TKA Datang, Tenaga Kerja Lokal Tersingkir

Oleh : Winingtyas Wardani

0

DALAM sepekan ini permasalahan tenaga kerja asing (TKA) ramai diperbincangkan. Adanya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Tenaga Kerja Asing menimbulkan berbagaireaksi. Dengan adanya Perpres Joko Widodo ini, Perpres Nomor 72 Tahun 2014 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang dibuat pada era Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono tidak berlaku lagi.

PEMERINTAH menyatakan bahwa tujuan utama dari perpres ini adalah untuk lebih membuka peluang investasi dari pihak luar dengan mempermudah perizinan TKA. Bahkan, Menaker Hanif Khadiri menyatakan bahwa walaupun TKA dipermudah namun tetap harus memenuhi syarat-syarat. Tenaga kerja asing kasar tetap tidak diizinkan masuk.

Sementara itu, Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Rofi Munawar seperti yang dilansir dalam Republika (30/4/2018) menyatakan bahwa kemudahan yang diberikan pemerintah terhadap TKA tidak diimbangi dengan pengawasan dan tindakan tegas atas pelanggaran keimigrasian. Jika pelanggaran TKA ini terus dilakukan bersamaan dengan masuknya investasi asing maka sesungguhnya pemerintah tidak memiliki keberpihakan dan itikad yang baik untuk tenaga kerja Indonesia.

Bagong Suyanto, Guru Besar Departemen Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, dalam Republika (30/4/2018) juga menyatakan kelonggaran ini berisiko mengancam eksistensi dan peluang tenaga kerja lokal.Karena dalam kenyataannya di sejumlah daerah, diketahui tidak sedikit TKA yang merebut kesempatan kerja yang sebetulnya tergolong pekerjaan kasaran. Ini berarti menyisihkan peluang tenaga kerja lokal yang membutuhkannya. Di sejumlah industri, tidak sekali dua kali ditemukan keberadaan TKA yang menjadi buruh kasar, tidur di barak-barak yang disediakan pabrik atau tinggal di sekitar lokasi pabrik.

Masih menurutBagong, diperlonggarkannya TKA ini dikhawatirkan akan menimbulkan beberapa risiko. Salah satunya timbulnya proses marginalisasi pencari kerja domestic karena mempersempit peluang tenaga kerja lokal untuk dapat terserap di berbagai kesempatan kerja yang tersedia.

Ekonom Institute Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara seperti yang dimuat dalam RMol. co (18/2/2018), melihat jika pemerintah terlalu liberal dalam memutuskan kebijakan bagi TKA. Angka penyerapan tenaga kerja lokal semakin kecil. Menurutdia, realisasi investasi yang tumbuh 13,1 persen pada 2017 hanya mampu menyerap 216 ribu tenaga kerja. Di sampingitu, 60 persen rasio angkatan kerja lokal didominasi pekerja dengan tingkat pendidikan SMP.

Persoalan tenaga kerja di negara berkembang seperti di negara kita selalu menjadi permasalahan tersendiri. Besarnya jumlah penduduk pencari kerja belum sebanding dengan penambahan jumlah lapangan kerja baru. Alhasil, masih banyak pengangguran yang terjadi. Menurut data dari BPS seperti yang dimuat dalam Tribunnews (6/11/2017), jumlah pengangguran sampai dengan Agustus 2017 sebanyak 7,04 juta orang.

Selain jumlah pencari kerja yang besar, permasalahan tenaga kerja juga berkutat tentang upah yang diterima. Besarnya upah yang diterima belum bisa untuk memenuhi tuntutan hidup.Walaupun sudah ada upah minimum regional (UMR), tetapi dengan kenaikan harga kebutuhan pokok akhir-akhir ini, UMR bisa dikatakan belum cukup.

Dengan adanya perpres yang baru ini wajar saja jika sejumlah pihak berpendapat bahwa pemerintah tidak mempunyai kepedulian terhadap tenaga kerja lokal. Adanya anggapan bahwa tenaga kerja asing akan mengurangi kesempatan kerja bagi tenaga kerja lokal bisa dimaklumi. Karena saat ini memang ketersediaan lapangan kerja terbatas. Ditambah dengan adanya fakta di lapangan tentang besaran upah TKA yang lebih tinggi dari tenaga lokal, semakin menunjukkan bahwa keberpihakan terhadap tenaga lokal kurang.

Alasan dikeluarkan peprpres untuk meningkatkan investasi dari luar menunjukkan bahwa sebenarnya pemerintah tidak mempunyai banyak alternatif untuk membiayai pembangunan. Padahal negara kita mempunyai sumber daya alam yang melimpah. Karena sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan sekarang inilah yang mengakibatkan negara tidak bisa berbuat banyak dengan sumber daya alamnya. Walhasil, dicarilah berbagai cara untuk menarik investator asing masuk. Walaupun mereka menuntut berbagai kelonggaran kepada pemerintah, seperti mengenai perizinan TKA yang nantinya terlibat dalam proyek tersebut.

Bisa dikatakan akar permasalahan dari tenaga kerja ini yaitu diterapkannya sistem ekonomi kapitalis liberal. Sistem yang membuat negara kita tidak bisa membiayai pembangunan secara mandiri. Sistem yang membuat negara kita bergantung pada utang dan investor asing.

Lain halnya dalam Islam. Menurut KH Hafidz Abdurahman seperti yang dimuat dalam tabloid Media Umat, Oktober 2015 menyatakan bahwa pemerintahan Islam menerapkan ekonomi Islam secara murni dan utuh. Hal ini menyangkut kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat.

Tidak hanya itu, pemerintah juga akan memastikan berjalannya politik ekonomi Islam dengan benar.  Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, pemerintah akan mempunyai sumber kekayaan alam yang cukup untuk membiaya penyelenggaraan negara. Termasuk, menjamin pemenuhan kebutuhan pokok perorangan akan sandang, pangan, papan serta pendidikan dan kesehatan serta keamanan. Pada saat yang sama ekonomi tumbuh dengan sehat karena produktivitas individu yang terjaga.

Dengan begitu di saat negara akan membangun infrastruktur maka negara mempunyai banyak berbagai alternatif pilihan. Karena masalah penyelenggaraan negara sudah teratasi.

Investasi asing dan utang yang berdampak pada penguasaaan kepemilikian umum dan negara pada pihak asing, ditutup rapat oleh pemerintah. Orang asing masih bisa memungkinkan melakukan bisnis di dalam negeri dengan batasan orang  tersebut berasal dari negara yang tidak memusuhi Islam. Dan usaha mereka hanya boleh pada kepemilikan individu. Mereka tidak boleh mengelola bisnis kepemilikan umum atau negara seperti barangtambang, hutan, gas bumi, dan sebagainya.

Penerapan sistem Islam dalam segala aspek ini terbukti telah memberikan kesejahteraan bagi umat manusia muslim maupun non muslim. Potret kesejahteraan ini diungkapkan oleh Will  Durant dalam Story of Civilization volume XIII, p151.

“Para  Khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapapun yang memerlukannya dan memberikan kesejahteraan selama berabad-abad dalam wilayah yang sangat luas, di mana fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan tersebar luas, hingga berbagai ilmu, sastra, filsafat dan seni mengalami kemajuan luar biasa, yang menjadikan Asia Barat sebagai bagian dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad”

Contoh lain seperti yang diutarakan oleh Arim Nasim (2018),  keberhasilan Khalifah Umar bin al-Khaththab (13-23 H/634-644 M), hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, misalnya, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin pun yang layak diberi zakat (Abu Ubaid menuturkan, Al-Amwâl, hlm. 596). Pada masanya, Khalifah Umar bin al-Khaththab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing15 dinar (1 dinar=4,25 gr emas).

Begitu juga pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99-102 H/818-820 M). Pada masanya petugas zakat sampai kesulitan untuk mencari penduduk miskin yang akan diberi zakat. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan. (Arim Nasim, 2018).

Bisa disimpulkan, jika ingin rakyat sejahtera secara merata, maka sudah saatnya beralih ke sistem yang berasal dari Sang Maha Kuasa. Ini merupakan wujud sejati kecintaan kepada negeri. Dengan demikian tidak ada lagi cerita tenaga kerja lokal tersingkir. Wallahua’lam.(jejakrekam)

Penulis adalah PNS dan Tinggal di Komplek Haluh Marindu 1 Banjarbaru, Kalimantan Selatan

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.