The Banjarmasin Secret : Berburu Harta Karun BJ Haga, Gubernur Borneo Tahun 1938-1942 (3)

Oleh : Mansyur 'Sammy'

1

MENURUT Pramudya Handoko, selain BJ Haga dan istrinya, juga ditangkap orang-orang yang dianggap berkomplot melawan pendudukan Jepang adalah A.S. Pereira, L.J. Brandon, G.D.E. Braches, A.S.W. Wardenier, Den Hartog, Y. de Vries, J.W.A. Verpalen dan istrinya, M.C. Tabung, Beukers, L.W.Y Bouwhuis, W. Philipsen, G.J. van der Kooi. Kemudian tuan Walsem, A.H.V.H. van der Linden dan perawat Z.C. Reichert; C.M. Vischer dan istrinya.

ADA pula terdapat nama  S. Soesilo, Hausman Baboe, A. Novel dan Makaliwy, Oe Ley Koey dan Phoa Hok Tjwan. Terdapat enam orang pengawal yang tidak terlihat sewaktu Jepang menjemput Bauke Jan Haga.

Daftar nama ke- 6 orang ini sudah dikantongi Sasuga. Akhirnya, aksiperburuan terhadap 6 orang ini terus dilakukan sampai pelosok pedalaman Kalimantan. Hasil-nya ternyata nihil. Keenam orang tersebut hilang bagaikan ditelan bumi. Perburuan pun dihentikan ketika Jepang menyerah pada Pasukan sekutu. Harta yang disembunyikan Bauke Jan Haga akhirnya menjadi misteri.

Pada sumber lain terdapat penjelasan bahwa selama pendudukan Jepang yang diduga pemimpin Borneo melakukan konspirasi (disebut Haga Konspirasi) terhadap Jepang. Tanggal 8 Maret 1942, setelah mendengar kapitulasi Hindia Belanda yang menyerah tanpa syarat kepada Jepang, mereka mengirim utusan ke Banjarmasin untuk menyerahkan diri. Utusan dikepalai Kapten van Epen yang menggunakan Kapal Ellen dengan memasang bendera putih.

Tanggal 17 Maret 1942, orang Jepang membawa Kapten van Epen ke Puruk Cahu untuk melucuti dan penyerahan diri yang terjadi dua kali. Pertama penyerahan diri pihak militer, yang berikutnya penyerahan diri pihak pemerintah sipil Hindia Belanda. Selanjutnya mereka dimasukan dalam barak Benteng Tatas.

Dalam tawanan tersebut dr. Haga sempat membuat rencana-rencana pemulihan kembali kekuasaan Belanda di Kalimantan Selatan, jika perang telah berakhir. Dalam bulan Mei 1943, Jepang menangkapi sejumlah orang (termasuk anggota Organisasi Penyokong Tawanan), yang dianggap tersangkut rencana tersebut. Tercatat lebih dari 200 orang tangkapan ini mati dibunuh. Hampir semua pegawai Pemerintah Hindia Belanda dalam kasus tersebut dijatuhi hukuman mati.

Setelah penangkapan, BJ Haga diletakkan dengan tahanan lain dan selama acara persidangan meninggal (selama proses pemeriksaan) karena stroke. Selanjutnya, istrinya Neeltje Gretel van Witzenburg, juga dimasukkan ke dalam penjara selama pendudukan Jepang dieksekusi pada 20 Desember 1943.

Pemerintah pendudukan Jepang menduga persekongkolan Haga telah menyebar ke wilayah Kalimantan lainnya, sehingga memicu terjadinya Peristiwa Mandor Pontianak Affair.

Mantan gubernur Haga tertangkap dan meninggal sebelum digantung di Banjarmasin.  Karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Haga, Gubernur Kalimantan, dan istrinya adalah korban dari perebutan kekuasaan dalam pasukan pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Bahkan, Haga yang meninggal karena kelelahan mental dan fisik tersebut dianggap sebagai martir terbesar pada perebutan kekuasaan Jepang dan Belanda dalam Perang Dunia II.

De Graaf menuliskan, hal ini adalah sebuah kejahatan perang yang sangat serius sehubungan aksi militer Jepang ke Banjarmasin, yang menyebabkan tragedi, yang dikenal sebagai “Proses Haga” yang mengakibatkan tewasnya dr. B.J. Haga, Gubernur Borneo bagian Selatan dan Timur tersebut.

Ketika Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942, mengakhiri pemerintah Belanda seperti yang diselesaikan oleh Bauke Jan Haga dan rekan-rekannya. Rezim baru tidak peduli tentang hubungan lama dan kebanyakan pejabat di pinggirkan begitu saja.Banyak terjadi penangkapan. Pria dan wanita dipisahkan karena kesewenang-wenangan yang memerin-tah.

Akan tetapi,  Haga tetap mempertahankan martabatnya. Dia memberikan kuliah tentang pemerintah Hindia Belanda setelah perang. Dia ingin Jepang untuk berbicara dengan hanya mengenakan seragam resminya.

Kepolisian menduduki dipimpin oleh Iwao Sasuga yang fanatik, orang yang ambisius yang ingin tampil berbeda dari rekan-rekan militernya. Sasuga mendengar beberapa Belanda dan sampai pada kesimpulan bahwa ada konspirasi yang terjadi untuk melawan Jepang. Siapa lagi yang bisa menjadi pemimpin dari gubernur keras kepala Haga?

Pada 1943, pemerintah Jepang mengungkap dugaan konspirasi Haga ini. Tahanan disiksa atau meninggal dunia karena kelalaian dan kekurangan gizi. Banyak yang dibunuh. Memang dilakukan acara persidangan tetapi semua yang diduga pelaku utama, semuanya dihukum mati. Bauke Jan Haga meninggal pada 14 Desember 1943, selama proses interogasi karena stroke.

Enam hari kemudian, istrinya dieksekusi. Pemerintahan Jepang di Banjarmasin menelan korban ratusan nyawa. Mungkin mereka berada di korban mayoritas dari perebutan kekuasaan antara pemerintah Jepang. Setelah perang berakhir tahun 1945, Sasuga diadili dan dianggap sebagai penyebab utama pembantaian ini dan ia pun mendapat hukuman mati.

Walaupun tidak diketahui secara pasti dimana dimakamkan oleh pihak Jepang, secara simbolis, BJ Haga tercatat dimakamkan di Pemakaman di Ereveld Ancol, Jakarta. Pada buku Ge-denkboek de Nederlandse oorlogsgraven stichting (Buku Kena-ngan Yayasan Belanda untuk Permakaman Perang, 2007), tertulis bahwa Bauke Jan Haga 1890-1943 (BJ Haga), korban perang, usia 53 tahun, lahir di Groningen pada 9 November 1890.

Almarhum menjabat sebagai Gubernur Borneo dan Residen Borneo bagian selatan dan timur yang beribukota di Banjarmasin hingga 14 Desember tahun 1943. Haga mendapatkan penghargaan Perlawanan Bintang Asia Timur dan kemudian dimakamkan di Nederlands Ereveld Ancol di Jakarta.

Graves Ancol terletak di pantai dekat Jakarta (Tanjung Priok). Tepatnya di wilayah kelurahan Ancol, Pademangan, Jakarta Utara. Pemakaman ini adalah bekas tempat eksekusi pada masa pendudukan tentara Jepang.

Pasukan pendudukan Jepang mengeksekusi ratusan pria dan wanita yang terlibat dalam perlawanan terhadap Jepang. Para korban dimakamkan di pemakaman ini awalnya banyak tanpa nama dan identitas dan sering tidak dapat diidentifikasi lagi. Kemudian pada pemakaman ini juga dimakamkan korban yang dieksekusi di tempat lain, kemudian dimakamkan kembali di pemakaman Ancol.(jejakrekam/bersambung)

Penulis adalah Staf Pengajar Prodi Sejarah FKIP ULM

Sekretaris Pusat Kajian Budaya dan Sejarah Banjar Universitas Lambung Mangkurat

Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (LKS2B) Kalimantan

 

 

 

1 Komentar
  1. Max Mario Lala berkata

    Walaupun Belanda adalah mantan penjajah kita yang sudah selayaknya diusir dari tanah air kita, tapi saya pribadi sebagai sesama manusia merasa kasihan juga dengan nasib akhir mereka yang meninggal menjadi korban kekejian, kekejaman, dan kejahatan pihak Jepang. Yang terbanyak menjadi korban adalah para pendahulu saya, saudara sebangsa saya Indonesia dari segala suku termasuk suku Banjar. Untuk itu semua, wajar kalau saya merasa memiliki perasaan antipati terhadap Jepang. Walaupun memang saya memaafkan kejahatan mereka, tetapi saya tidak akan pernah melupakan kejahatan mereka kepada para pendahulu saya Bangsa Indonesia.

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.