Nikahi Gadis Barambai, TKA Tiongkok Jadi Mualaf Diawasi Kantor Imigrasi Banjarmasin

0

KEPINCUT dengan seorang gadis bernama Rahmawati (28 tahun), seorang tenaga kerja asing (TKA) asal Tiongkok yang bekerja di PT Palmina Utama, Kabupaten Banjar  bernama Zhang Yong rela memeluk Islam. Dia pun mengganti namanya menjadi Muhammad Farza Ilham dan menyunting gadis pujaan asal Desa Pendalaman, Kecamatan Barambai, Kabupaten Barito Kuala.

ZHANG Yong sendiri hanya mengantongi izin tinggal terbatas (ITAS) yang dikeluarkan Kantor Imigrasi (Kanim) Banjarmasin, sejak 20 Juli 2017 dan berakhir pada 20 Juli 2018. Zhang Yong pun menjadi mualaf, dan kemudian menikah dengan Rahmawati di KUA Kecamatan Barambai pada Jumat (4/5/2018). Rencananya, acara syukuran perkawinan dihelat pada Minggu (6/5/2018) ini di Barambai.

“Memang urusan pernikahan menjadi kewenangan Kantor Urusan Agama (KUA) dan Pemkab Batola. Namun, yang harus diperhatikan adalah masa izin tinggal yang bersangkutan akan berubah pasca pernikahan dengan gadis setempat. Kami berharap agar Zhang Yang segera melaporkan diri status sipilnya ke Kantor Imigrasi Banjarmasin,” ucap Kepala Kantor Imigrasi Banjarmasin, Syahrifullah kepada jejakrekam.com, Sabtu (5/5/2018).

Ia mengingatkan acuan hukum adalah Pasal 71 huruf (a) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dengan ancaman hukuman yang diatur dalam Pasal 116 yang berbunyi setiap orang asing yang tidak melakukan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dipidana maksimal tiga bulan atau pidana sebesar-besarnya Rp 25 juta.

“Pelaksanaan ancaman hukuman pidana bisa diputuskan peradilan. Apabila terjadi denda sebanyak itu otomatis menjadi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) instansi kejaksaan sebagai wakil negara untuk melakukan Penuntutan dan sebagai pelaksana putusan pengadilan (eksekutor). Dalam hal ini, kejaksaan nantinya yang akan menyerahkan terpidana ke lembaga pemasyarakatan (lapas) setempat,” papar Syahrifullah.

Senada itu, Kepala Divisi Keimigrasian Kanwil Kemenkumham Kalsel, Dodi Karnida mengakui perkawinan antara WNA dengan WNI bukan perkara baru. Apalagi, diakui Dodi, jumlah orang asing yang tinggal di Indonesia sangat banyak, baik sebagai tenaga kerja pada proyek, guru, mahasiswa, tenaga ahli keuangan dan teknik dan sebagainya. “Terpenting, kami ingatkan agar memperhatikan persyaratan administrasi yang ditentukan negara. Dalam hal ini, kalau pernikahan tanpa surat-surat, suatu saat pasti ada masalah,” ucap Dodi.

Ia menerangkan bagi pasangan suami istri tanpa dilengkapi dokumen pernikahan, jangankan perkawian campuran, sesama WNI pun pasti ada masalah, terkait status atau identitas sang anak nantinya, kepemilikan harta kekayaan dan status sipil dari masing-masing pihak.

“Bayangkan, kalau tidak ada surat nikah. Ketika anaknya lahir, maka akan mengalami kesulitan dalam mengurus surat lahir anak karena asal usul orangtuanya serta ikatan pernikahannya tidak didukung oleh dokumen yang resmi. Akibatnya, anak tidak memiliki surat lahir, sulit untuk mendapat akses terhadap fasilitas kesehatan, pendidikan dan pasti setelah dewasa akan sulit untuk mendapatkan KTP, terlebih lagi paspor,” urai Dodi.

Untuk itu, Dodi kembali mengingatkan secara administrasi persyaratan untuk melakukan pernikahan campuran dipenuhi dan pernikahannya dilaporkan ke pihak imigrasi serta didaftarkan ke Bagian Konsuler Kedutaan Besar Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atau China di Jakarta.

“Maka, anak yang lahir nanti akan berstatus sebagai berkewarganegaraan ganda terbatas. Ganda artinya ia memiliki kewarganegaraan RI dan RRT. Sedangkan terbatas artinya dibatasi hanya sampai usia 18 tahun sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan,” papar Dodi.

Masih menurut dia, selama anak masih berumur 18 tahun atau kurang, maka ia boleh mendapatkan fasilitas untuk memiliki dua paspor yaitu paspor RI dan RRT. Namun, kata Dodi, setelah waktu itu terlampaui, maka ia wajib menentukan pilihannya memilih salah satu kewarganegaraan.

“Sebab, UU Kewarganegaraan Indonesia tidak menganut prinsip dwi kewarganegaraan (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride),” tegasnya.

Nah, menurut Dodi, jika akhirnya memilih menjadi warga negara RRT, maka ia akan memegang paspor RRT dan harus memohon kepada imigrasi untuk mendapatkan ITAS yang berlaku selama satu tahun, kemudian dapat diperpanjang setiap tahun, dengan sponsor ibunya yang berstatus WNI.

“Terhadap pernikahan campuran ini juga, kita mesti mewaspadainya siapa tahu ikatan pernikahan itu hanya modus saja. Dalam hal ini, pengawasannya dapat dilakukan oleh imigrasi sendiri atau oleh Tim Pengawasan Orang Asing (Timpora) yang telah dibentuk baik di tingkat wilayah maupun tingkat kabupaten/kota,” ungkap Dodi.

Tetapi, masih kata dia, tentu saja dalam pengawasannya nanti harus dilakukan secara hati-hati karena ikatan pernikahan itu merupakan ranah yang sangat private/pribadi.

“Jika WNA itu misalnya memberikan keterangangan palsu dalam memenuhi dokumen persyaratan pernikahan, akan diserahkan kepada kepolisian dan KUA untuk pembatalan ikatan pernikahannya. Sebaliknya, jika WNA itu misalnya memiliki misi khusus guna kelancaran penyelundupan barang’maka Timpora akan menyerahkan penyelidikan dan penyidikannya kepada instansi Bea Cukai. Jika melanggar perda, diserahkan kepada PPNS Satpol PP,”

“Kemudian, jika melakukan tindak pidana umum maka diserahkan kepada kepolisian. Sedangkan jika akan dideportasi maka instansi imigrasi yang berwenang untuk melaksanakannya,” papar Dodi.(jejakrekam)

Penulis Asyikin
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.