Catatan untuk Para Penerus Perjuangan Kartini

Oleh: Wati Umi Diwanti

0

EMANSIPASI wanita adalah proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju. (www.kamusbesar.com)

DALAM praktiknya saat ini, termasuk yang dianggap mengekang itu adalah hukum agama (Islam). Sebagaimana akhir-akhir ini masalah pakaian penutup aurat wanita sering dipersolkan. Juga kedudukan wanita sebagai penguasa.

 

Dalam hal ini Kartini selalu diidentikkan dengan emansipasi. Dinobatkan sebagai pelopor emansipasi wanita di negeri ini. Dikenali lewat surat-suratnya yang membahas hak-hak wanita khususnya dalam hal pendidikan dan kungkungan adat.

Kartini adalah sosok pembelajar dan sangat peduli terhadap lingkungan. Berbekal ilmu yang dimilikinya ia memanfaatkan masa pingitan untuk menuliskan ide-idenya. Ia kirimkan surat-suratnya pada orang yang dianggapnya mampu membantunya memperjuangkan nasib kaum wanita kala itu.

Tulisan seseorang tentu sangat bergantung pada literasi yang dimilikinya. Dalam sejarah yang dirangkum wikipedia.co.id tertulis beberapa buku yang dibaca Kartini adalah karya penulis-penulis Belanda. Salah satunya buku roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek.  Maka sangat wajar jika tulisan-tulisan Kartini bermuatan ide emansipasi.

Satu hal lagi yang perlu diketahui bahwa pada masa itu Belanda melarang keras pribumi untuk mempelajari arti Alquran. Alquran boleh dibaca tak boleh dipahami. Para ulama dilarang menterjemahkan Alquran dalam bahasa yang dimengerti pribumi.  Ini terungkap dalam surat Kartini kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899.

“Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?”

“Alquran terlalu suci tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca”. (republika.co.id, 21/04/2012)

Surat ini juga menjadi catatan bagi kita bahwa hingga tahun 1899 Kartini belum mengenal agamanya. Sejarah Kartini masih berlanjut. Suatu ketika di sebuah pengajian di rumah pamannya, Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat. Kartini mendengar ceramah tentang tafsir surah Al-Fatihah. Kartini takjub. Seusai pengajian beliau paksa pamannya untuk mengenalkannya pada Sang Kyai.

Pertanyaan cerdas pun meluncur dari seorang Kartini. “Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu menyembunyikan ilmunya?” Sang Kyai tak bisa berkata apa-apa kecuali mengucapkan kalimat thoyyibah Subhanallah.

Ungkapan Kartini ternyata mampu menggugah kesadaran seorang ulama besar. Gurunya para guru. Yakni guru dari Kyai Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) dan Kyai Hasyim Asy’ari (Pendiri NU).  Beliau adalah Kyai Sholeh Darat. Setelah itu beliua menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Jawa. Dipersembahkan untuk hadiah pernikahan Kartini. (jejakrekam.com, 21/04/2018)

Sejak saat itulah kekaguman Kartini pada peradaban Barat berubah. Iapun menegaskan bahwa tuntutan hak pendidikan yang dia perjuangkan bukanlah untuk menyaingi para lelaki sebagaimana makna emansipasi. Namun untuk menyempurnakan tugas wanita sebagai pendidik generasi. Sebagaiman penggalan suratnya kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902.

”Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (suarajatimpost.com, 22/04/2017)

Sayang terjemah tersebut hanya sampai juz 13. Kartini tak pernah mendapati lanjutannya sebab Sang Kyai meninggal dunia tak lama setelahnya. Begitu pula dengan Kartini. Setelah mengenal Islam, usianya tak panjang.  Ia meninggal duni di usia 25 tahun, empat hari paska melahirkan. Karenanya tulisan-tulisannya paska mengenal Islam tak sempat banyak.

Meski demikian, dari surat-surat terakhirnya, bisa dibaca bahwa Kartini adalah sosok muslimah taat.  Yang “sami’na wa atho’na” mendengar lalu taat. Jadi jikapun benar beliau pernah menyuarakan ide emansipasi itu hanya lantaran beliau belum mengenali Islam. Setelah mengenal Islam beliau langsung mengoreksi pemahamannya tanpa ragu dan sungkan.

Tertuang dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini  menulis; “Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.”

Kemudian pada tanggal 27 Oktober 1902 Kartini pun berkirim surat kepada Ny Abendanon. “Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.”

Dalam suratnya tertanggal 1 Agustus 1903, Kartini kembali menulis. “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.” (republika.co.id, 21/04/2012)

Bisa dibayangkan andai Kartini selesai mempelajari Alquran 30 juz ditambah hadist-hadist mulia Rasulullah. Bisa jadi beliaulah wanita paling lantang yang menyuarakan penerapan Islam kaffah demi kemuliaan wanita. Maka sangat tidak layak jika ada yang mengaku meneruskan perjuangan Kartini justru dengan lantang menggugat syariat Islam.

Karenanya wahai wanita khususnya muslimah. Jika kita merasa sepeduli Kartini. Ingin mempersembahkan kebaikan untuk para wanita di negeri ini. Mari kita teruskan perjuangan beliau dengan menggenapkan pemahaman Islam kita. Lalu sampaikan pada siapa saja. Sebagaimana Kartini dengan lantang menyampaikannya pada siapapun. Sungguh, cita-cita mulia itu akan terwujud saat Islam dijadikan pedoman kehidupan.(jejakrekam)

Penulis adalah Pengasuh MQ. Khodijah Al-Kubro Martapura, Revowriter Kalsel

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.