Nostalgia Hotel Bandjer, Berburu Tanggui di Pasar Kuin

0

TEPAT pada 31 Mei 1921, sebuah kartu pos antik hitam putih yang dikirim dari Bandjermasin tiba di Princess Juliana Raad, Soerabaia/Surabaya. Kartu pos itu memuat foto dengan dua buah gambar di sisi belakang. Gambar pertama memuat bangunan dengan titel Hotel Bandjer. Kemudian gambar kedua seorang Room Boy yang tengah berpose.

KARTU pos ini diterbitkan oleh T.Schwidernoch Wienna-Hacking (Austria) sekitar tahun 1899. Perangko merah seharga 5 cent masih terpasang di bagian belakang. Keantikan kartu pos ini membuat seorang kolektor di Tilburg, Netherlands menyimpannya hingga melelangnya pada  2017 di e-bay seharga US $79.99 atau dikonversikan sekitar Rp  1.080.945.95. Harga yang lumayan mahal untuk sebuah kartu pos lama.

Hal yang menggelitik dan membuka kembali ruang ingatan memori lama Kota Banjarmasin. Hotel Bandjer. Nama satu satunya hotel di Gemeente (Kotamadya) Banjarmasin masa Hindia Belanda. Dalam kartu pos yang terbagi dua seri ini, sama sekali tidak menuliskan lokasi spesifiknya. Hal inilah yang memantik untuk mencari tahu keberadaannya. Akhirnya, satu karya Prof  Idwar Saleh tentang Kota Banjarmasin tahun 1981 menguak tabir gelap.

Sebelum Kota Banjarmasin berstatus Gemeente (Kotamadya), nama hotel ini adalah Hotel Wiggers. Kemudian menjadi Hotel Bandjer selanjutnya Grand Hotel Bandjer. Nama Hotel Wiggers ini identik dengan nama Hotel Wiggers di kawasan Bad Oldesloe, Jerman. Apakah ada hubungannya? belum bisa dipastikan.

Dugaan awal hotel ini memang didirikan oleh Wiggers yang diabadikan namanya menjadi nama hotel. Dalam buku “Egon’s Predecessors: Dutch Insurance Through 1870”, nama Wiggers, lengkapnya C.F.W Wiggers van Kerchem, pada 31 Desember 1859 mendirikan Nederlandsche Indische Levenverzekering en Lijvrente Maatschappij (NILLM). Perusahaan ini yang menjadi cikal bakal Asuransi Jiwasraya. Wiggers juga tercatat menjabat Presiden Direktur De Javasche Bank, periode 1863-1868.

Dari tampilan kartu pos, memang kurang detail memberikan informasi mengenai lokasinya. Idwar Saleh mengungkapkan, bagian depan Hotel Bandjer mengha-dap ke Sungai Martapura. Kemudian di depan teras hotel terdapat sebuah kebun binatang yang lumayan keadaannya.

Pada wilayah sekitar hotel, terdapat sejumlah rumah rumah besar pribumi. Berupa perkampungan kecil. Uniknya di sekitar hotel juga terdapat aktivitas Pasar Sore yang sekarang disebut Pasar Kupu-kupu.

Pada lokasi ini, juga berdekatan terdapat sebuah Kantor Pos dan rumah bubuhan orang kaya. Satu di antaranya rumah Mas Usup. Pelabuhan Banjarmasin (Pelabuhan Lama) masih belum mengalami pelebaran dermaga. Pelabuhan ini hanya cukup menampung dua buah kapal penumpang K.P.M. milik Pemerintah Hindia Belanda. Sayangnya, pada Hotel Bandjer, hanya diperuntukkan untuk orang orang Belanda. Sementara pribumi tidak diperbolehkan menginap. Hanya menjadi pelayan hotel.

Apabila dilihat keberadaan Jalan Pasar Kupu Kupu sekarang, terletak di dekat lapangan tenis Korem. Bisa melewati Jalan Samping Jembatan Dewi. Pasar kupu-kupu sekarang menjadi lokasi jual/beli barang besi. Umumnya, juga dikenal dengan jalan Bank BRI yang berlokasi di belakang gedung Bank BCA dan Mandiri, lebih tepatnya.

Mengenai lokasi hotel Bandjer, juga digambarkan dalam Peta “Schetskaart van de Hoofdplaats Bandjermasin en omliggend terrein, 1916” oleh H.P. Loing. Seperti penggambaran Idwar saleh, Hotel Bandjer dilukiskan terdiri dari satu bangunan panjang. Kemudian terdapat beberapa bangunan lain di sekitarnya.

Lokasi hotel ini bisa dicapai dari jalan utama Hendrich Haanweg atau jalan Resident de Haanweg (sekarang Jalan Lambung Mangkurat), kawasan yang umumnya ditempati oleh para ambtenaar (pegawai pemerintah). Letak Pasar Kupu-kupu tidak jauh dari Coenbrug (jembatan Coen). Antara Coenbrug dan Pasar Lama adalah tempat yang strategis, baik bagi pemerintahan Belanda dan pem

erintah propinsi Kalimantan Selatan di masa sekarang. Terdapat wijk (kawasan tempat tinggal) dan perkantoran resident Belanda di jalan Resident de Haanweg (sekarang Jalan Lambung Mangkurat) dibangun dengan arsitektur rumah Joglo Jawa dari kayu ulin beratap sirap. Tempat itu pada tahun 1988 dirombak pada masa Gubernur Muhammad Said. Lebih ke hilir terdapat Benteng Tatas (sekarang menjadi kawasan Masjid Sabilal Muhtadin.

Mengenai hotel Bandjer, A.C. Krusemen (1922) dalam tulisannya “Aarde en haar volken” menceritakan bahwa manajemen Grand Hotel Bandjer menawarkan layanan untuk susur sungai di Kota Banjarmasin. Hal paling menarik adalah mengunjungi penjual tanggui (caping), penutup kepala yang terbuat dari daun nipah kering berbentuk setengah lingkaran. Penjualnya di Pasar Terapung di wilayah Kuin. Susur sungai diadakan manajemen hotel pada jam 4 sore, yang melayani perjalanan sepanjang sungai ke Marabahan. Kapalnya bernama kapal Negara. Jalur yang dilalui adalah Sungai Martapura dan Sungai Barito.

Mengenai bangunan Grand Hotel Bandjer berada di jalur jalan sepanjang ± 3 kilometer yang berbaur dengan pemukiman penduduk. Sayangnya layanan untuk mandi hanya dari kolam air hujan. Akan tetapi bangunan ini kokoh dan beruntung karena terhindar dari serangan rayap, sebab tanahnya yang tetap lembab. Karena itu lantainya hanya dilapisi dengan penutup semen terlebih dahulu. Kemudian struktur bangunan lantai beton tidak diubah. Pada hotel ini menyediakan ruang makan di sebelah kanan hotel dengan view menghadap sungai Martapura.

Berdirinya Hotel Bandjer yang kemudian menjadi Grand Hotel Bandjer, tidak terlepas dari ramainya kegiatan Kepariwisataan masa penjajahan Belanda. Dimulai secara resmi sejak tahun 1910-1912 setelah keluarnya keputusan Gurbenur Jenderal Hindia Belanda mengenai pembentukan Vereeneging Toeristen Verkeer (VTV) yang merupakan suatu biro wisata pada masa itu.

Untuk memberikan pelayanan kepada mereka yang melakukan perjalanan ini, maka didirikannya pertama kali suatu cabang Travel Agent di Jalan Majapahit Nomor 2 Jakarta, pada tahun 1926. Travel tersebut bernama Lissone Lindemend (LISIND) yang berpusat di Belanda. Tahun 1928, LISIND berganti menjadi NITOUR (Nederlandche Indische Touristen Bureau) yang merupakan dari KNILM.

Saat itu, kegiatan pariwisata lebih banyak didominasi kaum kulit putih, sedang-kan untuk bangsa pribumi bisa dikatakan tidak ada. Fungsi hotel, pada masa-masa itu banyak digunakan untuk penumpang kapal laut dari Eropa. Hal ini mengingat belum adanya kendaraan bermotor untuk membawa tamu-tamu tersebut dari pelabuhan ke hotel dan sebaliknya. Oleh karena itu, maka alat transportasi pendukung yang digunakan kereta kuda.(jejakrekam)

Penulis : Sammy/Mansyur

Staf Pengajar Sejarah FKIP ULM Banjarmasin

Foto     : KITLV

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.