Menghapus Perkawinan Anak, Mungkinkah?

0

SEPEKAN lalu, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kabupaten Hulu Sungai Utara gelar pelatihan tenaga penyuluh perkawinan usia anak (http://www.hulusungaiutarakab.go.id). Acara ini dilakukan agar penyuluh lapangan lebih siap untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang larangan mengawinkan anak usia dibawah 18 tahun.

GUSTI (Kepala DPPPA) mengatakan, sosialisasi tentang larangan mengawinkan usia anak ini dilakukan melalui tenaga penyuluh keluarga berencana dan penyuluh agama karena mereka merupakan ujung tombak. Adapun yang menjadi latar belakang pelaksanaan pelatihan tersebut adalah karena Kabupaten Hulu Sungai Utara masih menjadi kabupaten terendah atau peringkat ke-10 dalam angka perkawinan usia anak dari 13 kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan.

Menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kabupaten Hulu Sungai Utara, masih banyak warga masyarakat yang belum mengetahui ancaman pidana bagi orang tua yang mengawinkan anak dibawah usia 18 tahun.(kalsel.antaranews.com).

Munculnya pernikahan di kalangan anak-anak sebenarnya bukan karena ketidaktahuan orang tua akan ancaman pidana bagi orang tua yang mengawinkan anak dibawah usia 18 tahun tetapi disebabkan oleh dua hal : Pertama, budaya ‘pemaksaan perkawinan anak’ di masyarakat karena faktor kemiskinan dan rendahnya pendidikan. Anak dianggap beban ekonomi. Akibatnya mereka “dijual” demi melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Misal untuk melunasi utang atau menaikan status sosial.

Budaya ini menjadikan anak-anak sebagai objek. Sebab anak-anak adalah sosok lemah, tak berdaya melawan orang tua. Biang kerok dari budaya ini, tak luput dari jauhnya kesejahteraan masyarakat akibat penerapan ekonomi kapitalistik. Seandainya keluarga-keluarga sejahtera, pasti akan lebih mengutamakan pendidikan anak-anaknya dan tidak buru-buru menikahkan anaknya.

Kedua, gaya hidup bebas yang ditebar ideologi sekuler kapitalisme. Liberalisme seksual menyebabkan rangsangan syahwat ditebar diberbagai sudut dunia. Menjaring syahwat anak-anak sehingga nafsu mencuat lebih dini dari usianya.

Menurut Gusti, “selain mengubah stigma sosial yang mempengaruhinya, tingginya perkawinan usia anak juga pengaruh teknologi informasi dan komunikasi yang semakin canggih memunculkan masalah pornografi dan pergaulan bebas”. Harus kita sadari beratnya menjadi anak-anak yang memasuki usia baligh, yang disebut sebagai anak-anak remaja zaman now dalam sistem kehidupan yang liberalis-hedonis. Mereka harus berhadapan dengan serangan yang masif dari media massa, terutama televisi dan media online. Serangan masif yang harus mereka hadapi selama 24 jam tanpa batas memasuki ruang privasi dan ruang jiwa mereka, tanpa mereka sadari, bahkan melenakan karakter mereka dengan segudang potensi yang mati. Bahkan mereka mempelajari pendidikan seks di usia dini langsung secara vulgar tanpa sensor oleh keluarga bahkan oleh Negara sekalipun.

Media tontonan mereka bukan lagi film kartun di TV dan kaset CD, tapi sudah lebih wah melalui media online youtube yang kadang nyasar kepada film-film bergenre nakal dewasa. Jika pun mereka stay kalem di rumah nonton televisi, bukannya berperan sebagai anak-anak yang harus didampingi oleh orang tua sebagai pembimbing, sepertinya mereka yang berperan sebagai pendamping orang tuanya menemani menonton sinetron-sinetron alay bertema cinta yang menebar aurat. Tidaklah di rumah pun hal yang sama di tempat tetangga, atau lingkungan mereka. Sehingga wajar Anak TK sudah mengenal istilah pacaran, bahkan sudah mentag satu teman kelas atau teman bermainnya sebagai pacar.

Banyak kasus asusila dilakukan oleh anak. Pacaran dengan panggilan mamah papah sudah biasa. Ada saudara kandung yamg menggerayangi adiknya perempuannya sendiri. Padahal masih usia sekolah dasar. Ada sekumpulan anak yang sudah berani melakukan seks secara bergantian. Bahkan belajar mempraktekkan semua keparnoaan justru dengan tetangganya yang masih balita. free sex mengintai pada anak. Televisi dan media online menjadi wadah pergaulan bebas dan ladang inspirasi bagi penontonnya, terutama anak-anak.

Data lama BKKBN saja, pada tahun 2013 20,9 persen remaja Indonesia mengalami kehamilan dan kelahiran sebelum menikah. Jika sudah demikian, adilkah untuk mereka ketika pernikahan dini menjadi sesuatu yang haram untuk di jamah. Padahal negara saat ini malah “memfasilitasi” membiarkan begitu saja konten-konten porno yang jelas akan merusak anak bahkan menjadi pemicu tindakan asusila. Walhasil pemicu banyaknya perkawinan anak sejatinya adalah ideologi liberal/ bebas itu sendiri, bukan yang lain.

Terus bagaimana solusi mengatasi pernikahan dini/ perkawinan anak. Bagaimana dengan pembatasan usia perkawinan? Upaya ini dipastikan sia-sia. Saat ini UU Perkawinan usia perempuan minimal 16 tahun dan laki-laki minimal 19 tahun, baru diizinkan menikah. Praktiknya sering dilanggar. Buktinya di KUA-KUA banyak pasangan dibawah usia tersebut yang minta dispensasi. Kenapa? Ya karena sudah terlanjur lengket dengan pacarnya dan banyaknya sudah terlanjur “isi” duluan. Perut membesar, mau tak mau pihak KUA mengizinkan perkawinan dilangsungkan. Sebab jika tidak, inipun bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kalau sudah begini, apa gunanya pasal-pasal pembatasan usia nikah?

Nah, jika usia 16 bagi perempuan dan 19 bagi laki-laki saja dilanggar, terlebih jika batasan usia tersebut kian dinaikan. Berarti akan semakin banyak permohonan dispensasi pernikahan diluar batas yang dibolehkan UU. Dengan demikian, tujuan mengerem perkawinan dibawah umur jauh panggang dari api. Jadi, pembatasan usia pernikahan bukan solusi, malah memicu problem baru.

Selama gaya hidup bebas masih menjadi pedoman hidup di seluruh dunia, pernikahan anak-anak tidak akan terhapuskan. Mungkin statistik angka perkawinan anak yang tercatat di negara menurun, tetapi “perkawinan” yang tak tercatat di negara alias perzinaan jelas mlesat.

Dalam UU Pernikahan Anak ada ancaman pidana bagi orang tua yang mengawinkan anak dibawah usia 18 tahun. Padahal kalau dalam islam, Hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas umur perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan diasumsikan memberi kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya. Alqur’an mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu. Firman Allah SWT, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur : 32).

Islam memandang seseorang boleh menikah atau tidak hanya dilihat dari usia tapi lebih spesifik membatasi kematangan fisik anak dengan akhil baliqh, yang di tandai dengan mimpi basah untuk anak laki-laki dan menstruasi untuk anak perempuan. Sehingga ketika anak sudah memasuki akhil baliqh, Islam memberikan semua pembebanan/taklif hukum yang harus dipertanggungjawabkannya.

Demikian juga pernikahan akan dibolehkan dan sah dilakukan ketika sudah mencapai baligh dengan tanda yang jelas, sebagai tanda kesempurnaan akal dan kesiapan reproduksi. secara umum baliq dimulai pada usia anak siswa SMP sekitar 12 tahun, namun tidak jarang anak-anak usia SD 9-10 tahun sudah mengalami menstruasi sebagai tanda baligh. Dengan batasan baligh itulah Aisyah ra dinikahkan orang tuanya dengan Rasulullah pada usia dini. Meskipun beliau Rasulullah tidak langsung serumah dengan Aisyah.
Islam mempunyai mekanisme komprehensip menyiapkan anak-anak ini sampai pada fase siap nikah dengan berbagai sistem.

Pertama, peradaban islam niscaya menghempaskan rangsangan-rangsangan syahwat di ranah publik. Sehingga, anak-anak bahkan orang dewasa tidak mudah terpapar syahwat. Mereka bersih dari pemikiran-pemikiran kotor ke arah hubungan seksual. Semua media akan dikontrol oleh negara, tidak akan dibiarkan ada konten yang j pornografi atau yang mengarah kesana beredar dimasyarakat apalagi menjadi tontonan tanpa filter seperti sekarang.

Kedua, penerapan sistem pendidikan Islam, menyibukan anak didik untuk haus ilmu. Anak-anak usia SD-SMP-SMA adalah anak yang sedang giat-giatnya belajar. Waktunya habis untuk belajar, menghafal Alqur’an, membantu orang tua, menggali potensi diri dan boleh jadi berlatih berdikari dengan usaha kreatif. Anak-anak ini berada dalam pendidikan berkualitas. Tidak ada ruang untuk anak bermain-main dengan dorongan syahwat. Sebab mereka ditanamkan aqidah yang kokoh.

Terbentuklah generasi Rabbani yang memikirkan ukhrowi, bukan sekedar kesenangan duniawi. Dari sini potensi pernikahan anak tidak banyak. Kalaupun ada, jalannya ditempuh dengan cara sesuai syariat. Bukan seperti anak-anak sekarang. Bertingkah laku bak orang dewasa padahal mentalnya masih anak-anak. Akibatnya masih anak-anak sudah melahirkan anak.
Ketiga, peradaban Islam juga menjamin kesejahteraan keluarga dengan penerapan sistem ekonomi yang menjamin kebutuhan warga negaranya. Hal ini menutup kemungkinan orang tua untuk “menjual” anaknya melalui jalur “pemaksaan perkawinan”. Sistem islam yang berkeadilan juga akan menaikan tarif hidup berpikir masyarakat. Sehingga, memutus mata rantai perkawinan anak yang dimulai dari rendahnya tingkat pendidikan dan kemiskinan.

Dengan demikian, setiap muslim dijamin haknya untuk menikah kapan pun dia mampu. Syariat telah memberi rambu-rambu yang jelas dalam setiap pelaksanaan hukum-hukumnya. Negara adalah wadah kontrol dan perlindungan yang sangat efektif dalam menjaga anak sebagai penerus generasi dari pengaruh kebebasan kapitalis.

Dengan demikian, satu-satunya harapan untuk menghapuskan perkawinan anak adalah tegaknya peradaban islam, yaitu sistem yang bersandar pada aturan Allah yang harus diambil. Wallahu’alambishawab.(jejakrekam)

Oleh : Fitriani SSos

Penulis adalah staf pengumpulan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) Hulu Sungai Utara

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.