Mengimpikan Dokter yang Membangkitkan Asa Pasien

0

KEJADIAN yang menimpa anak kami dan harus masuk ke ruangan ICU RSUD Mohammad Ansari Saleh (MAS) Banjarmasin, kembali membawa nostalgia saya ke masa lalu. Ya, bisa dibilang berpuluh-puluh tahun yang lalu. Ingatanku, terasa di-refresh kembali ketika seorang adik kandung yang sejak lahir dirundung penyakit, mulai panas tinggi hingga step (kejang demam).

DENGAN wajah yang biru, dan jika harus makan atau minum selalu muntah. Kami pun telah berupaya maksimal dengan berkeliling dari satu dokter ke dokter lainnya. Dari dokter anak, dokter umum hingga dokter spesialis, hingga adik saya yang ketika itu berusia 13 tahun, tak kunjung juga ditemukan sebab musabab atau jenis penyakitnya.

Hingga di suatu hari, datang seseorang yang ingin menyewa rumah nenek saya di Jalan Haryono MT Nomor 6 Banjarmasin. Kebetulan, rumah nenek saya persis berseberangan dengan rumah H Basirun, orangtua dari tokoh terkenal dan dermawan, H Abdussamad Sulaiman HB.

Awalnya, kami tak tahu siapa orang muda tersebut. Setelah memperkenalkan diri, saya tak salah ingat bernama Sugianto. Beliau memperkenalkan diri sebagai dokter umum baru, dan mau membuka praktik. Setelah bertemu dengan kakek saya disepakati, sang dokter muda ini menyewa tempat selama satu tahun. Kesan pertama yang membekas dari sosok dokter muda ini, ketika menawarkan kepada kami. Ya, jika ada keluarga mau berobat jangan segan-segan (dengan isyarat seperti gratis).

Tetapi, keluarga kami tentu tak tergolong mampu, tak mau gratis. Dan, kami pun mencoba membawa adik saya ke dokter umum tersebut. Subhanallah, rupanya lewat tangan dokter inilah, adik saya ditemukan penyakitnya. Dokter ini mengatakan bahwa adik saya mengindap penyakit jantung.

Dia kemudian berbicara kepada ibu saya. Berdasar analisanya, klep jantung adik saya bocor. Ketika mendengar jantung dan klep bocor, tentu pikiran campur aduk karena tentu penyakit ini adalah golongan “orang kaya”. Sebab, terpikir bukan hanya biaya, namun juga nyawa sang penderita.

Dalam asumsi awam kami, berkaitan dengan jantung tentu berkelindan dengan tingkat kesulitannya. Akhirnya, dr Sugianto meminta segera mungkin ditangani. Beliau pun memberi rekomendasi dan rujukan agar ditangani di RS Cipto Mangun Kusumo Jakarta. Kemudian, berangkatlah saya dengan ayah saya ke Jakarta untuk kontrol dan mengecek penyakit adik saya. Dari hasil diagnosa sudah dapat dipastikan klep jantungnya bocor.

Dokter yang memeriksa memberi macam pilihan dokter. Ya, mau dokter spesialis jantung dalam negeri hingga luar negeri. Pada waktu di-advice, diinformasi ada seorang dokter imigran keturunan Cina yang memiliki reputasi baik. Bahkan, dokter itu terbang ke berbagai rumah sakit di negara maju untuk melakukan tindakan operasi jantung.

Dokter tersebut bernama Victor Chang. Setelah di-advice yang rasional dan referensi yang akurat, akhirnya kami pun memutuskan untuk berangkat ke Australia. Lalu, dirujuk ke  Mount Elizabeth Hospital. Sehari setelah mendarat, sorenya kami dengan membawa rekam medis adik saya diminta menemui dokter Victor Chang di kliniknya. Setelah menunggu sebentar,  sesuai jadwal atau jam yang ditentukan kami pun disuruh masuk oleh asistennya, guna menemui dokter Victor Chang.

Subhanallah, dalam benak kami seorang dokter dengan reputasi keilmuan tinggi, pastilah lain dari biasanya. Tentu saja, dia akan jaga image, tetapi ternyata begitu bertemu beliau,  rontok semua imaginasi kami. Sosok dokter dengan ukuran tinggi rata-rata orang Asia itu memakai sweeter kotak getas warna hitam dan coklat muda. Dia menyambut kami dengan sangat-sangat dan sangat ramah. Bahkan, ramahnya bukan dibuat-buat.  Setelah berbincang sebentar,  dengan awalan sapa-menyapa dan menanyakan siapa yang bisa berbahasa Inggris.

Sang dokter ini langsung membuka komunikasi. Dia menjelaskan hasil rekam medis di Jakarta, dan menjelaskan bagaimana nantinya yang bersangkutan mengoperasi adik saya, dengan menunjukkan patung tubuh manusia yang  berisi organ jantung. Dijelaskan secara rinci, bagian yang akan dioperasi, lamanya operasi, segala kemungkinan risiko dan sebagainya.

Poinnya, dokter Victor Chang mengatakan tidak ada yan perlu dikhawatirkan dengan operasi tersebut.. Yang membuat pasien nyaman adalah motivasi yang membangun dan realistis. Jadi, pasien benar-benar rileks. Bahkan, membuat kepercayaan kita bangkit, bagaimana seorang dokter yang reputasinya luar biasa. Serendah hati demikian, mulia dan selalu menyuruh tetap berdoa.

Dus, sesuai jadwal operasipun dilaksanakan dan alhamdullilah semua berjalan lancar sesuai rencana. Saya pun berfungsi sebagai sebagai “perawat” adik saya selama di Mount Elizabeth Hospital di Australia. Pengalaman menjadi “perawat” tersebut, membuat saya dapat mengamati secara detail, situasi di sana. Bahkan, saya hampir jarang mendengar perawat yang berbicara keras, apalagi nyaring.

Jika mereka ingin bicara, mereka masuk ke ruangan khusus tersendiri. Dan, jika berkomunikasi terlihat seperti bahasa isyarat saja,  terkadang mereka mencatat sesuatu untuk diserahkan ke kawannya. Ya, nyaris tak terdengar, sayangnya saya tidak sempat bertanya apakah setiap berkomunikasi dengan catatan tersebut bagian dari tugas dan tanggungjawab yang harus diserahkan kepada atasan? Sebagai bukti. Wallahu’alam.

Namun, intinya kejadian sekitar 30 tahun yang lalu, begitu disiplinnya mereka, bandingkan dengan kita. Tenaga medis kita terdengar tertawa cekikan ketika bertugas, bicara nyaring, tidak karuan, padahal itu bukan bagian dari tugasnya. Bahkan, ada main HP, dan tidur-tiduran yang sebagainya.

Pertanyaannya adalah apa yang salah dengan republik ini?  Mana pimpinan rumah sakitnya? Mana pengembangam sumber dayanya? Siapa yang bertanggugjawab? Lalu, siapa yang mengevaluasi CCTV? Untuk apa CCTV itu? Apakah untuk acting sinetron anak jalanan? Jika tak ada audio, CCTV masih bisa dibaca lewat gerakan tubuh, atau gesture atau gerakan bibir.Ya, untuk evaluasi, ironis memang Negeri Pancasila.

Bayangkan saja, pertama masuk rumah sakit, mental pasien dan keluarga pasien disemangati, agar tak jatuh dan kehilangan asa. Berbeda di negeriku, ya lebih kecil lagi di Banuaku. Justru, gambaran sebaliknya sulit digambarkan. Ironis memang jika hal-hal standar saja tidak mampu dilaksanakan, ya sesuatu yang bisa dilakukan kenapa diabaikan? Sampai kapan kita menemukan pemimpin yang bertanggungjawab atas profesi yang digaji dari keringat rakyat.

Pemimpin tertinggi di daerah ini tentu saja adalah gubernur, dan level kedua adalah DPRD, kemana pemimpin kita ini? Apanya yang bergerak di Kalsel. Kita ingin melihat wujud pemimpin kita bergerak, semasa beliau masih hidup dan menghirup nafas. Namun, sebenarnya kalau ditelaah bisa jadi beliau-beliau ini telah “wafat”. Dalam artian, wafat secara tanggungjawab dunianya. Padahal tanggungjawab dunia yang akan menghidupkannya. Ini mungkin hanya contoh kecil, dan sangat kecil dari problema yang ada.

Atas izin Allah SWT, pasti, pasti dan pasti bisa, jika pemimpin kita ”masih hidup” dan ” bergerak”. Sayangnya sebagian dari mereka mungkin telah “mati. Sebut saja, mati akal, mati rasa, dan mati kemauan yang baik. Inilah sebagian pengalaman saya jadi “perawat” di sebuah rumah sakit terkemuka di Australia.

Banyak pengalaman dan hikmah didapat ketika bertemu dengan dokter bersahaja itu. Sayangnya, dokter idola saya itu kabarnya telah ditembak mati dua orang, hingga kini kasusnya tak terungkap. Berbagai spekulasi beredar, hingga menyebut korban dihabisi sekelompok gang. Dari informasi intelijen, dikabarkan dokter Victor Chang dikabarkan tak mau kembali ke Tiongkok, dan memilih menetap dan mengabdikan hidupnya di Australia. Saya berdoa semoga beliau dengan segala kebaikannya diterima di sisi-Nya. Semua kita serahkan kepada Allah SWT. Amin.(jejakrekam)

Penulis  : Anang Rosadi Adenansi

Mantan Anggota DPRD Kalsel/Warga Banjarmasin

Ilustrasi : Sriwijayapost.com

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.