Meratus, Resistensi Publik dan Kutukan Sumber Daya Alam

0

STUDI mengenai negara yang memiliki sumber daya alam (SDA) melimpah telah menjadi perhatian para pakar ekonomi dan lingkungan. Sejumlah studi menjelaskan di beberapa negara di Afrika yang memiliki potensi SDA namun tidak berbandingan lurus dengan tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi warganya.

SEJUMLAH argumentasi telah dikemukakan bahwa negara yang kaya SDA bahwa negara tersebut mengalami bad governance practise dalam kebijakan SDA yang diiringi terjadinya lack of democracy (kekacauan demokrasi) dan massif nya perilaku korupsi dari para penguasa. Perilaku tersebut berimplilasi pada pengelolaan SDA yang tidak memberikan berkah (blessing) kepada negara dan rakyat, tapi justru menjadi kutukan (curse) bagi negara dan rakyat sebagai dampak dari kebijakan yang tidak mengedepankan good governance practise.

Adalah Jeffery Sach dan Joseph Stingliz dalam bukunya Escaping Natural Resources Curse (berkelit dari kutukan sumber daya alam), secara gamblang menjelaskan, negara yang memiliki sumber daya melimpah, penguasanya telah menyandera SDA untuk melakukan persekongkolan dengan para komparador mafia dan militer demi mempertahan kekuasaan. Tidak hanya itu, di beberapa negara di Afrika seperti Somalia dan negara lainnya terjadi konflik karena perebutan SDA.

Film The Blood of Diamond yang berdurasi panjang itu mendeskripsikan potensi konflik antara aktor aktor yang terlibat dalam perebutan berlian yang berkualitas tinggi dengan para rakyat yang bekerja sebagai penggalian berlian secara tradisional. Rakyat di Afrika seperti Sierra Leone, Somalia dan lainnya memang di kenal memilik kualitas berlian berkualitas tinggi.

Walaupun rakyat yang bekerja sebagai pencari berlian dengan susah paya dengan peralatan tradisional telah berlangsung lama, namun kehidupan mereka tidak beranjak dari lingkaran kemiskinan. Pasalnya adalah kerena hasil dari pencarian berlian seringkali dirampas oleh tentara atas perintah dari penguasa predator yang mengeksploitasi rakyatnya sendiri.

Argumen lain yang dapat dikemukaan bahwa negara yang memilik SDA kaya diobral secara murah dan tidak memiliki nilai jual tinggi di padar dunia, hal tersebut seperti dijelaskan Syairazi dalam Bukunya Sumber Daya Alam di Bawah Bendera Asing. Coba diamati, negara negara di kawasan Asia Timur seperi Taiwan, Korea dan Jepang yang tidak memiliki SDA bila dibandingkan Indonesia, justru memiliki lompatan ekonomi dan industri yang tidak bisa dikejar.

Negara yang memiliki SDA kaya justru berada dalam jebakan pertarungan konflik internal antara negara dengan rakyat yang acapkali dilindungi aparat keamanan dan para mafia yang terlibat dalam arena perebutan sumber-sumber ekonom SDA. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang kaya SDA, khususnya di sektor pertambangan, sejauh ini masih sebatas mitos bagi rakyat dari pada menjadi fakta yang  mensejahterakan bagi rakyat. Seiring kebijakan deaentralisasi dan otonomi daerah, kewenanagan kebijakan pengelolaan SDA berada pada kekuasaan pemerintah daerah.

Regulasi atau kebijakan (perda) dibuat oleh pemda dan legislatif yang sarat kepentingan, khususnya perda terkait pengelolaan SDA tambang. Dalam hal ini dapat dijelaskan bila mengamati keberadaan anggota legislatif Provinsi Kalilmantan Selatan yang berlatar belakang sebagai pengusaha tambang atau legislatif yang memiliki jaringan atau koneksitas dengan pengusaha tambang.

Era desentralisasi dan otonomi daerah telah melahirkan kesempatan bagi pejabat daerah membangun jaringan kroni bisnis dalam pe gelolaan SDA. Sejumlah studi dan riset memperlihatkan, seiring proses demokarsasi pasca Orde Baru berbanding lurus masssif nya eksploitasi SDA.

Mengapa? Hal ini dapat dijelaskan bahwa bagi daerah yang memiliki potensi SDA telah dijadikan sandera politik pagi pihak atau aktor-aktor yang bermain dalam arena perjudian kekuasaan yang memerlukan modal besar. Oleh karena itu, tampilnya sejumlah pengusaha atau pemilik kapital dalam political landscape sebagai sejarah baru dalam dinamika demokrasi pasca berakhirnya rezim oligarki Orde Baru.

Kalimantan Selatan sebagai salah satu dari yang memiliki potensi sumber daya tambang batubara telah memberikan kontribusi ekonomi bagi pembangunan daerah. Industri tambang yang telah beroperasi di beberapa kawasan telah memperlihatkan hal yang paradoks. Pada satu sisi, sektor pertambangan menjadi salah satu penyumbang terbesar PAD, pada sisi lain, industri pertambaangan yang massif itu justru melahirkan sejumlah persoalan serius, antara lain dampak terhadap kerusakan lingkingan, pemiskinan dan marginalisasi bagi warga yang telah lama hidup di lokasi pertambangan.

Carut marutnya pengelolaan SDA tambang yang telah berlangsung selama puluhan tahun itu, antara lain karena regulasi yang ada tidak memihak kepafa kepentingan publik tapi lebih memihak atau mengunrungkan pengusaha atau orang-orang yang terlibat dalam bisnis tambang batubara saja. Selanjutnya, lemahnya penegakan peraturan yang ada karena aparat yang sejatinya memiliki kewenangan untuk menegakkan aturan atau kebijakan justru ikut terlibat dalam praktik mafia pertambangan secara legal atau ilegal karena adanya hubungan kroni bisnis dan patronase antar penguasa daerah. Semakin jelas memperlihatkan bahwa hampir semua elite elite partai politik di Kalimantan Selatan dikuasai oleh pengusaha atau berlatar belakang pengusaha tambang.

Penguasaan terhadap pertai berarti semakin memberikan posisi tawar menawar dalam dinamika politik lokal atau jaringan bisnis politik di Kalsel. Munculnya istilah local bossism (bos lokal) atau local strongmen (orang kuat lokal) seperi yang ungkapkan oleh John Sidel dan Joe Migdal sebagai fenomena jamak di negara yang telah keluar dari siatem rezim otoriter dan menuju demokrasi, sepeti Indonesia, Filipina dan Thailand untuk negara di kawasan Asia Tenggara.

Munculnya fenomena Local bossism dan local strongmen sebagai dampak proses demokratisasi atau transisi politik. Mereka berhasil melakukan konsolidasi demorasi atau mereposisi masuk dalam jaringan kekuasaan politik atau pemerintahan. Di Filipina dan Thailand, local bossism dan local strongmen itu adalah para tuan tanah (lord land) yang mengendalikan jagat perpolitikan dan menjadi bandar politik bagi para aktor yang bertarungan dalam perebutan kekuasaan. Pada akhirnya, orang tersebut memposisikan diri dalam pemerintahan sebagai shadow state atau shadow government yang mengontrol atau mengendalikan kebijakan jalannya pemerintahan seperti dijelaskan sebelumnya bahwa era desentralisasi dan otonomi daerah telah memberikan kesempatan bagi pejabat daerah dalam pengelolaan SDA di daerahnya termasuk dalam hal regulasi atau perda.

Yang menarik adalah ketika kekuatan kapital atau modal mengintervensi negara atau negara dikendalikan oleh kekuatan modal dan menempatkan posisi negara sebagai klien. Negara bukan lagi sebagai patron tapi yang menjadi patron justru adalah para kapitalis. Menurut Noreena Heizt dalam bukunya Silent Take Over and Death of Democracy. Bahkan, Heizt mengatakan bahwa ketika negara telah intervensi kekuatan model dan demokrasi bisa dibeli maka peran negara sebagai state capitalism telah diambil alih oleh kekuatan kapital  sebagai private capitalism. Kasus Pegunungan Meratus dan kasus Pulau Sebuku adalah contoh kecil dari bergesernya peran negara sebagai state capitalism yang diitervensi oleh kekuatan modal sebagai  private capitalism.

Meratus dan Pulau Sebuku adalah sebuah narasi yang dipertontonkan secara telah telanjang dihadapan publik Kalsel. Meratus dan Sabuku menjadi empirical evidence yang membangkitkan libido keserakahan ekononi dan politik yang mainkan para aktor atau orang-orang yang mengendalikan negara dan negara pun nyaris tidak berdaya atau mengalami weak state siperti ditulis oleh Joel Migdal dalam bukunya Weak State (2009). Meratus yang membentang dari kawasan daerah Hulu Sungai sampai ke kawasan Kotabaru telah menbangkitkan libidolitas para predator tambang.

Meratus dan Pulau Sebuku telah menjadi kutukan bagi warga Kalsel bukan menjadi berkah. Pulau Sebuku menjadi saksi bisu dari korpotatisme jahat dan mimpi buruk bagi warga lokal meminjam istilah John Perkins. Resistensi publik semoga tidak menjadi nyanyian sunyi tapi menjadi asa bagi semuanya bagi Save Maratus dan Save Pulau Sebuku. Allahu A’lam Ala Mayurid.(jejakrekam)

Penulis : M Uhaib As’ad

Pengamat Politik dan Kebijakan Publik

Foto     : Greenpeace USA

Tinggalkan Komentar

Alamat email anda tidak akan disiarkan.