Hari Puisi Indonesia Internasional di Banjarmasin: Untuk Apa (dan Siapa)?

Penulis : YS Agus Suseno

0

SETELAH mengadakan Seminar Internasional Sastra Indonesia (SISI) di salah satu hotel berbintang (2017), dalam rangkaian Hari Jadi ke-492 Kota Banjarmasin, tahun ini Pemkot Banjarmasin melaksanakan Hari Puisi Indonesia Internasional (HPII), 5-7 Oktober 2018, di Siring Menara Pandang dan Rumah Anno, Jalan Piere Tendean). Acara tahun lalu (dan tahun ini) yang menggunakan dana APBD itu bukan hanya mengundang penyair Kalsel, tapi juga penyair luar Kalsel.

SALAHKAH melaksanakan HPII? Bukan soal benar-salah, tapi penting benarkah kegiatan itu dibandingkan mengatasi persoalan tata kelola seni dan budaya di Kota Banjarmasin yang karut-marut?

Sejak Musyawarah Seniman (Musen) III Kota Banjarmasin (Februari 2013), aktivitas Dewan Kesenian Kota Banjarmasin (DKBjm) Periode Kepengurusan 2013-2018 tak kelihatan. Kadada buriniknya.

Melalui UNESCO, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan tanggal 22 Maret sebagai Hari Puisi Sedunia. 22 November 2012 (dibacakan Presiden Penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri), di Pekanbaru, Riau, puluhan penyair Indonesia mendeklarasikan Hari Puisi Indonesia (HPI), yang menyatakan perayaan HPI tiap tanggal 26 Juli (tanggal lahir Chairil Anwar). Untuk menunjang perayaan HPI didirikan Yayasan Puisi Indonesia (penyelenggara Anugerah Hari Puisi: pemilihan buku kumpulan puisi terbaik).

Sejak dideklarasikan, perayaan HPI telah berlangsung di sejumlah provinsi di Indonesia. Pemkab Hulu Sungai Tengah (HST) dan Dewan Kesenian HST bahkan telah melaksanakannya di Gedung Balai Rakyat, Barabai, Jumat (14/9/2018) lalu.

Pemkab HST dan Dewan Kesenian HST melaksanakan HPI se-Kalimantan Selatan dengan cerdas, temanya berkaitan dengan aspirasi masyarakat HST yang menolak tambang batubara di Bumi Murakata: “Malam Puisi Meratus, Menyelamatkan Hutan, Menapaskan Kehidupan”.

Lalu, bagaimana perayaan HPII di Kota Banjarmasin (yang akan diisi acara Parade Baca Puisi, Diskusi Puisi dan Peluncuran Buku Puisi)? Selama ada NKRI, puisi (berbahasa) Indonesia takkan mati, tapi bagaimana dengan puisi (berbahasa daerah) Banjar?

Sastra daerah Banjar luar biasa kaya, Kota Banjarmasin merupakan Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan, ironisnya Pemkot Banjarmasin mengabaikan khazanah sastra daerahnya sendiri. Selain puisi Banjar modern, madihin, baturai pantun, basyair dan bakisah adalah khazanah sastra lisan yang terabaikan.

Sejak awal tahun 2017 pemkab/pemkot di Indonesia diberi kewenangan mengelola pendidikan di tingkat dasar. Salah satu mata pelajaran siswa SD/SMP adalah muatan lokal (mulok), termasuk bahasa daerah Banjar. Di zaman milenial, jangankan siswa, guru-guru pun sebagian minim pengetahuan dan wawasan tentang bahasa dan sastra daerah Banjar.

Lalu, mengapa Pemkot Banjarmasin bersikeras melaksanakan HPII dan mengabaikan pentingnya pelestarian dan pemeliharaan bahasa dan sastra daerah?
Tidak seperti Walikota Banjarmasin HM Effendi Ritonga (yang bukan urang Banjar, tapi setiap tahun, tiap Hari Jadi Kota Banjarmasin, mengadakan Lomba Cipta dan Lomba Baca Puisi Bahasa Banjar), mengapa Pemkot Banjarmasin di masa reformasi tak peduli pada bahasa dan sastra daerah sendiri?

Untuk apa (dan siapa) HPII (bertema kota, sungai, dan alam) di Kota Banjarmasin?(jejakrekam)

Penulis adalah pekerja seni di Kota Banjarmasin

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.