Subhan : Pemimpin Harus Siap Menderita dan Paling Akhir Menikmati Keberhasilan

0

ARAH baru Indonesia. Isu ini menarik dikupas ketika beberapa komponen pemuda di Banjarmasin menggaungkan sosok mantan Presiden PKS Anis Matta untuk masuk bursa calon Presiden RI 2019-2024 mendatang. Seperti apa arah baru Indonesia yang ingin diwujudkan seorang Anis Matta yang juga mantan Wakil Ketua DPR RI periode 2009-2014 itu.

PEMERHATI masalah sosial kemasyarakatan, Subhan Syarief yang menjadi pemateri dalam deklarasi relawan Anis Matta Pemimpin Muda (AMPM) Kalsel di Rumah Anno 1925 Banjarmasin, Minggu (1/4/2018), punya pandangan yang cukup menarik.

“Arah baru Indonesia tentu tak terlepas dari nilai falsafah kita berdasar sila yang terdapat Pancasila. Sebab, tujuan dasarnya adalah mengatur arah yang ingin dicapai Indonesia. Tentu, berdasarkan sila Berketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan dan kesatuan, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi rakyat Indonesia,” papar Subhan Syarief kepada jejakrekam.com, Senin (2/4/2018).

Menurut dia, bicara arah baru Indonesia tentu tergantung pada dua aspek yakni masyarakat terutama pemuda dan pemimpin baik formil maupun informil, serta roadmap arah Indonesia ke depan, terutama penguatan dan pemberdayaan setiap daerah.

Kandidat doktor Universitas Islam Sultan Agung Semarang ini mengungkapkan dulu roadmap di era pemerintahan sebelumnya, diwujudkan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan lainnya. Namun, beber Subhan, semua itu perlu diejawantahkan kembai dengan tetap dijiwai Pancasila dan UUD 1945. “Sebab, dua pokok yang menjadi dasar kita harus tetap dipertahankan dan diperkuat,” cetusnya.

Magister teknis ITS Surabaya pun mengatakan roadmap Indonesia baru yang sejatinya menjadi acuan bagi pemimpin ke depan. Subhan menegaskan semua itu sangat penting tergantung pada ideologis para pemimpin dalam mencapai arah baru Indonesia.

“Berkaca dari itu, tentu kriteria pemimpin yang baik adalah berjuang dalam kepemimpinan mampu mengamalkan dan menerapkan sifat mulia Rasulullah SAW yakni shidiq, amanah, tabligh dan fathonah,” beber Subhan.

Dalam artian rincinya, menurut Subhan, tentu shidiq berarti benar dalam perkataan dan perbuatan, lalu amanah memiliki arti benar-benar dapat dipercaya, selanjutnya tabligh berarti menyampaikan hal-hal benar walaupun itu pahit, dan terakhir fathonah mengandung arti memiliki suri teladan yang cerdas luar biasa.

“Dari sini, tentu memahami pemimpin bukanlah sebuah pekerjaan tapi sebuah pengabdian. Dalam hal ini, dibayar atau tidak dibayar, diberi tunjangan atau tidak diberi tunjangan, maka tetap berjuang, bekerja berbuat manfaat dan kebaikan,” papar pria yang juga Ketua Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) Kalsel ini.

Menurut Subhan, menjadi pemimpin tentu bisa saja merugi di dunia, namun justru beruntung di akhirat. Dari pandangan ukhrawi itu, Subhan mengatakan pendekatan kepemimpinan akan menghilangkan atau berhitung keuntungan apa yang didapatnya di dunia.

“Jangan salah, jika pemimpin harus siap menderita, atau paling akhir menikmati hasil sebuah keberhasilan atau kesuksesan. Ibarat sebuah sajian enak, tentu pemimpin berada paling akhir dari apa yang dimakan. Rakyat yang harus didahulukan, pemimpin mengalah kepada rakyatnya,” papar Subhan.

Ia mengakui menjadi pemimpin memang sangat berat, karena akan dituntut bertanggungjawab terhadap segala hal yang terjadi di wilayahnya, apakah soal kesejahteraan, kemakmuran hingga keadilan yang diterima masyarakat.

“Dari kondisi ini, tentu menjadi pemimpin harus hati-hati. Saya rasa negara sudah cukup besar memberi biaya untuk menjadi pemimpin. Ya, mulai gaji, tunjangan, fasilitas rumah, air, listrik, mobil dan berbagai fasilitas lainnya. Ini bukan hanya untuk sang pemimpin, tapi juga untuk keluarganya. Patut dicatat, semua kenikmatan pemimpin itu dipungut dari uang rakyat,” tutur Subhan.

Dalam kesimpulannya, pria yang aktif di organisasi kemasyarakatan ini mengingatkan agar setiap pemimpin tidak bisa berbuat manfaat dan mengabdi bagi kepentingan rakyat, tentu pertanggungjawaban akan lebih sulit, bahkan dalam konteks agama berada dalam lingkungan berdosa.

“Bagi saya, mengartikan pemimpin hebat itu adalah pemimpin yang cepat sadar diri. Dia mampu mengukur diri dengan kinerja kerjanya. Bilai terlihat rendah dan tidak mampu memberi manfaat bagi rakyat, tentu harus siap mengundurkan diri dari jabatannya, tanpa harus menunggu masa jabatannya selesai,” beber Subhan.

Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas amanah yang diberikan rakyat, Subhan juga menyarankan jika pemimpin telah merasa gagal atau tidak berhasil, tentu harus meminta maaf kepada rakyat yang dipimpinnya.

“Inilah nilai filosofis seorang pemimpin yang memahami dan mampu atau berusaha menerapkan falsafah hidup kepemimpinan. Kalau sudah ada pemimpin seperti itu, tentu kita bisa melihat atau mengukurnya lewat pola atau gaya hidupnya saat menjadi pemimpin,” tegas Subhan.

Kembali Subhan menekankan agar sosok pemimpin itu suka dilayani, minta dilayani dan minta fasilitas, maka bsia dipastikan dia bukan pemimpin yang benar dan sesuai dengan kriteria yang diidamkan rakyatnya.(jejakrekam)

 

Penulis Ahmad Husaini
Editor Didi G Sanusi

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.