan Di Bawah Langit Beku sudah lama dinantikan Agus Suseno. “Menyajikan pertunjukan musikalisasi puisi dan baca puisi tunggal karya saya adalah mimpi lama.

Belum pernah dilakukan oleh penyair di Provinsi Kalimantan Selatan,” cerita penyair kelahiran 23 Agustus 1964 silam ini. Sajian musikalisasi puisi yang digarap secara independen ini tak lepas dari inspirasi Agus melihat keberhasilan pelopor musikalisasi Indonesia, Ari-Reda.

Dijelaskannya, jika Rhoma Irama bersama OM Soneta adalah pelopor musik dangdut di Indonesia, Arie-Reda sejak tahun 1984 merupakan pelopor musikalisasi puisi di Indonesia. Di antara garapan mereka yang melegenda adalah puisi Aku Ingin karya Sapardi Djoko Damono.

Sejak awal latihan April 2018 lalu, Agus memang mewanti-wanti kepada para pemain untuk menjadikan Ari-Reda sebagai acuan. “Sekadar acuan, bukan epigon.  Agar puisi  yang disajikan tetap enak dinikmati tanpa “merusak” puisi,” paparnya.

Apakah hanya sekadar puisi bahasa Indonesia yang ditampilkan? Jawabannya jelas tidak. Lebih beken dengan karya-karya puisi Bahasa Banjar, dalam pementasan ini Agus juga membacakan tiga karya berbahasa daerah. Pertama berjudul Waluh Bajarang, Kur Sumangat, dan Sapuluh Dapa Pada Masigit Noor.

Waluh Bajarang menggambarkan situasi politik Indonesia yang abu-abu. Agus mengambil contoh kasus kebohongan Ratna Sarumpaet yang belakangan waktu tengah viral. “Haaan, napa tia? Waluh jua sakalinya. Urang sa’alaman diwaluhinya. Dasar jua, gawian kada sampuraka,” ujarnya di atas panggung diikuti tawa penonton yang tergelak.

Sementara itu, pada dua puisi berikutnya Agus mengajak penonton mengingat persoalan lokal seperti ancaman ekspolitasi Pegunungan Meratus. Dalam puisi berjudul Sapuluh Dapa Pada Masigit Noor, dia juga mengingatkan penonton agar tak kelewat bernafsu mengejar dunia dan bicara zaman yang sudah semakin gila.

“Puisi Bahasa Banjar juga sangat penting untuk dibacakan. menjaga warisan leluhur banjar, melestarikan bahasa daerah. Makanya, setiap hari saya juga menuliskannya di media sosial facebook. Kebanyakan penyair menerima kutukan Chairil Anwar, menulis puisi berbahasa Indonesia melulu ,” ujar Agus, terkekeh.

Bagi Agus, sajian musikalisasi dan baca puisi tunggal ini  hanyalah pemantik. Agar nantinya lebih banyak lagi pementasan serupa. “Kesembilan karya musikalisasi puisi ini sudah kami rekam. Bukan tidak mungkin kedepan bakal dikasetkan atau bagaimana ke depan,” tandasnya.(jejakrekam)

Penulis Donny Muslim
Editor Didi GS

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.