Imbauan AJI Jakarta Terkait Berita Terorisme

0

AKSI teror bom yang terjadi belakangan ini merupakan kabar duka bagi seluruh rakyat Indonesia. Kami Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta berpandangan, aksi terorisme adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang termasuk perbuatan melanggar hak asasi manusia (HAM).

DALAM menyikapi aksi teror ini, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengeluarkan Resolusi 1456 yang menyebutkan, penumpasan terorisme wajib memenuhi aturan hukum, HAM, hukum pengungsi internasional, dan hukum humaniter.

Adapun posisi jurnalis yang memberitakan aksi terorisme semata-mata untuk kepentingan publik. Untuk itu, dalam melakukan peliputan, jurnalis harus berpegang pada kode etik jurnalistik (KEJ) yang mengatur independensi, akurasi berita, keberimbangan, itikad baik, informasi teruji, membedakan fakta dan opini, asas praduga tak bersalah, perlindungan terhadap narasumber dan orang-orang yang berisiko.

Untuk itu, kami mengingatkan kepada seluruh media dan jurnalis untuk memperhatikan kembali Pedoman Liputan Terorisme yang dikeluarkan Dewan Pers:

  1. Jurnalis selalu menempatkan keselamatan sebagai prioritas di atas kepentingan berita, karena tak ada berita seharga nyawa.
  2. Jurnalis harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan jurnalistik. Jika ada yang mengetahui rencana terorisme, dia wajib melaporkan ke aparat dan tidak boleh menyembunyikannya dengan alasan liputan eksklusif. (Pedoman Liputan Terorisme Dewan Pers).
  3. Jurnalis harus menghindari pemberitaan yang berpotensi mempromosikan dan memberikan legitimasi maupun glorifikasi terhadap tindakan terorisme maupun pelaku terorisme.
  4. Jurnalis dan media penyiaran dalam membuat siaran langsung (live) tidak melaporkan secara terinci/detail peristiwa pengepungan dan upaya aparat dalam melumpuhkan tersangka terorisme.
  5. Jurnalis dalam menulis atau menyiarkan berita terorisme harus berhati-hati agar tidak memberikan atribusi, gambaran, atau stigma yang tidak relevan, misalnya menyebut agama yang dianut atau kelompok etnis si pelaku. Kejahatan terorime adalah kejahatan individu atau kelompok yang tidak terkait dengan agama ataupun etnis.
  6. Jurnalis harus selalu menyebutkan kata ”terduga” terhadap orang yang ditangkap oleh aparat keamanan karena tidak semua orang yang ditangkap aparat otomatis pelaku tindak terorisme.
  7. Jurnalis wajib menghindari mengungkap rincian modus operansi tindak pidana terorisme seperti cara merakit bom, komposisi bahan bom, atau teknik memilih sasaran dan lokasi yang dapat memberi inspirasi dan memberi pengetahuan bagi para pelaku baru tindak terorisme.
  8. Jurnalis tidak menyiarkan foto atau adegan korban terorisme yang berpotensi menimbulkan kengerian dan pengalaman traumatik. Pemuatan foto atau adegan hanya diperbolehkan bila bertujuan untuk menyampaikan pesan kemanusiaan bahwa terorisme selalu menyasar sasaran umum dan menelan korban jiwa.
  9. Jurnalis wajib menghindari peliputan keluarga terduga teroris untuk mencegah diskriminasi dan pengucilan oleh masyarakat, kecuali untuk menghentikan tindakan diskriminasi.
  10. Jurnalis wajib memperhatikan kredibilitas pengamat atau narasumber agar bisa memperjelas dan memberikan gambaran yang utuh terhadap fakta yang diberitakan.
  11. Jika jurnalis menerima undangan aksi terorisme, jurnalis tak perlu memenuhinya. Sebaliknya, jurnalis wajib menyampaikan rencana itu kepada aparat hukum.
  12. Jurnalis wajib selalu cek dan mengecek ulang terhadap semua informasi tentang rencana maupun tindakan dan aksi terorisme ataupun penanganan aparat hukum terhadap jaringan terorisme untuk mengetahui apakah itu fakta atau misinformasi/disinformasi.(jejakrekam)

Demikian,

Jakarta 14 Mei 2018

Asnil Bambani (Ketua AJI Jakarta)

Erick Tandjung (Ketua Divisi Advokasi AJI Jakarta)

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.