Kesultanan Nusantara Bentuk Pan-Islamisme, Bendung Misi Perang Salib Eropa

0

PERANG Salib atau dikenal dalam goresan sejarah dunia sebagai Expeditio Sacra atau Jelajah Suci dimulai sejak 1096-1099, terus berlanjut di abad ke-12, abad ke-13, dan hingga abat ke-14 di kawasan Eropa hingga terpusat di Timur Tengah, masih menyisakan dendam. Dendam persinggungan dua agama besar, Kristen dan Islam ini juga terasa di gugusan Nusantara.

BLOKADE jazirah Islam yang membentang dari Eropa Tenggara, Asia Barat, Afrika Utara hingga ke Tanduk Afrika yang dikuasai Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman) di Turki, membuat para pedagang, penjelajah sekaligus penjajah Eropa berusaha mencari benua baru.

Salah satu bandara yang terbesar dan jadi incaran para pedagang Eropa adalah Malaka, di wilayah barat Sumatera pada abad ke-15. Mengutip berita dari Tiongkok dan L Barthema dikabarkan jika Malaka menjelma menjadi pelabuhan besar yang mempertemukan para pedagang lintas dunia dengan komoditi rempah-rempah dan emas, dari Tingkok, India, Jawa, Arab dan sebagainya.

Dalam buku yang ditulis Begawan Sejarah Banjar, Profesor M Idwar Saleh berjudul Bandjarmasin mengungkapkan bahwa para pedagang Gujarat dan Persia yang menyebarkan Islam di Malaka. Dari ujung Sumatera inilah, agama yang dibawa Nabi Besar Muhammad SAW itu  merasuki sendi-sendi kehidupan rakyat di nusantara, lewat perdagangan terutama di wilayah bandar dan keraton.

Namun, Idwar mencatat jika misi perdagangan sekaligus penjelajahan dari Portugis itu ternyata membawa monopoli perdagangan sekaligus misi Katolik. “Portugis memang ingin melanjutkan ide Perang Salib di Asia Tenggara,” tulis profesor sejarah asal Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin ini.

Tak mengherankan, jika Portugis yang kemudian menguasai Malaka pada 1511, ingin menjalin koalisi dengan kerajaan-kerajaan besar bercorak Hindu dan Budha untuk membendung pengaruh Islam di nusantara.

Portugis mengajak Kerajaan Siam (Thailand), Kerajaan Pajajaran, Majapahit dan Panarukan di Pulau Jawa bersatu memblokade perdagangan Islam. “Walau Malaka jatuh ke tangan Portugis, ternyata  Samudera Pasai di Aceh, Demak di Jawa, Ternate di Maluku justru menggantikan pengaruh Kerajaan Malaka,” beber Idwar Saleh dalam bukunya.

Apalagi, paham Pan-Islamisme ini berkembang setelah Walisongo di Pulau Jawa melakukan perlawanan sengit terhadap hegemoni Portugis yang mengincar wilayah-wilayah Hindu. Bahkan, secara khusus, Sunan Kudus terus mendorong penguasa Demak untuk menguasai Kerajaan Majapahit yang sangat kuat pengaruhnya di Pulau Jawa, dan bagian lainnya di gugusan Nusantara.

Terbukti, pada 1521, kejayaan Kerajaan Majapahit berakhir setelah ditaklukkan Kesultanan Demak. Kemudian, para pedagang Islam di Banten dengan bantuan Demak (Jepara) pada 1527, berhasil merobohkan kekuasaan Kerajaan Pajajaran, serta mengontrol perdagangan di Selat Sunda.

“Banten berhasil menguasai sumber lada Lampung, serta berhasil mengislamkan penduduknya,” ujar Idwar Saleh.

Proyek Islamisasi terus bergerak maju, setelah Kesultanan Demak muncul sebagai simbol kekuataan baru di Nusantara. Rute perdagangan yang selama dijalani Portugis dan ingin menguasai sisa-sisa Kerajaan Hindu di Jawa dilawan.

Kemudian, Kesultanan Demak segera menggelar ekspedisi militer. Tercatat secara gradual, pada 1512, 1513, 1550, hingga 1574, Demak menggempur Malaka yang dikuasai Portugis. Kemudian, mengamankan jalur perdagangan Selat Sunda, bagi lalu lintas para pedagang muslim dari Banten ke Aceh.  Sebelum Kesultanan Banten didirikan pada 1527,  hingga 1526, kapal-kapal Portugis masih menggunakan rute Malaka-Jawa Timur-Bali-Bima ke Banda, atau Malaka-Kalimantan Selatan (Banjar)-Sulawesi Selatan ke Maluku.

“Baru, pada 1527, Portugis tak berani lagi melintasi Laut Jawa setelah Kesultanan Banjar berdiri atas bantuan Kerajaan Demak,” tulis Idwar Saleh dalam bukunya tersebut.

Menurut Idwar, Islam menyebar di Pulau Borneo, merupakan buah dari tiga kekuataan poros Islam di nusantara, yakni Kesultanan Brunei diislamkan Malaka, kemudian Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat) oleh Kerajaan Palembang, dan Banjarmasin dibimbing Kesultanan Demak.

Lalu mengapa Pangeran Samudera yang kelak dinobatkan jadi Sultan Suriansyah selaku pendiri Kesultanan Banjar itu meminta bantuan Kesultanan Demak untuk mengalahkan sisa-sisa simbol kekuasaan Kerajaan Majapahit di Kalimantan Selatan yang dimanifestasikan dengan Kerajaan Negara Daha yang dikomando pamannya, Pangeran Temenggung? Rektor UIN Antasari Banjarmasin, Prof DR Mujiburrahman pun mengakui jika misi perdagangan Eropa terutama Portugis dan Belanda itu masih membawa misi sisa-sisa dendam Perang Salib.

“Tak bisa dipungkiri, jika Portugis itu kental dengan misi Katoliknya. Sedangkan, Belanda dengan misi Protestannya,” ujar Mujiburrahman, beberapa waktu lalu. Menurut dia, pada abad ke-16 dan ke-17, justru Islam menjadi kekuatan pemersatu di Nusantara dalam menghadapi aksi penjajahan orang-orang Eropa, baik Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris yang dicap sebagai orang-orang kafir.

“Belanda datang dan menjajah Indonesia itu tidak mengajarkan bahasanya. Bahasa Belanda itu hanya dikuasai kaum priyayi atau aristokrat. Makanya, muncul bahasa Melayu yang selama ini jadi bahasa perdagangan (lingua franca) menjelma menjadi bahasa Islam. Makanya, banyak kitab-kitab Islam yang ditulis ulama berbahasa Melayu, walau beraksara Arab,” tutur Mujiburrahman.

Doktor lulusan Ultrech University, Belanda ini turut membenarkan jika poros Samudera Pasai sebagai penyebar Islam di Nusantara, termasuk di Banjarmasin, jauh lebih kuat. “Ya, karena kedekatan kultur dan emosional itu, mengapa Banjar itu lebih dekat dengan Sumatera. Hal ini dikarenakan ikatan kebudayaan Melayu tersebut,” ujar Mujiburrahman.

Lantas mengapa Islam itu justru datang dari Demak (Jawa)? Menurut Mujiburrahman, saat Pangeran Samudera atas dorongan Patih Masih dan kawan-kawan untuk meminta bantuan Demak melawan Kerajaan Negara Daha, karena pertimbangan logis. “Letak geografis Pulau Jawa lebih dekat dengan Kalimantan, dibandingkan harus meminta bantuan Samudera Pasai di Pulau Sumatera. Ini jelas, sebuah pilihan sangat logis waktu itu untuk menghadapi kekuasaan Negara Daha yang merupakan simbol Kerajaan Hindu,” kata Mujiburrahman.

Sebagai bukti kuatnya hubungan Banjar dengan Samudera Pasai, Mujiburrahman menyebutnya mitos Kitab Barencong yang sebetulnya bukanlah sebuah kitab yang dipotong serong oleh dua ulama terkemuka Kalimantan. “Justru, Kitab Barencong seperti hasil riset yang ada menyebutkan berasal dari Tanah Rencong (Aceh). Ini hipotesis yang paling mendekati kebenaran,” ucapnya.

Jebolan Ponpes Al-Falah Banjarbaru ini juga menunjukkan Kitab Sabilal Muhtadien yang dikarang Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary, ternyata turut dipengaruhi beberapa kosa kata dari Aceh. “Ini membuktikan, jika Islam yang ada di Tanah Banjar itu memang sangat kental pengaruhnya dari Sumatera, khususnya Samudera Pasai,” imbuhnya.(jejakrekam)

Pencarian populer:https://jejakrekam com/2018/06/06/kesultanan-nusantara-bentuk-pan-islamisme-bendung-misi-perang-salib-eropa/
Penulis Didi GS
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.