Panggung Bakhtiar Sanderta Meriah, Petikan Panting Kolosal Membelah Keheningan Taman Budaya

0

DARI petikan senar melahirkan nada-nada yang menghibur dan penuh semangat. Itulah panting, alat musik tradisional khas etnis Banjar yang awalnya berkembang pertama kali di Kabupaten Tapin. Seperti gambus, alat musik petik khas Timur Tengah, sang maestro panting A Sarbaini pun akhirnya memperkenalkan nama panting.

LAIKNYA sebuah band atau orkes,  panting hanya satu dari instrumen musik yang dipadupadankan. Ada alat musik lainnya yang saling melengkapi permainan musik panting, seperti babun (alat musik pukul), gong, biola, suling bambu, ketipak dan tamburin atau guguncai dalam sebutan masyarakat Banjar.

Namun ada yang berbeda dalam pagelaran panting kolosal bertajuk The Warrior of Panting, Satu Panting Sejuta Rasa yang digeber di Panggung Bachtiar Sanderta, Taman Budaya Kalimantan Selatan di Banjarmasin, Jumat (29/6/2018) malam.  Semua pemain alat musik petik khas Banjar, hanya memetik panting.

Satu pesan yang ingin diusung dalam pagelaran kolosal, dan mendapat sambutan hangat penonton adalah agar generasi muda Kalsel melestarikan dan mengembangkan seni dan budaya Kalsel, terutama musik panting yang diusulkan dalam warisan tak benda.

Tantangan itu dijawab para anak muda agar mencintai khazanah budaya khas Banjar. Zaki, sang composer perhelatan musik panting kolosal di Taman Budaya Kalsel di Jalan Brigjen Hasan Basry Banjarmasin, mengakui para pemain berasal dari komunitas yang terbentuk lewat even semacam itu.

“Memang di Banjarmasin tak memiliki wadah untuk menyatukan para pemantingan (pemain musik panting), terutama generasi muda.  Seluruh musisi yang terlibat dalam pagelaran kolosal ini sebanyak 75 orang. Semua berasal dari kalangan pelajar yang ada di Banjarmasin,” ucap Zaki kepada wartawan, Jumat (29/6/2018) malam.

Ia mengakui dengan waktu yang cukup padat dan mepet, sehingga tak bisa melibatkan seluruh seniman panting yang lebih luas di Kalsel. Sementara, hanya para pemantingan asal Banjarmasin. “Apalagi, ditambah proses latihan yang memerlukan waktu dan harus intens,” kata Zaki.

Bagi Zaki, secara eksistensi, justru musik panting  dilestarikan grup atau komunitas sekaligus menjadi wadah pengembangan dan aktualisasi diri para peminatnya. “Dengan even semacam ni, kami mengingatkan bahwa alat musik tradisional tidak kalah dengan alat musik lain, khususnya modern,” tutur Zaki.

Terpenting, menurut dia, ada mengubah mindset dan berpikir bahwa musik panting harus sejajar dan bahkan lebih hebat lagi. “Ayo, terus kita perkenalkan musik panting ini agar menasional, bahkan menembus dunia internasional,” ucapnya.

Dari atas panggung, atraksi musik panting menampilkan aransemen dan instrumen lagu-lagu khas Banjar, diiringi dengan tarian. Ada pemantingan yang berduduk, berdiri, hingga melakoni atraksi layaknya para gitaris kelak dunia.

Mereka semua tergabung dalam Komunitas Pemantingan Banua (KPB) dengan pengarah lakon Anggi Pradana Irfansyah, ditambah paduan suara dari The Choir. Jadilah, pertunjukan musik panting yang dikemas modern itu sangat menghibur. Meraih di atas panggung Bakhtiar Sanderta, dan membelah keheningan malam di Taman Budaya Kalsel.(jejakrekam)

Penulis Arpawi
Editor Fahriza

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.