Jadi Bandar, Umur Pasar Terapung Muara Kuin Setua Kesultanan Banjar

Oleh : Mansyur 'Sammy'

0

PASAR Terapung adalah landmark Kota Banjarmasin. Bagi wisatawan lokal maupun mancanegara, terasa belum lengkap apabila tidak ke Pasar Terapung. Ya itulah Pasar Terapung di Muara Kuin, Banjarmasin. Umumnya dikenal dengan nama Pasar Terapung Muara Kuin atau Pasar Terapung Sungai Barito. Dalam tinjauan geografis, Pasar Terapung berkategori Pasar Tradisional. Lokasinya di Sungai Barito di kawasan muara sungai Kuin, Banjarmasin.

UNIKNYA, para pedagang maupun pembeli menggunakan alat transportasi jukung. Jukung adalah sebutan perahu dalam Bahasa Banjar. Pasar ini mulai “menggeliat” usai shalat Subuh sampai pasca pukul tujuh pagi. Eksotisme terasa ketika matahari terbit di ufuk timur. Memantulkan spektrum cahaya diantara transaksi sayur-mayur dan hasil kebun dari kampung-kampung sepanjang aliran sungai Barito dan anak sungainya.

Bagi warga Banjarmasin, tentunya keberadaan Pasar Terapung di Kuin sudah bukan barang baru. Hampir tiap hari akan melewati wilayah ini apabila berkunjung atau sekadar mampir ke wilayah Kuin. Kalau berangkat dini hari, pasti bisa melihat aktivitas Pasar Terapung yang eksotis, bertransaksi di atas perahu.

Muncul hal menggelitik dan menjadi pertanyaan banyak orang, mulai orang lokal Banjar sendiri hingga wisatawan. Bagaimana sejarah Pasar Terapung? Kapan dan bagaimana mulai ada Pasar Terapung? Mana yang lebih tua Pasar Terapung di Kuin atau di Lok Baintan? serta sederet pertanyaan lainnya.

Dari sudut pandang historis atau kesejarahan, pasar terapung (floating markets) Kuin di Banjarmasin sudah ada sejak 480 tahun yang lalu. Diperkirakan pasar terapung atau yang dalam Bahasa Belanda dikenal dengan drijvende markt,sudah ada tepatnya pada tahun 1530 Masehi pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah (Pangeran Samudera).

Pasar Terapung ini terletak pada pertemuan Sungai Karamat dan Sungai Sigaling. Kemudian bergeser ke tepi Sungai Barito di daerah muara Sungai Kuin menjelang akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17 Masehi. Sementara Pasar Terapung di sungai Desa Lok Baintan, Kabupaten Banjar, baru ada belakangan. Ketika perpindahan Keraton Banjar ke kawasan Kayutangi Martapura sejak awal abad ke-17. Tepatnya sekitar tahun 1612 M.

Dalam beberapa literatur dituliskan bahwa Pasar Terapung di Muara Kuin Kota Banjarmasin adalah peninggalan dari aktivitas perdagangan bandar niaga Kesultanan Banjar pertama. Oleh karena itu kawasan Pasar Terapung pada periode awal dituliskan sebagai Bandar niaga Bandar Masih, Muara Kuin, Banjarmasin. Pasar Terapung yang embrionya muncul sejak abad ke-16 adalah tempat para pedagang Banjar zaman dahulu.

Mereka melakukan jual beli dengan pedagang dari Jawa, Melayu, Aceh, Gujarat, Arab dan China serta pedagang lainnya. Dalam perkembangannya hingga empat ratusa delapan puluhan tahun, akhirnya tersisa para pedagang Pasar Terapung Muara Kuin Banjarmasin yang berdagang di saat dini dan pagi hari.

Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh pedagang di Pasar Terapung yang diperkirakan kosakata di masa Kerajaan Banjar pertama Abad ke-16. Para pedagang wanita yang berperahu menjual hasil produksinya sendiri atau tetangganya disebut dukuh. Kemudian pedagang eceran atau tangan kedua yang membeli dari para dukuh untuk dijual kembali, disebut panyambangan. Selain itu, terdapat keistemewaan pasar ini yakni sering terjadi transaksi barter (tukar menukar barang) antar para pedagang berperahu. Dalam Bahasa Banjar biasanya diistilahkan dengan bapanduk.

Menurut Idwar Saleh (1981/1982),  Pasar Terapung Kuin berkembang seiring dengan dibangunnya Istana Kesultanan Banjar di Kuin tahun 1524-1530 an. Istana/keraton di Banjarmasin ini didirikan Sultan Suriansyah. Pada posisinya, Banjarmasih terletak di antara Sungai Barito dengan anak Sungai Sigaling, Sungai Pandai dan Sungai Kuin.

Sungai Kuin dengan anak-anak Sungai Karamat, Jagabaya dan Sungai Pangeran. Sungai-sungai Sigaling, Karamat, Pangeran (Pageran), Jagabaya dan Sungai Pandai ini pada hulunya di darat bertemu, dan membentuk sebuah danau kecil bersimpang lima. Daerah inilah yang menjadi ibukota Kesultanan Banjar pertama.

Bani Noor Muhammad  danNamiatul Aufa dalam artikelnya “Melacak Arsitektur Keraton Banjar”, beranggapan lokasi keraton berada pada Komplek Makam Sultan Suriansyah saat ini.

Senada dengan gambaran Kota Banjarmasin kuno menurut M. Idwar Saleh, adalah kompleks keraton terletak antara Sungai Keramat dengan Sungai Jagabaya. Daerah itu sampai sekarang masih bernama Kampung Keraton.

Sebagai tempat pemerintahan pertama, rumah Patih Masih di daerah perkampungan Suku Melayu. Letaknya di antara Sungai Keramat dan Jagabaya dengan Sungai Kuin sebagai induk daerah ini. Pada mulanya berupa sebuah banjar atau kampung, berubah setelah dijadikan sebuah bandar perdagangan dengan cara mengangkut penduduk Daha dan seluruh rakyat Daha pada tahun 1526.

Istana Sultan Suriansyah berupa Rumah Bubungan Tinggi, tetapi kemungkinan besar masih berbentuk rumah Betang dengan bahan utama dari pohon ilayung. Antara istana dengan sungai terdapat jalan darat. Pada kawasan pinggir sungai, terdapat bangunan di atas air yang dijadikan kamar mandi.

Pada wilayah sebelah sungai Keramat dibuat Paseban, Pagungan dan Situluhur. Kemudian,, terdapat sebutan Siti Hinggil yang digunakan menyebut tempat di Keraton Banjar maupun di wilayah Banten. Mendekati Sungai Barito dengan Muara Cerucuk, terdapat rumah Syahbandar Goja Babouw, seorang Gujarat (India) bergelar Ratna Diraja. Kemudian di seberang Sungai Jagabaya dibangun masjid pertama, yang sekarang dikenal dengan Masjid Sultan Suriansyah.

Nah, pada tempat dekat pertemuan sungai Karamat dengan Sungai Sigaling, terdapat pasar di atas tebing.Disamping pasar lain yang umum saat itu di atas air. Jadi ada dua pasar sebenarnya, yang ada pada masa Sultan Suriansyah, abad ke-16. Pasar di darat dan pasar di atas air. Khusus pasar di atas air, merupakan ciri-khas dari perdagangan orang Banjar saat itu, sebagaimana juga rumah di atas air (lanting). Pasar di atas air inilah yang menjadi cikal bakal Pasar Terapung di Kuin dan berkembang sampai sekarang.

Menyeberangi Sungai Sigaling, searah dengan keraton, terdapat lapangan luas yang berpagar ilayung. Merupakan alun-alun besar tempat mengadakan latihan berkuda dan perang-perangan pasukan Kerajaan Banjar tiap Senin atau Senenan. Kemudian di Sungai Pandai dekat muara terdapat benteng kayu dengan lubang-lubang perangkap.

Sementara itu, di seluruh Sungai Kuin, Sungai Pangeran, rakyat sebagian besar tinggal di rumah-rumah rakit. Sebagian lagi tinggal di rumah betang di darat. Daerah sekitar lima sungai ini digarap menjadi kebun dan sawah. Jumlah penduduk mencapai 15.000 orang setelah orang-orang Daha diangkut ke ibu kota kerajaan yang baru.

Catatan tentang istana Sultan Suriansyah dan Pasar Terapung juga banyak dilansir pada sumber sumber kolonial. Satu diantaranya tulisan A.J. van der Aa, dalam Aardrijkskundig woordenboek der Nederlanden, bagian 2, dicetak di Gorinchem bij J. Noorduyn, 1840. Sumber dari van Der Aa ini menuliskan sungai sungai di Banjarmasin terdapat banyak buaya yang siap memangsa.

Jumlah rumah di wilayah Banjarmasin terutama di Kuin sekitar 2000 buah. Dibuat berlantai tinggi sehingga memungkinkan perahu melewatinya. Rumah Sultan Banjar adalah rumah besar dengan bangsal kadjang (tikar buluh tebal) dan atap tertutup daun niepa/nipah. Penduduk diperkirakan berjumlah 20.000. orang. Sementara masyarakat bertransaksi jual beli di pasar yang berada di atas air. Oleh van der Aa, pasar itu dinamakan drijvende marktplaats atau Pasar Terapung. (jejakrekam)

Penulis adalah Staf Pengajar Prodi Sejarah FKIP ULM

Sekretaris Pusat Kajian Budaya dan Sejarah Banjar Universitas Lambung Mangkurat

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.